Penulis: Indra Putra.  Editor: Tjhia Yen Nie.

 

Pagi ini melelahkan bagiku. 

Tidur semalam terasa terlalu singkat karena tidur larut mengejar deadline tugas. Hari ini pun bangun terburu-buru karena tidak boleh terlambat rapat. Jam menunjukan pukul 05.45 dan sambil berusaha tidur di bus, aku berharap tempat duduk sebelahku tetap kosong. “Jangan sampai ada yang duduk di sebelahku,” ujarku dalam hati. Aku ingin tidur nyenyak. Lagi pula ukuran badanku yang cukup besar membuat duduk bersebelahan menjadi tidak nyaman. 

Sebelum bus masuk tol, dengan tergopoh-gopoh naiklah seorang perempuan. Tampilannya kusut dan mukanya terlihat ketus. Matanya jelalatan mencari tempat duduk kosong. Tiba-tiba ia menjatuhkan pandangannya ke tempat duduk di sebelahku. “Permisi, saya mau duduk disitu,” gumamnya ketus. Aku pun belagak tidak mendengar ucapannya. Kepalaku masih tertunduk. Pura-pura tidur. “Permisi, saya mau duduk,” teriaknya lebih keras. Aku masih tetap menunduk, berpura-pura sedang tidur lelap. Tidak mau menyerah, ia lantas menepuk-nepuk pundakku dan berteriak sedikit keras “Permisi, saya mau duduk disitu.” Yah, karena sudah ditepuk-tepuk dan dengan suara keras pula, aku pun pura-pura bangun. Dengan berat hati akhirnya aku mempersilakan ia duduk sambil merutuk dalam hati “Sialan, ga bisa tidur deh”. 

Setelah duduk, ia langsung mengeluarkan gawainya. Karena kepo, aku pun melirik ingin melihat apa yang tampil di layar gawainya. “Paling-paling lihat Instagram atau berita-berita gosip, model orang jutek kayak begini,” ucapku dalam hati sambil mencoba mencari hal-hal buruk darinya. Aku masih kesal karena rencanaku untuk tidur nyaman terganggu. 

Aku mendadak terpana. Tidak seperti dugaanku, perempuan tersebut membuka gawainya dan langsung membaca Alkitab. Ia terlihat menikmati membaca bacaannya. Karena masih kepo, aku pun tetap memperhatikan dia sambil pura-pura menutup mata. Ternyata dia meneruskan bacaan Alkitabnya dengan membaca renungan harian. 

Tiba-tiba aku merasa malu. 

Malu sejadi-jadinya. Dengan mudah aku menuduh perempuan tersebut ketus, jutek dan telah mengganggu kenyamananku hanya karena aku ingin menguasai dua tempat duduk. Ia pun mungkin lelah seperti diriku, namun dalam kelelahannya ia tetap berusaha menjumpai Tuhan lewat saat teduhnya di bus.

Aku memejamkan mata. Kali ini bukan berupaya tidur, tapi mengucapkan doa yang sudah jarang aku sampaikan karena lelah pada rutinitas sehari-hari. “Tuhan, aku mau belajar seperti perempuan di sebelahku ini, yang masih berupaya menjalin relasi dengan Engkau. Terima kasih telah menepuk pundakku.”.

“Hidupmu kitab terbuka, dibaca sesamamu . . .apakah tiap pembacanya melihat Kristus dalammu ...” mendadak potongan lagu tersebut seakan bernyanyi di telingaku. Dalam diam dan tanpa berkata-kata, perempuan tersebut sedang menjadi kitab terbuka bagiku. Akulah pembaca yang mendapatkan berkat dari ketekunannya. Aku pun seperti tertampar lagi. Potongan lagu ini seakan juga bertanya, apakah dalam kelelahan dan rutinitasku sehari-hari aku telah menjadi kitab terbuka bagi sesamaku? 

Pagi ini menjadi berbeda. 

Aku sadar Tuhan telah menyapa dan menepukku dengan cara yang tak terduga, seperti yang biasanya Ia lakukan. Aku merasakan kedamaian karena Ia tetap memperhatikanku, bahkan ketika aku mulai melupakan Dia. “Terima kasih Tuhan,” batinku berujar, dan aku pun tertidur sambil tersenyum.