Dua bulan lalu, saya harus dirawat di rumah sakit. Hari pertama, saya sendirian; baru di hari kedua, bertepatan dengan hari Minggu, pagi-pagi sudah ada pasien yang masuk.  Pasien itu anak muda yang ditemani istrinya, mungkin lebih tepatnya keluarga muda. Hal ini saya ketahui, karena beberapa menit setelah datang, mereka melakukan video call dengan seorang anak kecil.

Tidak lama kemudian, ada dua anak muda datang, laki-laki dan perempuan, berkisar usia 28 tahun, dan mereka baru saja pulang dari gereja. Mereka berdua menceritakan suasana gereja dan isi khotbah pendeta hari itu.

“Isi khotbahnya keren banget! Bayangkan, Pak Pendeta mengupas habis satu ayat, dengan aplikasi yang mengena bagi seluruh umat yang hadir. Pendeta mengatakan, jangan khawatir jika kita dalam kesulitan, karena kesulitan pun dapat membuat orang bertumbuh dalam iman, dari kesulitan seseorang bisa tertantang untuk mencari ide lebih berkreasi, berinovasi, dan menjadi berkat.”

 “Ingat Randy Pausch, seorang profesor di bidang komputer, yang bekerja di Disney. Pada tahun 2006, ia divonis menderita kanker pankreas, dan dinyatakan hanya bisa bertahan 2-3 tahun, sedangkan anak-anaknya masih kecil. Dia menjadi sangat khawatir dengan kehidupan keluarganya. Maka ia bertanya kepada istrinya, ‘Apa yang kamu inginkan?’ Istrinya meminta dua hal: pertama, pindah rumah ke negara bagian lain, di mana dia bisa dekat dengan orang tuanya dan keluarga yang lain. Kedua, meminta suaminya dekat dengan anak-anak. Apa yang diminta istrinya, dia lakukan, bahkan hampir setiap hari dia bermain dengan anak-anaknya, dengan suka cita, sambil diabadikan/direkam, dengan harapan, ketika dia sudah tiada, anak-anaknya dapat mengenang ayahnya yang lucu, ayahnya yang dekat dengan mereka, ayah yang mencintainya, sehingga anak-anak mampu bertumbuh dengan baik. Pada tahun 2007, dia memberi kuliah yang sangat menginspirasi, berjudul “The Last Lecture: Really Achieving Your Childhood Dreams” (Kuliah Terakhir: Cara Menggapai Mimpi Masa Kanak-Kanak Anda). Akhirnya, pada tahun 2008, Pausch meninggal. Isi kuliahnya dibukukan oleh New York Times, videonya menjadi viral, dan ia mendapat julukan sebagai ayah yang menginsiprasi dunia.” 

“Jeff Bezos, pendiri Amazon.com, mengawali usahanya dari bisnis toko buku di garasinya. Dia sangat gelisah dengan harga buku yang semakin mahal dan semakin sulit dikonsumsi oleh penduduk di belahan dunia lain. Karena kegelisahannya itu, dengan kreativitas dan inovasi yang dimilikinya, akhirnya ia membuat seluruh dunia bisa saling berbagi ilmu pengetahuan, dan dengan mudah mendapatkannya.”

“Banyak contoh-contoh yang keren, dan pendeta mengatakan, bahwa yang tidak sama adalah cara masing-masing orang mengatasi zona tidak nyaman-nya. Misalnya seorang bapak yang bekerja di kantor dengan berbagai persoalan, sehingga memiliki rasa khawatir jika dia di-PHK. Ia merespons dengan cara marah. Marah pada anak buahnya, marah pada keluarganya di rumah, menganggap semua orang di sekitarnya adalah bagian yang membuat ia berada di dalam situasi ini. Responsnya adalah mencari orang lain untuk dikambinghitamkan. Anda sakit, lalu menyalahkan orang lain. Anda tidak segera lulus kuliah, lalu menyalahkan dosen dan yang lain. Ibu-ibu pusing mengurus anak-anaknya karena khawatir dengan pergaulannya, lalu melampiaskan kepada suaminya yang baru pulang kerja.  Respons ini karena dia belum dewasa secara iman dan belum matang kepribadiannya, meski orang tersebut sudah berusia 50 tahun, bahkan lebih. Gereja harus menolong dengan kegiatan-kegiatan, antara lain dengan pemahaman Alkitab dengan kaca mata baru, kelompok-kelompok sharing tanpa batas wilayah.”

“Ada juga yang memendam kesulitannya, berusaha mencari solusi sendiri. Ketika gelisah, sering kali ia merasa semua jalan tiada ujung, atau ketika berada di dalam rumah, seolah rumah itu tanpa pintu dan jendela. Ia bisa menganggap dunia sangat sempit, atau sebaliknya, menganggap dunia tanpa batas dan tanpa penghuni. Orang ini akan frustasi. Maka tidak heran, banyak orang bunuh diri karena masalah ekonomi; anak-anak bunuh diri karena di-bully, atau karena di rumah orang tuanya selalu bertengkar; bunuh diri karena tidak melihat solusi untuk bertahan hidup.”

Namun banyak pula orang yang memandang dunia secara positif. Kesulitan tidak membuatnya patah semangat, dan membuatnya semakin berjuang. Mengapa banyak orang sukses terus bekerja dan berinovasi? Mereka pun datang kepada Tuhan, berdoa memohon kekuatan, agar yang dilakukan menjadi berkat bagi orang lain. Kemudian, mereka berusaha, berusaha, dan berusaha terus, sehingga akhirnya berhasil dan fokusnya bukan pada dirinya, melainkan pada orang lain. Mereka yang berhasil, berfokus untuk berkontribusi pada orang lain.” 

“Pokoknya keren deh khotbahnya! Saat berkhotbah, ia tidak membaca. Paling ia menunjukkan slide foto-foto orang yang dicontohkan,” mereka bercerita dengan sangat antusias, dan yang sakit pun merasa menyesal, tidak datang ke gereja. 

Saya merenungkan, masih adakah pemuda gerejaku yang memiliki semangat seperti mereka? Apa yang membedakan pendeta yang satu dengan yang lain? Yang membedakan adalah, apakah firman yang dia sampaikan kepada umat menjadi berkat, atau tidak? Apakah khotbah yang disampaikan akan menjadi percakapan mereka sepulang dari gereja, atau tidak? 

Banyak pendeta tidak mampu memberikan kontekstualisasi firman dan kehidupan nyata, karena mereka tidak punya banyak referensi dalam hidupnya, terbatas dalam hal bacaan yang diasupnya. Maka melalui tulisan ini, saya mengajak jemaat untuk mau berbagi, bukan hanya uang, tetapi buku-buku yang bermutu kepada para pendetanya. Bukan buku teologia, tetapi buku populer, buku bisnis, buku psikologi modern, dan yang lain. Setelah Anda memberikan buku, seminggu berikutnya, pasti akan menjadi bagian dari khotbahnya. Jika tidak, tanyakan apakah ia sudah membacanya, dan seterusnya, maka Anda sudah turut berkontribusi mengubah isi khotbah pendeta untuk minggu selanjutnya. Selamat hari Minggu, Tuhan memberkati! 

(17/11/2019)

 

Pramudianto, pengajar Kristiani, penulis buku “Jesus as a Coach – Andi Offset”