Lalu ia memberi raja seratus dua puluh talenta emas, rempah-rempah yang sangat banyak, dan batu permata yang mahal. Tidak pernah lagi rempah-rempah datang begitu banyaknya seperti yang diberikan ratu dari Syeba kepada Raja Salomo. Lagi pula kapal-kapal Hiram, yang mengangkut emas dari Ofir, membawa dari Ofir kayu cendana yang sangat banyak dan batu permata yang mahal (1Raja-raja 10:10-11).

Bagian Alkitab di atas merupakan cuplikan kisah ratu negeri Syeba yang mengunjungi Raja Salomo. Sebagai respons atas kekagumannya terhadap hikmat dan kemakmuran Raja Salomo, ia memberikan begitu banyak hadiah, termasuk di antaranya emas sebanyak dua puluh talenta. Menurut terjemahan Bahasa Indonesia Masa Kini (BIMK), itu setara dengan empat ribu kilogram emas, alias empat ton! Pernahkah Anda membayangkan bagaimana cara memperoleh emas sebanyak itu?

Secara tradisional, emas dapat diperoleh dengan cara mendulang, biasanya dilakukan di aliran sungai, menggunakan alat yang sederhana dan mengandalkan keterampilan manusia serta “keberuntungan”, untuk memisahkan serbuk emas dari pasir atau endapan lainnya. Ada cara lain yang sifatnya juga masih manual, yaitu dengan menggali tanah di tempat yang diperkirakan memiliki kandungan emas. Tanah galian tersebut kemudian diangkut dan diayak, untuk memisahkan antara batu, tanah, kotoran lainnya, dengan serbuk emas yang ditemukan. Lain lagi dengan pertambangan modern yang menggunakan peralatan mekanik, yang tentu prosesnya akan lebih cepat dan memiliki kapasitas produksi yang lebih besar.

Kembali ke kisah ratu negeri Syeba, dapatkah Anda bayangkan, untuk memperoleh emas sebanyak empat ton, berapa banyakkah pasir sungai yang dipindahkan, yang mungkin mengakibatkan perubahan kedalaman dan arah aliran sungai? Atau, berapa banyakkah lubang galian yang terbentuk, berapa dalamnya, dan berapa panjangnya? Belum lagi untuk memperoleh batu permata yang mahal-mahal, yang tentunya juga melibatkan proses penggalian tanah. Demikian pula, sedemikian banyaknya kayu cendana yang dihadiahkan bagi Raja Salomo, bukankah berarti banyak pohon cendana yang ditebang? Apakah terjadi penggundulan hutan, yang mungkin mengakibatkan terjadinya banjir dan longsor serta hilangnya habitat satwa liar?

Pertanyaan-pertanyaan di atas tidak dimaksudkan untuk meragukan kearifan manusia di masa lampau dalam mengelola lingkungan hidup, tetapi untuk mengajak kita berpikir tentang dampak lingkungan yang mungkin timbul, akibat eksploitasi sumber daya alam.

Sedari dahulu hingga kini, emas dan berbagai jenis logam lainnya, seperti tembaga, perunggu, besi, dan timah, tidak diragukan lagi, begitu berharga dan berguna bagi kehidupan manusia. Seandainya logam tidak ditemukan, niscaya manusia masih hidup di zaman batu, dan tidak mengalami banyak kemudahan yang kita rasakan saat ini. Karenanya, kasus praktik penambangan timah oleh PT. Timah di Bangka Belitung, yang mengakibatkan kerusakan lingkungan yang merugikan negara sebesar Rp 271 triliun, semestinya tidak serta-merta membuat kita mengharamkan kegiatan pertambangan. Yang harus dilakukan dan diperjuangkan adalah bagaimana manusia dalam melakukan pertambangan, bahkan segala macam jenis kegiatan usaha lainnya, manusia bisa mengendalikan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Yang dimaksud adalah bagaimana di satu sisi dapat meminimalkan dampak negatif, dan di sisi lain memaksimalkan dampak positif terhadap lingkungan.

“Beranakcuculah dan bertambah banyaklah. Penuhilah dan taklukkanlah bumi. Berkuasalah atas ikan-ikan di laut, burung-burung di udara dan atas segala binatang melata di bumi!” Demikianlah mandat yang diberikan Allah kepada manusia, ketika Ia menciptakan mereka (Kejadian 1:28). Mengutip dari Santapan Harian, Kamis, 30 Januari 2003, “Penuhilah dan taklukanlah bumi” memiliki makna bahwa keberadaan manusia dan tugasnya untuk berkuasa atas alam, adalah tanda atau “gambar” dari kedaulatan Allah atas semesta. Karena itu, tugas “penguasaan” yang dilakukan manusia bersifat penatalayanan. Manusia berkuasa atas alam demi Allah, dan bukan demi dirinya sendiri. Manusia diberikan mandat ini semata-mata untuk memberlakukan tatanan yang teratur atas alam ciptaan, sebagaimana Allah juga telah mengatur alam semesta dari kekacauan mula-mula.

Penatalayanan (stewardship) dalam pengelolaan sumber daya alam berarti melakukannya secara bertanggung jawab dan berorientasi jangka panjang atau berkelanjutan (sustainable). Karenanya, pada saat merencanakan suatu jenis usaha, perlu dilakukan kajian kelayakan usaha secara menyeluruh. Tidak saja secara ekonomis dan teknis, tetapi juga secara lingkungan. Tanpa melakukan kajian kelayakan lingkungan, maka suatu usaha/kegiatan cenderung akan berorientasi bisnis semata, demi keuntungan pemilik modal, dan mengabaikan kelestarian alam serta kemaslahatan masyarakat luas.

Pemerintah Indonesia telah mengatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, bahwa setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak lingkungan wajib memiliki dokumen lingkungan, berupa analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), atau dokumen upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan (UKL-UPL), atau surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan (SPPL). Dalam dokumen-dokumen tersebut, secara ilmiah diidentifikasi dampak lingkungan apa saja yang akan timbul, sebagai akibat dari adanya suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, mulai dari tahap prakonstruksi, konstruksi, operasi, hingga pascaoperasi dan bagaimana pengendalian dampak yang akan dilakukan dalam setiap tahapan tersebut. Dokumen lingkungan yang telah disusun tersebut selanjutnya dinilai, untuk memutuskan apakah rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dijalankan itu layak secara lingkungan (environmentally feasible), atau tidak. Dengan mekanisme demikian, dapat diperoleh keputusan yang menyeluruh, untuk menyatakan bahwa suatu rencana usaha itu tidak saja layak secara ekonomi (economically feasible) dan teknis (technically feasible), tetapi juga yang sangat penting, layak secara lingkungan (environmentally feasible).

Tentu tantangannya terletak pada implementasinya, bagaimana pengendalian dampak lingkungan yang sudah direncanakan tersebut dapat sungguh-sungguh dilaksanakan. Dalam hal inilah dituntut tanggung jawab pelaku usaha, selaku pelaksana tugas penatalayanan (stewardship) pengelolaan sumber daya alam. Perlu komitmen yang kuat untuk menjalankan bisnisnya dengan tetap menjaga kelestarian alam. Komitmen itu harus diwujudkan dengan menyediakan tenaga kerja yang kompeten untuk melaksanakan program pengelolaan lingkungan, yang sudah direncanakan dalam dokumen lingkungan. Selain itu, tentu perlu didukung juga dengan anggaran yang memadai untuk melaksanakan program pengelolaan lingkungan tersebut, termasuk menyediakan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) untuk masyarakat sekitar. Hal ini karena komponen lingkungan yang terkena dampak tidak saja flora, fauna, tanah, air dan udara, tetapi juga manusia yang ada di sekitarnya. Misalnya, apakah dengan adanya kegiatan usaha yang baru akan meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal melalui penyerapan tenaga kerja, pembukaan peluang usaha seperti katering, kos/kontrakan rumah, dsb. Jangan sampai kegiatan usaha baru ini justru menimbulkan gangguan lalu lintas, kebisingan, dan keamanan pada masyarakat. Termasuk juga perlu diperhatikan, bagaimana kegiatan usaha baru tersebut tidak mengganggu tatanan sosial budaya yang telah lama ada dalam masyarakat.

Ada sebuah konsep bisnis berkelanjutan (sustainability business), yang pertama kali diperkenalkan oleh John Elkington pada tahun 1994, yaitu 3P (people, planet, profit). Untuk P yang ketiga, yaitu profit, tentu bukanlah sesuatu yang baru dalam menjalankan bisnis, karena secara alami, siapa pun yang menjalankan usaha pasti ingin mendapatkan keuntungan secara finansial. Yang kemudian ditambahkan adalah P yang pertama dan yang kedua, yaitu people dan planet. Penempatan people dan planet mendahului profit menunjukkan, itulah prioritas yang harus didahulukan. Bila suatu usaha/bisnis ingin bertahan dalam waktu lama, pengelola usaha tersebut harus berupaya membawa keuntungan bagi pekerja, buruh dan masyarakat, misalnya dengan memberi upah yang adil, memberi pelatihan kerja, dan menjalankan program pemberdayaan masyarakat. Di samping itu, perusahaan juga perlu menjalankan bisnisnya dengan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan, misalnya dengan memanfaatkan sumber daya alam secukupnya, menggunakan teknologi ramah lingkungan, melakukan reklamasi dan revegetasi, serta mengolah kembali limbah dari kegiatan produksinya.

Ada sebuah ungkapan yang berbunyi, “Bumi menyediakan cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak cukup untuk memenuhi keinginan segelintir orang yang serakah.” Ungkapan ini dapat diartikan, bumi memiliki sumber daya alam yang terbatas, bisa rusak (menurun kualitasnya), bahkan bisa habis. Keterbatasan sumber daya alam ini semestinya menumbuhkan kesadaran, sumber daya alam perlu dikelola secara bijaksana, agar bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi umat manusia. Hal ini menjadi tanggung jawab moral segelintir orang, yaitu para para pelaku usaha, seperti pemegang izin pertambangan dan industri, untuk mengekang diri, tidak mengikuti nafsu memperkaya dirinya sendiri. Bila tanggung jawab itu tidak dilakukan, maka bencanalah yang akan dituai. Tragisnya, bila bencana alam terjadi, seperti banjir, tanah longsor, atau kekeringan, maka ia tidak memilih-milih korban. Bila sudah demikian, kekacauanlah yang terjadi.

Sejatinya, menjaga kelestarian alam adalah tanggung jawab setiap orang, karena Allah memberikan mandat itu kepada manusia sejak awal manusia diciptakan. Kebenaran yang tercatat dalam Alkitab ini haruslah memotivasi orang Kristen (orang percaya), agar melalui kehadirannya, ia dapat menimbulkan keteraturan pada alam sekitarnya. Kita dapat memulai dari hal-hal sederhana yang kita jumpai sehari-hari, seperti mengelola sampah rumah tangga. Lakukanlah pemilahan sampah, terapkan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle – kurangi, gunakan kembali, dan daur ulang). Yakinlah, tindakan sederhana bisa berdampak besar. Dengan menangani sampah secara baik, tidak saja lingkungan sekitar rumah kita menjadi bersih, tetapi juga akan mengurangi emisi gas rumah kaca yang menimbulkan pemanasan global. Mari kita jaga alam kita. Jika kita menjaga alam, alam pun akan menjaga kita. Salam lestari.

*Penulis adalah adalah alumnus Fakultas Kehutanan IPB, saat ini bekerja di Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Tengah.