Self-harm di kalangan remaja menjadi isu yang semakin memprihatinkan, terutama pada anak-anak yang kehilangan arah dan kurang memiliki identitas kuat dalam Kristus. Banyak remaja mengalami kesulitan dalam memahami nilai diri mereka sendiri, dan hal ini diperburuk oleh tekanan sosial, citra diri yang rendah, serta tantangan dalam menemukan makna hidup yang mendalam. Pada bulan September 2024, Forum Kerja Sama Pelayanan Kerohanian (FKPK), sebuah forum kerja sama antara GKI Gading Serpong, GKI Perumnas, dan BPK Penabur Gading Serpong melakukan survei dalam rangka pre-retreat terhadap 375 murid kelas 8 dan 11. Berdasarkan hasil survei, sekitar 69% remaja menyatakan pernah berpikir untuk melakukan self-harm. Sebagian besar dari mereka cenderung menyimpan perasaan ini untuk diri sendiri, dengan 51,7% dari responden lebih memilih mencari solusi sendiri daripada mencari bantuan dari orang tua atau figur otoritas lainnya.

Kecenderungan ini menunjukkan betapa pentingnya dukungan lingkungan bagi para remaja. Banyak dari mereka tidak merasa cukup percaya diri untuk mencari bantuan, atau merasa orang tua atau lingkungan sekitarnya tidak memahami tekanan yang mereka hadapi. Hal ini membuat remaja lebih rentan terhadap perilaku destruktif seperti self-harm, yang bisa berkembang menjadi perilaku yang lebih berbahaya, apabila tidak diatasi. Kurangnya identitas spiritual yang kuat dalam diri remaja membuat mereka kehilangan pijakan yang stabil, sehingga mudah terombang-ambing oleh berbagai pengaruh negatif di sekitar mereka. Padahal, identitas yang kuat dalam Kristus dapat memberi fondasi yang kokoh bagi remaja untuk melihat diri mereka berharga sebagai ciptaan Tuhan (Imago Dei), dan menjalani hidup dengan arah yang positif.

Media sosial turut berperan besar dalam membentuk persepsi diri remaja, dan juga dapat memicu perilaku self-harm. Berdasarkan survei FKPK, sekitar 70,2% dari remaja yang berpikir untuk melakukan self-harm menyebut media sosial sebagai sumber pengaruh terbesar. Media sosial sering kali menampilkan standar hidup yang tidak realistis, gambaran kesempurnaan fisik, dan gaya hidup yang sulit dicapai. Eksposur berlebih terhadap konten-konten ini membuat remaja merasa kurang berharga, sehingga menjadi mudah membandingkan diri mereka dengan orang lain. Ketika merasa tidak mampu memenuhi standar yang ada, remaja dapat mengalami tekanan yang berat dan merasa terasing dari lingkungan sosial mereka. Hal ini dapat memperburuk keadaan emosional mereka, dan meningkatkan risiko perilaku self-harm sebagai pelampiasan atas perasaan tidak berharga atau kegagalan.

Self-harm, yang mungkin dimulai sebagai upaya untuk meredakan rasa sakit emosional, dapat membawa risiko yang lebih besar. Jika tidak diatasi, perilaku ini dapat berkembang menjadi dorongan untuk bunuh diri. Self-harm berpotensi meningkatkan risiko tersebut, karena remaja yang terus-menerus melukai diri cenderung kehilangan rasa takut akan risiko yang lebih serius. Sebagai bentuk pengalihan emosi, self-harm membuat mereka merasa bahwa hanya itulah cara untuk mengatasi penderitaan, yang pada akhirnya dapat menyebabkan mereka merasa putus asa akan masa depan. Oleh karena itu, perilaku ini harus segera diidentifikasi dan diintervensi sebelum mencapai titik yang lebih berbahaya.

Dalam menghadapi fenomena ini, penting bagi orang tua, sekolah, dan gereja untuk memberikan dukungan yang berkelanjutan. Orang tua memiliki tanggung jawab besar melalui ecclesia domestica atau gereja rumah tangga dalam menanamkan nilai-nilai positif dalam kehidupan anak-anak mereka, termasuk nilai kekristenan yang dapat memberi panduan dalam menghadapi tantangan hidup. Melalui lingkungan yang penuh kasih, orang tua bisa menjadi tempat aman bagi anak-anak untuk berbicara tentang perasaan mereka, tanpa takut dihakimi, menciptakan dasar yang kokoh bagi mereka untuk melihat diri sebagai individu yang berharga dan dicintai, sehingga mengurangi risiko terjerumus pada perilaku destruktif. Kolaborasi antara orang tua, sekolah, dan gereja akan menciptakan lingkungan yang mendukung bagi remaja untuk membangun identitas yang kokoh dalam Kristus. Sinergi ini tidak hanya membantu mereka menghadapi tantangan emosional dan identitas diri, tetapi juga memberi dukungan yang holistik.

Firman Tuhan dalam Mazmur 139:14 mengingatkan, "Aku bersyukur kepada-Mu sebab aku dijadikan dengan dahsyat dan ajaib. Betapa ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya," yang menguatkan keyakinan bahwa setiap individu berharga di mata Tuhan. Dengan pemahaman yang kuat bahwa mereka diciptakan dalam Imago Dei atau citra Tuhan, remaja akan lebih siap menghadapi tekanan hidup, tanpa terjerumus dalam perilaku destruktif, seperti self-harm.

*Penulis adalah penatua GKI Gading Serpong