Prasetya (Pras) berbagi kisahnya menjadi orang tua anak atipikal. Aditya (Adit), yang tahun ini berusia 16 tahun, adalah penyandang spektrum autisme nonverbal level 3 (membutuhkan dukungan sangat substansial). Dari kacamata seorang ayah, Pras bercerita tentang perjalanan membersamai (KBBI: bersama-sama dengan; menyertai; mengiringi) Adit sampai ke titik ini. Mereka bergereja di GKI Gading Serpong. Sesuai permintaan narasumber, baik Pras maupun Adit bukan nama sebenarnya.

Sebelum berbagi kisah membersamai Adit, Pras mengawalinya dengan menceritakan secara singkat tentang autisme.

Bisa diceritakan sedikit, apa itu autisme?

Individu dengan autisme secara umum memiliki gangguan dalam memproses sensori, yaitu kondisi ketika otak kesulitan menyaring dan memproses input dari pancaindra dan sensor tubuh lainnya secara tepat. Otak individu atipikal (individu dengan autisme) berkembang dan berfungsi secara berbeda dari individu tipikal (individu tanpa autisme). Hal ini kemudian memengaruhi pola komunikasi, interaksi sosial, dan perkembangan individu itu.

Situasi ini menjadi pelik, karena manusia berkembang melalui komunikasi dan interaksi dengan orang lain. Individu dengan spektrum autisme berkembang dalam jalur yang berbeda dari orang pada umumnya. Mereka sangat mungkin gagal berkembang jika tidak mendapatkan intervensi yang tepat dan konsisten dari orang atau lingkungan di sekitarnya.

Selain sebutan “atipikal”, individu dengan spektrum autisme sering juga disebut sebagai Individu Berkebutuhan Khusus (IBK). Sebutan IBK juga kadang merujuk pada mereka yang memiliki disabilitas lainnya, seperti disabilitas fisik, disabilitas intelektual, kesulitan belajar (learning disabilities), dan gangguan perilaku atau emosional, seperti hiperaktif ataupun ADHD. Sejauh yang saya tahu, kata-kata atipikal atau IBK kerap digunakan secara bergantian (interchangeable), dan belum memiliki kesepakatan penggunaan (penjelasan lebih lanjut mengenai autisme dapat dilihat di bagian akhir tulisan ini).

Dari penjelasan tersebut, bisa diceritakan secara singkat apa yang terjadi pada Adit?

Waktu ia berusia 0-2 tahun, kami (saya dan istri) tidak melihat adanya perkembangan kosa kata yang seharusnya dimiliki anak pada usia tersebut. Kami langsung red alert, karena punya pengalaman dengan orang terdekat juga. Kami langsung mengupayakan intervensi perkembangan anak, yang dibantu oleh pihak ketiga dan yang dikerjakan sendiri. Terapi, baik dengan bantuan terapis maupun yang kami lakukan sendiri, menjadi menu wajib setiap hari.

Orang bilang, lima tahun pertama adalah periode genting melakukan intervensi. Apa saja yang terjadi di masa itu?

Kami menemukan banyak hal yang mesti dibenahi dalam masa-masa tersebut. Namun, meski telah semaksimal mungkin melakukan banyak intervensi, tidak terlihat hasil yang membawanya ke jalur perkembangan anak pada umumnya. Kami tidak mengalami apa yang diceritakan orang lain tentang perkembangan anak mereka. Justru sebaliknya, kami melihat Adit berada dalam spektrum autisme nonverbal, dan berada di level 3.

Perasaan kami campur aduk pada masa-masa itu. Intervensi dengan bantuan pihak luar membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi waktu yang harus dihabiskan untuk pulang pergi ke tempat terapi. Pada masa itu, banyak prioritas hidup harus ditata lagi, dan keputusan-keputusan penting dalam hidup ditinjau ulang, misalnya pilihan jenis pekerjaan, lokasi pekerjaan, dan sebagainya.

Di rentang waktu itu juga, kakaknya sakit, dan harus masuk keluar rumah sakit. Kami pun harus memberi perhatian yang sama besarnya. Tidak hanya itu, kedua orang tua saya juga sedang sakit. Orang tua saya pun bolak-balik masuk rumah sakit. Biaya, waktu, serta perhatian harus dikelola secara tepat, baik ke anak maupun ke orang tua. Tidak mudah, banyak jatuh bangun. Kedua orang tua saya berpulang pada rentang waktu tersebut. Perasaan kami seperti roller-coaster, naik-turun di masa-masa itu.

Bagaimana perasaan menemukan anak menderita autisme?

Hmmmm … anaknya sih tidak menderita. Dia baik-baik saja dan terus ceria. Dari banyak literatur, kami menemukan bahwa autisme bukan “penyakit” yang bisa “sembuh”, tetapi kondisi neurologis yang berlangsung seumur hidup. Karenanya, individu tersebut sering disebut sebagai “penyandang” dan bukan “penderita”.

Jadi yaa, anaknya tidak menderita, yang menderita justru orang tuanya. Di lingkungan orang tua individu atipikal, kami sering bercanda seperti ini, bahwa yang menderita itu orang tuanya, hahaha, untuk saling menghibur.`

Bagaimana kontribusi gereja dalam mengasuh individu atipikal?

Kalau yang dimaksud gereja itu adalah sebuah institusi, dan kontribusi itu adalah program yang diarahkan untuk mengembangkan spiritualitas individu atipikal, seingat saya, enggak banyak ya kontribusinya. Sejauh yang saya tahu, tidak ada kelas sekolah minggu atau ibadah khusus untuk individu atipikal. Juga tidak ada persekutuan rutin untuk orang tua individu atipikal.

Namun, jika yang dimaksud gereja itu adalah para individunya, selalu saja ada orang-orang baik yang bersimpati dan berkontribusi, misalnya beberapa guru sekolah minggu atau teman-teman di gereja. Mereka mencoba memberikan ruang aman dan kesempatan untuk Adit berpartisipasi. Teman-teman juga sering memberikan dorongan dalam berbagai bentuk.

Lalu bagaimana membangun spiritualitas Adit dan keluarga?

He..he…he itulah seninya! Kami menjelajah ke beberapa gereja. Ada gereja yang menyediakan sekolah minggu khusus individu atipikal. Bahkan, ada yang secara terbuka melayankan sidi (pengakuan percaya) bagi individu atipikal. Ada gereja yang juga rutin mengadakan persekutuan orang tua individu atipikal. Dalam jelajah itu, kami juga bertemu dengan orang tua lain yang memiliki anak dengan ragam disabilitas, misalnya down syndrome, cerebal palsy, ADHD, tuna rungu, dan tuna grahita.

Selain itu, kami belajar dari beberapa pegiat kristiani tentang individu atipikal. Kami juga mencoba berkarya bersama rekan-rekan dari denominasi yang berbeda. Perbedaan itu tidak menghalangi, bahkan kami sempat bekerja sama menjalankan persekutuan orang tua individu atipikal beserta anaknya di salah satu gereja.

Di rumah, kami berupaya mencari pintu masuk untuk membangun kerohanian di luar pakem untuk anak-anak tipikal. Individu atipikal biasanya memiliki keterbatasan kognitif, setidaknya itulah yang terjadi pada Adit. Karena itu, kami mencoba masuk melalui sisi afektif, misalnya melalui musik, gambar, atau permainan sederhana.

Pengalaman-pengalaman tersebut pelan-pelan membangun spiritualitas kami sebagai keluarga. Ketika kami mencari bahan-bahan agar anak kami bertumbuh, pada saat yang sama kami juga belajar bertumbuh.

Lalu, bagaimana membangun landasan rohani ketika membersamai individu atipikal?

Kisah Yesus yang diceritakan di Yohanes 9:1-3 menginspirasi kami. Ketika ditanya, “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, dia sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” Jawab Yesus, “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi supaya pekerjaan-pekerjaan Allah dinyatakan di dalam dia.

Kisah ini menguatkan kami dalam dua hal. Pertama, kami tidak perlu sibuk mencari dosa siapa yang menyebabkan hal ini. Dalam perjalanan mengasuh anak, kami banyak menghadapi pertanyaan halus maupun lugas, yang seakan-akan berempati, namun ujungnya berusaha menghakimi. Kedua, karena keyakinan ini, kami dikuatkan untuk terus melangkah, meskipun belum memiliki gambaran jelas apa yang akan terjadi.

Kami terus berjuang meyakini pekerjaan Allah dinyatakan dalam diri Adit. Tidak hanya di masa depan, bahkan kami sudah mulai mengecapnya sekarang. Dalam refleksi, membersamai individu atipikal membuat kami belajar mengembangkan karakter sabar (meskipun masih banyak jatuhnya). Kami juga belajar juga soal daya lenting (meskipun banyak terpuruknya). Kami belajar terus konsisten berjalan maju (meski tanpa melihat hasil nyata di depan mata). Dalam hal ini, anak kami sudah menjadi berkat bagi kami. Tanpa dia, kami tidak akan mempelajari hal-hal seperti ini.

Karena kondisi Adit, kami juga berjumpa dengan banyak orang tua lintas agama, lintas ekonomi, dan lintas status. Terjadi interaksi-interaksi saling menguatkan, yang mungkin tidak akan pernah kami alami jika bukan karena kondisi Adit. Keadaan kami dan anak kami terkadang menjadi sumber penguatan bagi yang lain, demikian juga sebaliknya. Bagi kami, pengalaman-pengalaman ini adalah wujud cinta Tuhan yang berbeda dari yang dahulu kami pikirkan. Pengalaman-pengalaman seperti inilah yang perlahan membangun landasan rohani kami.

Apakah dengan landasan rohani itu tidak ada lagi rasa khawatir, mengingat kondisi Adit akan berlangsung seumur hidup?

Nah, ini uniknya! Rasa khawatir sekaligus rasa berserah selalu ada. Perasaan tersebut datang silih berganti. Ketika dinamika ini terjadi, biasanya kami mencoba mengingat kisah dialog Yesus dengan Petrus, sewaktu ia menanyakan nasib salah seorang murid di masa depan (Yohanes 21:21-22), “Jawab Yesus, ‘Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tetap hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu. Namun engkau, ikutlah Aku.’”

Bagi kami, kisah ini berbicara seperti ini: Masa depan seseorang, termasuk anak kami, bukan urusan kami. Itu urusan Tuhan. Urusan kami adalah mengikut Dia. Kisah ini bukan membuat kami apatis dan tidak berikhtiar. Cerita ini justru merawat kekhawatiran kami. Ada sosok yang lebih besar dari kami yang akan terus menjaga, yaitu Sang Penciptanya. Dalam situasi seperti ini, kata-kata “Itu bukan urusanmu...” terasa meneduhkan bagi kami.

Sedangkan kata-kata “... Namun engkau, ikutlah Aku” bagi kami adalah ajakan untuk terus mengikuti dan meneladani Dia, termasuk teladan Yesus memberikan yang terbaik bagi seluruh ciptaan-Nya. Kami berusaha memaknai, semua tindakan dalam hidup sepatutnya dilakukan dengan upaya terbaik, termasuk membersamai Adit.

Kami berusaha untuk mendoakan kerja kami, dan mengerjakan doa kami. Ketika kami merasa bergerak di antara pendulum menyerah atau berserah, bagian kisah Alkitab ini membawa kekuatan kembali bagi kami.

Adit sudah memasuki masa remaja. Apa rencana dan bekal keluarga membersamai Adit di masa depan?

Kami sangat merasakan perbedaan ketika berbicara dengan orang tua anak tipikal dibandingkan dengan orang tua anak atipikal. Orang tua anak tipikal seperti memiliki peta yang jelas tentang perkembangan anak di masa depan, yaitu sehabis SD, terus SMP, SMA, kuliah, bekerja, mandiri dan seterusnya.

Kami sadar, kami tidak memiliki peta masa depan seperti itu. Bahkan, ketika bertukar perasaan dengan sesama orang tua anak atipikal, kami menemukan sesama anak atipikal pun belum tentu memiliki peta perkembangan yang mirip.

Peta itu rasanya unik bagi setiap individu. Kami terus-menerus mencari jalan yang sesuai dengan perkembangan anak kami. Hal ini berarti terus menggali minat dan bakat anak kami. Kami pun harus mencoba keterampilan ini dan itu; mudah-mudahan ada yang cocok. Apalagi anak kami nonverbal, sehingga tidak mudah memahami apa keinginannya.

Hidup dalam mode terus mencari dan siaga beradaptasi sering terasa melelahkan. Manakala kerapuhan menyerang karena kelelahan, kami mencoba selalu kembali ke kisah Alkitab yang diceritakan sebelumnya di atas. Rasanya inilah bekal yang kami miliki sekarang. Terus mencoba dan (semoga) tidak mudah lelah.

Terakhir, karena temanya adalah “Gereja yang Merangkul”, adakah pendapat bagaimana sebaiknya gereja merangkul individu atipikal dan pendampingnya?

Hmmmm …, ‘gak ada pendapat yang gimana sih, saya hanya orang biasa. Melihat pengalaman di beberapa gereja, biasanya sih gereja sebagai sebuah institusi akan memfasilitasi hal-hal yang dianggap penting oleh para pemimpinnya di masa itu. Ada gereja yang sangat peduli pada pembinaan kognitif, maka kebaktian dan acara persekutuan rutin diisi dengan pengajaran doktrinal. Ada juga gereja yang berfokus pada pembangunan gedung, sehingga kreatif menciptakan kegiatan-kegiatan yang belum pernah ada sebelumnya. Demikian juga ada gereja yang sangat peduli dengan pengalaman emosional saat kebaktian, ibadah rutin saja sudah seperti konser berbayar.

Yaa …, ini mungkin soal prioritas. Beberapa kali saya melihat individu atipikal datang ke gereja dengan pendampingnya. Mungkin umat dengan individu atipikal jumlahnya cukup banyak, namun mereka maupun pendampingnya belum mau muncul. Bisa jadi karena merasa belum menemukan ruang aman. Misalnya, individu atipikal berisiko tantrum atau berperilaku tidak wajar di ruang ibadah karena gangguan sensorinya. Ketika itu terjadi, bayangkan mereka mendadak dipelototi pengunjung ibadah yang lain. Pendampingnya, yang bukan individu atipikal, pun bisa trauma karena rasa malu.

Menjadi “Gereja yang Merangkul” beragam disabilitas, termasuk individu atipikal, rasanya membutuhkan koordinasi banyak sumber daya. “Gereja yang Merangkul” hanya bisa terjadi jika telah ditetapkan sebagai prioritas oleh pemimpinnya. Menurut saya, merekalah garda terdepan, yang memiliki akses dan kewenangan mengelola ragam sumber daya yang ada.

* * * *

Sekilas Autisme

Kata “autisme” sering dipakai untuk menyingkat istilah yang lebih panjang, yaitu Gangguan Spektrum Autisme, yang merupakan terjemahan dari Autism Spectrum Disorder (ASD). Gangguan (disorder) mengacu pada kondisi perkembangan yang memengaruhi cara seseorang berkomunikasi, berinteraksi sosial, dan berperilaku. Spektrum (Spectrum) mengacu pada gejala dan tingkat keparahannya, yang bervariasi sangat luas antar individu. Autisme (Autism) mengacu pada kondisi terganggunya perkembangan otak, yang biasanya muncul sejak usia dini.

Menurut DSM-V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi ke-5, 2013 - sebuah panduan standar yang digunakan oleh profesional kesehatan), spektrum autisme ini diklasifikasi menjadi tiga level. Singkatnya, level 1 membutuhkan dukungan. Biasanya mereka punya kemampuan komunikasi verbal dan kognitif yang cukup baik, namun mengalami kesulitan dalam interaksi sosial, seperti menjaga percakapan dua arah, atau memahami isyarat sosial halus. Level 2 membutuhkan dukungan substantial. Biasanya mereka memiliki keterbatasan yang lebih besar dalam komunikasi verbal dan nonverbal, dan sulit menyesuaikan diri terhadap perubahan atau rutinitas baru. Level 3 membutuhkan dukungan sangat substantial karena keterbatasan komunikasi yang parah, seringkali nonverbal atau hanya sedikit bicara, perilaku terbatas dan berulang, dan terkadang mengganggu kehidupan sehari-hari. 

*Wawancara imajinatif

**Penulis adalah seorang pengamat hidup Kekristenan.