“Karena Anak manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Markus 10:45)
Pada prinsipnya, seorang pemimpin akan selalu berada di posisi atas sebuah piramida kepemimpinan organisasi, termasuk organisasi gereja. Minimal satu tingkat di atas bawahannya. Selain posisinya yang berada di atas, kebenaran ini menunjukkan adanya kuasa kepemimpinan yang melekat padanya, karena senioritas, keahlian, atau karena kuasa rohani, yaitu panggilan Tuhan. Mengacu pada posisi dan perannya yang berada di atas, timbul pertanyaan, apakah seorang pemimpin dapat memimpin dengan cara melayani? Bukankah seorang pemimpin seharusnya dilayani? Pertanyaan selanjutnya, bagaimana seorang pemimpin Kristen dapat memimpin dengan melayani, dalam arti yang sebenarnya?
Prinsip Kepemimpinan Hamba
Memimpin dengan melayani adalah model kepemimpinan yang khas, bersumber dari Alkitab dan berhubungan dengan kepemimpinan hamba, yang dipraktikkan oleh Yesus Kristus. Oleh karena itu, model kepemimpinan ini menjadi dasar bagi seseorang untuk memimpin dengan melayani. Berdasarkan Injil Matius 20:20-28 dan Markus 10:35- 45, ajaran Yesus Kristus mengenai kepemimpinan hamba menyentuh aspek-aspek sebagai berikut:
Pertama, kepemimpinan hamba berawal dari panggilan Tuhan (Mrk. 10:40). Panggilan ini menjadi dasar kuat bagi visi dan misi kepemimpinan yang akan diembannya. Panggilan ini juga memberikan otoritas khusus bagi sang pemimpin, sehingga ia sanggup dan cakap memberi pimpinan.
Kedua, kepemimpinan hamba mampu membina hubungan yang kondusif. Ia mampu mengubah krisis menjadi peluang, sehingga kepemimpinannya berkualitas dan dinamis (Mrk. 10:35-41).
Ketiga, kepemimpinan hamba dibangun di atas komitmen untuk mengabdi, dengan mengembangkan sikap sebagai pelayan dan hamba (Mrk.10:44). Komitmen ini akan meneguhkan sang pemimpin dengan etika moral dan etos, untuk mempertahankan integritas rohani dengan indikator karakter rendah hati, lembut hati, sabar hati, murah hati, benar hati, baik hati, suci hati, dan siap mengabdi (Mat. 5-7).
Keempat, kepemimpinan hamba fokus melayani dengan dedikasi tinggi untuk berkorban (Mrk. 10:45), yang lahir dari komitmen kuat menjalankan disiplin, kualitas dan kerja, serta ditopang oleh sikap mengabdi yang kokoh.
Secara umum, kepemimpinan adalah sebuah proses. Kepemimpinan adalah pengaruh, hubungan, pengelolaan manusia, sumber daya, kerja dan hasil. Kepmpinan hamba atau kepemimpinan melayani akan terjadi, bila sang pemimpin memimpin dengan cara melayani. Melayani menjadi bagian dari hidupnya, dan menjadi gaya hidupnya sehari-hari. Melayani adalah kekuatan dari model kepemimpinan hamba. Maka dapat dikatakan, kepemimpinan hamba adalah proses memengaruhi manusia atau organisasi, yang diwujudkan melalui upaya mengelola sikap dan gaya, manusia, dan sumber daya lainnya, guna mendorong kerja sinergis, dengan cara melayani, sehingga mendatangkan produktivitas, yang membawa manfaat bagi orang banyak, organisasi dan lingkungan.
Kepemimpinan hamba timbul dari keinginan hati yang bersih untuk melayani, seperti tertulis dalam 1Korintus 13:4-5. Pemimpin hamba itu sabar dan murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, dan tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan, dan tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah, dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.
Kebenaran ini menegaskan, dalam diri sang pemimpin ada standar etika moral dan etos tinggi, yang menghasilkan integritas kepemimpinan yang kuat dan teguh. Integritas yang kuat dan teguh inilah yang akan melindungi diri dan kepemimpinannya sampai garis akhir, dengan selamat. Hal ini dapat kita temukan tatkala Yitro memberikan nasihat tentang kepemimpinan kepada Musa (Keluaran 18:21).
Yitro menasihatkan, Musa harus memilih orang yang memiliki integritas (berhati hamba) seperti Yosua bin Nun, untuk menggantikannya sebagai pemimpin umat Israel. Pemimpin hamba itu cakap (integritas intelektual), takut akan Allah (integritas rohani), dapat dipercaya (integritas sosial), benci kepada suap (integritas ekonomi), rendah hati, dan tahu cara memimpin (integritas kerja).
Musa sebagai pemimpin besar bangsa Israel disebut sebagai seseorang yang sangat lemah lembut (Bilangan 12:3, TB1). Dari sini kita melihat, pemimpin hamba dipanggil oleh Tuhan untuk melayani dan bertanggung jawab membangun relasi yang kondusif, sebagai bukti integritasnya. Ia mampu mengubah krisis menjadi peluang, demi sehatnya organisasi yang dipimpinnya. Pemimpin hamba akan menghargai setiap relasi yang ada, guna menciptakan sinergi dan gerak kerja yang serentak, dengan performa tinggi.
Pemimpin hamba menyadari, ia harus terus-menerus meneguhkan komitmen dan mempertahankan sikap seorang hamba, agar ia dapat membuktikan kepemimpinan hamba yang otentik. Gereja seharusnya memakai pola kepemimpinan hamba, tetapi pada kenyataannya tidak selalu demikian. Dalam membangun relasi antaranggota jemaat, sikap saling menghargai, memperhatikan, berkorban, terbuka, dan penuh keakraban sering kali menjadi lemah atau rusak, karena adanya keangkuhan, ketakutan, ketidakpedulian, dan isolasi diri. Bersyukur, kita memiliki teladan kepemimpinan yang terbaik dalam diri Yesus, sehingga kondisi organisasi yang terburuk sekalipun dapat diperbaiki, dengan mempraktikkan kepemimpinan hamba.
Tidak ada pemimpin yang seperti Yesus, sebab Ia mempimpin dari hati, berlandaskan kasih, kebenaran dan kebaikan. Memimpin dari hati berarti dikendalikan oleh hati nurani, yang memberi kualitas positif dan tinggi pada sikap kepemimpinan yang mengabdi. Memimpin dari hati memudahkan orang untuk melayani dan menerima orang lain dengan penuh kerendahan hati. Memimpin berlandaskan kasih menegaskan tentang motif kepemimpinan luhur, yang selalu mengupayakan kebaikan tertinggi, dengan mengangkat sesama dalam melayani. Memimpin dengan kekuatan kebenaran memberikan kekuatan pada nilai kepemimpinan melayani yang efektif (melakukan hal yang benar – simbol kualitas).
Memimpin dengan kekuatan kebaikan untuk melayani dengan efisien (melakukan hal yang benar dengan cara yang benar – simbol kuantitas). Memimpin dengan melayani, yang berpola pada Yesus Kristus, adalah suatu keniscayaan untuk mewujudkan kepemimpinan berkualitas, efektif, efisien, sehat, dan produktif. Pola kepemimpinan yang melayani inilah yang menjamin tegaknya organisasi dan keberhasilan seorang pemimpin melayani dari hati, berlandaskan kasih, dengan kekuatan kebenaran dan kebaikan. Selamat menjadi pemimpin hamba, di mana pun, dan dalam posisi apa pun, yang Tuhan percayakan kepada kita! Soli Deo Gloria!
*Penulis adalah seorang pelaku bisnis.