Sabtu, 26 April 2025, Komisi Perpustakaan dan Publikasi GKI Gading Serpong mengadakan pelatihan menulis kesaksian. Pelatihan diselenggarakan di Ruang Matius, Griya Anugerah, Jalan Kelapa Puan Raya No. 20–21 Blok CA 12, Pakulonan Barat, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang pada pukul 09.00–15.00 WIB. Hadir 36 orang peserta yang mengikutinya dengan antusias.

Tjhia Yen Nie, ketua Komisi Perpustakaan dan Publikasi GKI Gading Serpong dan penanggung jawab pelatihan ini, mengawalinya dengan doa pembuka dan menjabarkan pentingnya menulis, agar banyak orang dapat ikut mengetahui kisah kasih Allah. Sebagai contohnya, ia menunjukkan liputan persekutuan wilayah tahun 2020, yang pernah ditulisnya di website GKI Gading Serpong.

Pelatihan diserahkan kepada narasumber, yaitu Pdt. Yoel M. Indrasmoro dari GKJ Jakarta. “Kali ini saya ingin berkenalan dengan cara yang berbeda,” ucapnya, “saya ingin, saat menyebutkan nama, kita juga menyanyikan sepenggal lagu yang biasa kita nyanyikan dalam keadaan terpuruk.”

Pdt. Yoel memulainya terlebih dulu, lalu diikuti oleh para peserta. Ada yang menyanyikan lagu dari Kidung Jemaat (KJ), lagu sekolah Minggu, maupun lagu rohani remaja. Ya, karena dalam pelatihan ini, ada perwakilan dari setiap komisi di GKI Gading Serpong.

Setelah itu, ia menyampaikan sebuah refleksi tentang mengapa kita ada di sini? Hampir semua peserta ikut menyampaikan refleksinya. Ada yang mengatakan, “Dengan menulis, saya ingin menceritakan kebaikan Tuhan dalam hidup saya.” Ada juga yang mengutarakan, “Menulis dapat menjadi sarana bagi kita yang tidak pede berbicara, tapi ingin bercerita.”

Pdt. Yoel membagikan selembar kertas kepada setiap peserta. Kertas tersebut berisi refleksinya tentang kisah “Putri Suwidak Loro” (Putri Enam Puluh Dua), yang mengisahkan kehidupan seorang gadis yang hanya memiliki 60 helai rambut dan dua buah gigi. Secara garis besar, diceritakan bagaimanapun orang-orang melihat Putri Suwidak Loro sebagai gadis yang buruk rupa, sang ibu yang mengetahui kecantikan hatinya, tetap memandang anaknya sebagai gadis yang cantik, bagaikan seorang putri. Melalui kisah ini, narasumber ingin mengajak para peserta untuk terus bercerita.

Praktik pelatihan menulis dimulai dengan mengajak para peserta menuliskan pengalaman semasa kecil yang paling mengesankan. Para peserta diberi waktu sepuluh menit untuk menuliskannya. Setelah itu, Pdt. Yoel memberikan kesempatan kepada mereka untuk saling membacakan tulisannya ke teman semeja. Lewat tulisan yang mereka buat, ada peserta yang jadi dapat melihat kejadian lampau dengan kacamata saat ini, dan dapat menjadi sebuah sarana terapi.

Dilanjutkan tulisan kedua Pdt. Yoel, dengan judul “Cahya Pranawangi”, sebuah obituari. Pdt. Yoel menceritakan pengalamannya ketika melayani seorang anggota jemaat gerejanya, Cahya Pranawangi, seorang yang begitu tabah menjalani penderitaan akibat kanker hingga akhir hidupnya. Setelahnya, peserta diajak menuliskan kenangan bersama orang yang sudah meninggal, dan saling membacakannya dengan teman semeja. Ini membuat para peserta mengenang momen terakhir dan pengaruh orang tersebut dalam kehidupan mereka masing-masing.

Usai itu, pelatihan dijeda makan siang. Doa dipimpin oleh Adolf Martua Panggabean. Para peserta tampak menikmati santapan makan siang sambil bercengkerama satu sama lain. Setelah satu jam, pelatihan dimulai kembali. Elvier Christanty mengantarnya dengan acara ice breaking singkat. Sesi dilanjutkan Pdt. Yoel yang mengingatkan, dalam Alkitab dapat dilihat, Lukas juga membukukan kisahnya untuk Teofilus, untuk menegaskan bahwa apa yang telah mereka ajarkan sungguh dapat dipercaya (Lukas 1:1–4).

Terakhir, Pdt. Yoel mengajak para peserta kembali membaca dua contoh tulisannya. Pertama, “Saya Lebih Suka Lahir Buta”. Tulisan tersebut disusunnya sepuluh tahun lalu, ketika mengikuti suatu ibadah di Kapel STT Jakarta, menyaksikan langsung bagaimana dua orang siswa buta dari Yayasan Dwituna Rawinala bersaksi, bahwa kalau dapat memilih, mereka akan memilih terlahir buta kembali. Yang kedua adalah tulisan “Setelah 13 Tahun”. Menariknya, ternyata ini salah satu cerita dari catatan harian Pdt. Yoel.

Di akhir pelatihan, Tjhia Yen Nie kembali menunjukkan tulisannya, yaitu “Roda Kehidupanku” dan “Kesaksian Hidup Darmauli”.

Hidup ini adalah kesempatan

Hidup ini untuk melayani Tuhan

Jangan sia-siakan waktu yang Tuhan b’ri

Hidup ini harus jadi berkat

Oh Tuhan pakailah hidupku

Selagi aku masih kuat

Bila saatnya nanti ‘ku tak berdaya lagi

Hidup ini sudah jadi berkat.

Demikianlah lagu ini dinyanyikan, dilanjutkan dengan doa penutup oleh Elvier Christanty, mengakhiri pelatihan kali ini. Menulis merupakan keterampilan, dan keterampilan diperoleh dari latihan. (Pdt. Yoel M. Indrasmoro)

*Penulis adalah jemaat Komisi Dewasa Muda GKI Gading Serpong.