Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” (Kolose 3:23)

Paulus menasihati jemaat di Kolose untuk bekerja seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Ada beberapa hal yang perlu kita cermati dari pernyataan Paulus ini. Yang pertama, janganlah kita mengejar hormat dan pujian dari manusia belaka. Kalau hal ini dilakukan secara ekstrim, akan timbul perilaku menjilat, asal bapak senang, tidak peduli apakah perbuatannya itu akan melukai orang lain atau tidak, dan tidak ragu menghalalkan segala cara demi terlihat baik. Etika kerja profesional dilanggar dan menampilkan kebohongan, semuanya hanya demi mendapatkan pujian dari bosnya.

Yang kedua, hendaknya kita bekerja atau melakukan segala sesuatu seakan-akan Tuhan adalah bos yang mengawasi kita. Tuhan kita adalah Allah yang Maha Kudus, yang membenci dosa dan ketidakbenaran. Sudah sepantasnya kita bekerja dengan lebih benar dan semaksimal mungkin. Sepintas, kalau kita melihat tokoh Alkitab seperti Yusuf, misalnya, ia menerapkan prinsip bekerja dengan jujur dan berintegritas. Meskipun tidak disebutkan secara gamblang bahwa Yusuf takut akan TUHAN dan selalu mencari kehendak-Nya, kita yakin, dalam kehidupan sehari-hari, ia menyadari TUHAN mengawasinya. Yang menarik, dikatakan TUHAN menyertai Yusuf, sehingga ia menjadi seorang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya (Kejadian 39:2). Dalam statusnya sebagai budak, ia bekerja dengan jujur dan sungguh-sungguh, sehingga dipercaya oleh Potifar untuk mengurus rumahnya. Meskipun kemudian dijebloskan ke dalam penjara karena fitnah istri Potifar, ia tetap bekerja sebaik-baiknya, sehingga menjadi kesayangan kepala penjara, dan dipercaya untuk mengurus banyak pekerjaan di penjara tersebut (Kejadian 39:21).

Yang lebih elok lagi, ia tidak mengompromikan kebenaran. Seandainya ia mau berzinah dengan istri Potifar, Potifar dan seisi rumah tersebut mungkin tidak akan tahu, dan ia dapat akan menikmati hak istimewa di rumah tersebut. Namun, TUHAN punya rencana yang jauh lebih besar, mempersiapkannya menjadi adipati Mesir, wakil Firaun sendiri. Yusuf menanti saatnya rencana Tuhan dinyatakan dengan penuh kesabaran dan iman.

Demikian pula dengan Daniel, yang bersama dengan teman-temannya diangkut ke Babel. Ia tidak berkompromi dengan memakan hidangan yang disantap raja, karena kemungkinan sudah dipersembahkan kepada dewa-dewa berhala (Daniel 1). Dalam pekerjaannya, tidak didapati kesalahan atau kelalaian apa pun, dan ia tetap setia, artinya bekerja dengan penuh integritas (Daniel 6:5). Para pejabat tinggi dan wakil raja berusaha menjebaknya karena iri hati akan kedudukannya. Mereka mendesak raja untuk menerbitkan aturan yang melarang orang menyampaikan permohonan kepada dewa atau orang, selain kepada Raja Darius. Jika dilanggar, orang itu akan dicampakkan ke dalam gua singa. Cerita berakhir bahagia, karena Daniel dilindungi TUHAN dan selamat dari terkaman singa, sementara para pejabat tinggi dan wakil raja yang iri kepadanyalah yang justru tewas di moncong binatang buas tersebut. Peristiwa ini menimbulkan rasa hormat dan takut kepada TUHAN yang disembah Daniel dan kawan-kawannya.

Yang ketiga, setiap orang harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya selama hidup kepada Tuhan, seperti yang digambarkan dalam perumpamaan tentang talenta (Matius 25:14—30). Kalau kita hidup sembarangan dan melakukan tipu-tipu, tanpa integritas, bersiaplah untuk disebut sebagai hamba yang jahat dan tidak setia, dan dicampakkan ke dalam kegelapan.

Bagaimana dengan realitas sehari-hari? Apa yang didambakan seseorang ketika lulus sekolah atau kuliah? Kecuali memiliki orang tua yang kaya dan mewarisi kekayaan atau bisnisnya, sehingga lebih mudah memperoleh penghasilan tinggi dan posisi yang nyaman, biasanya orang akan mencari pekerjaan. Dengan demikian, ia akan memperoleh pendapatan. Namun, ia pun tentu berharap kariernya akan menanjak di kemudian hari. Dalam dirinya tertanam nilai- nilai yang diajarkan orang tua, guru, agama, maupun masyarakat pada umumnya, bahwa ia harus bekerja penuh integritas dan jujur, agar dipercaya di tempat kerjanya. Kalau ia seorang staf penjualan, maka ia harus bekerja dengan jujur, tidak menipu sana-sini atau memalsukan bon penjualan, misalnya. Kalau bekerja di bagian pembelian, ia tidak akan berkolusi dengan pemasok untuk mendapatkan komisi atau menaikkan (mark-up) harga pembeliannya, atau menurunkan spesifikasi barangnya. Kalau bekerja di bidang pembukuan atau keuangan, tentu ia diharapkan mencatat setiap transaksi keluar-masuk dengan benar, tidak membuat pembukuan ganda, tidak menarik uang atau membuat cek tanpa sepengetahuan atasan. Bahkan, kalau dia seorang pengemudi atau sopir, ia tidak boleh memalsukan bon pembelian BBM, berkolusi dengan pegawai SPBU. Pendek kata, ia harus bekerja dengan jujur dan penuh integritas.

Ketika mewawancarai seorang pelamar kerja, seorang staf sumber daya manusia maupun pengguna (user) akan menguji apakah pelamar tersebut jujur atau tidak. Untuk mencegah terjadinya kecurangan, suatu perusahaan biasanya memiliki peraturan beserta sanksinya. Para karyawan diminta membaca dan menandatangani pedoman perilaku (code of conduct) atau pakta integritas. Perusahaan-perusahaan pun biasanya mempersiapkan lembar deklarasi (declaration form) yang meminta para karyawan untuk tidak melakukan usaha di luar pekerjannya tersebut, yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Misalnya, bila ia bekerja di perusahaan eceran (retail) seperti convenience store, pasar swalayan, atau hypermarket, ia harus mendeklarasikan bahwa ia tidak akan membuka toko kelontong yang menjual secara eceran barang- barang yang mirip dengan yang dijual oleh perusahaan tempatnya bekerja, kecuali jika perusahaan tersebut mengetahui dan mengizinkannya.

Ada sebagian orang yang mengatakan, “jujur bikin hancur”, yang bermakna bahwa kejujuran justru mendatangkan kehancuran dalam hidup seseorang. Tidak sedikit orang yang harus berbohong dan merelakan suara hatinya demi mencari selamat. Mereka berusaha mencari aman, daripada menjadi susah dan kerepotan. Hal ini juga berlaku di dunia kerja. Mari kita bahas lebih saksama. Hampir dalam semua lini kehidupan, terjadi benturan antara dua sisi kehidupan: benar dan salah, hitam dan putih, celaka dan aman, serta dua sisi-dua sisi lainnya, yang menghantui siapa saja yang ingin berlaku jujur. Dalam bidang etika, polaritas itu tidak hanya memiliki dua sisi, melainkan seperti garis lurus dengan titik-titik yang bertebaran di antara dua kutub tersebut. Jadi, di antara hitam dan putih ada nuansa hitam keabu-abuan, abu-abu muda, putih keabu-abuan, dan seterusnya. Tak sedikit yang ingin berusaha hidup apa adanya dengan melawan arus, tapi faktanya, kehidupannya tetap begitu-begitu saja. Sering kali, kita pun mendapati, orang yang ingin menyuarakan kebenaran justru mendapatkan akibat yang tidak mengenakkan.

Kalau kita mencermati kasus-kasus megakorupsi perusahaan tambang timah, perusahaan minyak nasional, manipulasi iklan sebuah bank daerah, perusahaan asuransi jiwa plat merah yang berkolusi dengan perusahaan swasta, sehingga mengakibatkan kerugian hingga puluhan miliar atau ratusan triliun rupiah, kita terheran-heran. Kok bisa ya, orang-orang yang berjabatan tinggi, yang mestinya sudah bergaji lebih dari cukup melakukan korupsi dan berperilaku tidak jujur, dan tentunya melanggar integritas? Lebih ngeri lagi, tindak korupsi ini tidak dilakukan secara sendirian, tetapi justru dilakukan secara berjemaah dan menjadi gurita sistem, yang sulit diselidiki atau ditembus.

Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Bahkan, kemalangan demi kemalangan seakan-akan menghantui dan menguji orang-orang yang tadinya benar-benar bersih hati dan pikirannya, yang ingin selalu lurus dalam ucapan. Karena situasi tertentu, orang-orang tersebut terpaksa mengorbankan hati nuraninya. Ia merelakan kejujuran hatinya turut tergadai, lantaran kondisi kehidupan yang terlalu keras untuk dijalani.

Boleh jadi, orang yang ingin menegakkan kebenaran, justru dirugikan. Orang yang melakukan kejahatan, yang seharusnya mendapatkan hukuman, ternyata justru melawan balik, dengan tuduhan pencemaran nama baik. Fenomena hukum di negeri ini memang kadang terlihat kacau. Hukum yang ada ternyata tidak melindungi masyarakat yang melaporkan tindak pidana. Pantaslah jika saat ini muncul kecenderungan untuk bersikap abai terhadap ketidakbenaran apa pun yang ditemui. Dengan alasan ingin cari aman, semua tindakan melanggar hukum akhirnya bisa dilakukan tanpa khawatir ditindak. Tak hanya kejahatan kelas kakap, menghadapi kejahatan kelas teri saja kalau sudah melibatkan uang, kebenaran selalu dikalahkan.

Hukum sering kali tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Untuk mengadili masyarakat kelas teri, hukum begitu mudah ditegakkan, tetapi bagaimana dengan orang-orang yang berdasi dan bermobil mewah, dengan pangkat yang mentereng? Sulit sekali. Kebenaran dengan mudah diputarbalikkan. Dalam Habakuk 1, Nabi Habakuk menyerukan tentang ketidaksetiaan. Kekerasan dan aniaya lebih dominan, sehingga hukum kehilangan kekuasaannya (pudarnya supremasi hukum) dan keadilan tidak pernah ditegakkan (1:4). Ia pun mulai mempertanyakan keadilan Tuhan (1:12—17). Namun puji Tuhan, dalam Habakuk 3:17-19, ia berkata, “Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pokok anggur tidak berbuah … (mencerminkan ketidakadilan dalam dunia yang penuh dosa ini), aku akan bersukacita di dalam TUHAN, bersorak-sorai di dalam Allah Penyelamatku.” Ia mengakui, ALLAH adalah kekuatannya.

Lebih menarik lagi membaca kisah tentang teman-teman Daniel, yakni Sadrakh, Mesakh, dan Abednego yang tidak mau menyembah patung buatan Raja Nebukadnezar. Mereka dibawa kepada raja, dan disuruh menyembah patung tersebut. Mereka tetap menolak dan mengatakan, “Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, Ia akan melepaskan kami … Tetapi, seandainya tidak, … kami tidak akan … menyembah patung emas yang Tuan dirikan itu.” Akibatnya jelas. Mereka dicampakkan ke dalam perapian menyala-nyala, yang dipanaskan tujuh kali lebih panas daripada sebelumnya. Cerita ini berakhir baik, karena ada figur keempat, yang diyakini adalah figur malaikat, bahkan TUHAN sendiri, yang menjagai sehingga mereka tidak terbakar, bahkan sehelai rambut pun tidak (Daniel 3:27). Ini menyebabkan kegentaran terhadap Allah, Tuhan mereka. Kalaupun tidak, mereka tetap mempertahankan kebenaran, dan bersedia mati dalam TUHAN.

Pelajaran dari uraian di atas tentu tidak mudah untuk dilakukan. Tidak semua kisah kita akan berakhir bahagia karena pertolongan Tuhan. Namun, setidaknya ada hal-hal yang dapat orang Kristen ambil sebagai prinsip. Yang pertama, semua pekerjaan adalah amanat dari Tuhan, dan dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut, hendaklah kita bekerja seolah-olah Tuhan ikut mengawasi kita. Yang kedua, kita akan dimintai pertanggungjawaban. Akan terlihat, apakah kita adalah hamba yang setia dan baik, atau hamba yang tidak setia dan jahat. Yang ketiga, hendaknya kita tetap beriman dengan setia kepada-Nya, sehingga tidak melanggar integritas yang mengakibatkan dosa, sesuatu yang tidak berkenan kepada Tuhan. Yang keempat, dalam segala situasi yang tidak benar dan tidak adil, marilah kita tetap bertahan, meskipun ada risiko disisihkan atau dijegal karena kebenaran yang kita pertahankan. Misalnya, promosi kita dihambat karena berbeda agama, atau karena tidak bisa diajak kolusi untuk melakukan korupsi, dan seterusnya. Hidup di dunia ini sementara dan fana sifatnya. Kita akan bertemu dengan Tuhan dalam kekekalan di surga nanti.

Secara umum, tentunya kita bisa mengatakan, kalau kita bekerja jujur dan berintegritas, perusahaan akan memilih dan mempercayai kita. Namun, dalam situasi yang tidak mendukung, tetaplah bertahan tanpa melanggar kebenaran, sambil terus menentang ketidakbenaran itu. Bersiaplah menanggung risiko harus meninggalkan perusahaan tersebut, karena dipandang sebagai halangan bagi orang lain. Kiranya Tuhan terus memberikan hikmat kepada kita untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah, sambil terus menyuarakan suara kenabian tentang perbuatan yang tidak benar tersebut, meskipun ada risiko kita akan dijauhi atau dimusuhi. Amin.

*Penulis adalah seorang pelaku bisnis, anggota GKI Gading Serpong.