“Hadeuh, dua hari ini bolong baca Alkitab. Gagal deh mematuhi hukum-Nya. Ampun Tuhan, saya jangan dihukum, nanti saya kehilangan berkat untuk bulan ini! Hari Minggu nanti saya akan lebih khusyuk menaikkan doa pengampunan dosa!”

“Aduh gimana ya? ‘udah dua bulan belum bisa kasih persembahan, karena dana sedang habis-habisan dipakai untuk merawat anak yang sakit. Gimana ya? ‘kan ini namanya melanggar peraturan Tuhan, kalau kita tidak memberi persembahan? ‘kan berkat Tuhan jadi terhalang?”

Kalau kita pernah di posisi seperti itu, perasaan apa yang mendominasi? Biasanya yang muncul adalah perasaan bersalah karena telah melanggar peraturan keagamaan. Tapi, pernahkah kita mencoba menelisik lebih dalam, apa yang mendasari perasaan bersalah itu?

Bicara soal melanggar perintah, ada kisah menarik di Alkitab. Markus 3:1-6 mengisahkan, bagaimana Yesus diamati oleh orang-orang Farisi: apakah Ia akan menyembuhkan orang yang mati tangannya di rumah ibadat pada hari Sabat? Bila mengikuti rincian hukum Taurat, yang katanya sampai memiliki enam ratus tiga belas peraturan turunan, tindakan penyembuhan tidak boleh dilakukan, karena melanggar perintah “Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat”. Ketaatan Yesus dipelototi para penegak hukum agama yang berlaku pada masa itu. Hasilnya? Yesus memilih melanggar peraturan. Ia tidak takut melanggar peraturan keagamaan, karena Ia memilih menyembuhkan orang yang mati tangannya. Lho kok?

Melihat ke dalam konteks yang lebih luas, kisah penyembuhan Yesus di rumah ibadat di hari Sabat ini rupanya merupakan deretan kelima dari konflik antara Yesus dengan golongan Farisi tentang peraturan keagamaan yang berlaku saat itu. Penulis kitab Markus mencatat lima kisah tersebut dari Markus pasal 2:1 sampai dengan pasal 3:6. Mulai dari kisah mengampuni dosa dan menyembuhkan orang lumpuh, makan dengan pemungut cukai dan orang berdosa, tidak berpuasa sesuai kebiasaan, memetik gandum di hari Sabat, dan diakhiri dengan kisah menyembuhkan orang sakit di hari Sabat. Oleh penulis kitab Markus, Yesus diceritakan sebagai sosok yang tampil menerobos hal-hal yang ditetapkan sebagai batasan peraturan keagamaan. Lantas, mengapa Ia memilih jalan seperti ini, padahal bagi banyak orang, inti dari hidup keagamaan adalah ketaatan pada peraturan?

Setelah menceritakan lima konflik tersebut, penulis kitab Markus terus mencatat sepak terjang Yesus terkait hal ini. Markus 12:28 mencatat seorang ahli Taurat datang bertanya kepada Yesus tentang hukum manakah yang paling utama. Terhadap pertanyaan itu, alih-alih menjawab dengan memilih beberapa peraturan dari ratusan peraturan yang tersebar saat itu, Yesus mengungkapkan inti dari inti: Kasihilah Tuhan dan kasihilah sesamamu. Yesus terlihat tidak ingin terjebak dalam untaian rincian peraturan yang banyak itu, tetapi justru menunjuk pada hal yang paling mendasar. Mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama.

Lalu apa hubungan kisah ribuan tahun lalu dengan hidup kita di masa sekarang? Kisah-kisah Yesus melanggar peraturan keagamaan dapat menjadi lensa untuk merefleksikan hidup kerohanian kita. Setidaknya, kita dapat menelisik dasar perasaan bersalah yang timbul ketika melanggar peraturan keagamaan. Dasar perasaan tersebut dapat kita temukan, jika kita mau lebih seksama melihat inti relasi kita dengan Tuhan. Apakah relasi tersebut didasari oleh seperangkat aturan yang harus ditaati, atau oleh kasih kepada Tuhan?

Setelah diteliti, mungkin kita menemukan relasi dengan Tuhan lebih didasari oleh ketaatan pada aturan dibandingkan oleh relasi kasih. Indikasinya? Coba perhatikan isi kebanyakan kebaktian minggu, pemahaman Alkitab, atau persekutuan (eh, bukan di gereja ini lho ya!). Umumnya lebih banyak berisi uraian larangan atau kewajiban melakukan ini dan itu. Isi pertanyaan atau diskusi biasanya seputar “ini boleh nggak?”, atau “kalau yang begitu, aturannya gimana?”, atau penegasan “ada hukuman yang menanti jika kita tidak taat”, atau “ada berkat di balik semua ketaatan”. Diskusi atau pengajaran biasanya diikuti dengan penekanan adanya ganjaran. Ganjaran tersebut biasanya disebut hukuman jika tidak menaati peraturan, atau memperoleh imbalan jika taat (bahasa Kristennya: berkat).

Sebenarnya tidak heran jika kita memiliki sikap seperti itu. Mungkin dari kecil kita dibesarkan dengan ketakutan, dan kemudian menghidupinya. Misalnya, sering kali alasan tidak melanggar rambu lalu lintas adalah karena takut ditangkap, atau mau berolah raga karena takut sakit. Jarang sekali alasan utamanya adalah karena kita mengasihi sesama dan mengasihi Tuhan, dengan menghargai dan merawat kehidupan yang Ia berikan. Bila menerapkan prinsip ini, kita tidak mau melanggar rambu lalu lintas karena mengasihi orang lain, karena tidak ingin membuat mereka celaka. Mau berolah raga karena mengasihi Tuhan, dengan cara menghargai kehidupan yang Ia berikan, dan kesehatan yang baik akan membuka pintu kesempatan untuk mengasihi orang lain lebih mendalam.

Karena dibesarkan dan menghidupi rasa takut, hal tersebut terbawa dalam relasi dengan Tuhan: takut mendapatkan hukuman, atau takut kehilangan berkat. Akibatnya, sering kali kita merasa bahagia jika berbagai macam checkbox kegiatan rohani sudah dicentang. Misalnya datang kebaktian Minggu, baca Alkitab setiap hari tanpa bolong, sudah berdoa sebelum makan, tidak lalai memberikan persembahan, dan seterusnya. Sebaliknya, kita akan merasa bersalah jika belum melakukan kewajiban-kewajiban itu, terlepas apakah kita dapat memaknai hakikat inti di balik semua tindakan-tindakan tersebut.

Scott Morton, penulis buku “Tired of Do-List Christianity” bahkan menunjuk pada kebiasaan orang-orang Kristen yang selalu ingin mencari apa kehendak Tuhan bagi hidupnya. Hal-hal dalam hidup mulai dari yang “besar” seperti: apa karir yang hendak saya pilih? Apakah saya harus pindah kota? Sampai dengan hal-hal “kecil,” seperti: baju apa yang saya pakai hari ini? Apakah kendaraan saya harus diisi dengan BBM premium atau reguler? Semuanya harus ditanyakan. Hidup seolah tidak dapat dijalani dalam kebebasan bertanggung jawab yang Tuhan berikan, sehingga selalu dibayangi ketakutan melanggar perintah-Nya. Entah apa motivasi di balik selalu ingin bertanya. Mungkin ingin ada pihak lain yang membuat keputusan baginya, sehingga nantinya tidak memiliki perasaan bersalah, karena tanggung jawab memutuskan bukan pada dirinya. Atau bisa juga ketidaksiapan bertanggung jawab atas anugerah kebebasan memilih, karena perasaan takut melanggar lebih mendominasi.

Berkaca dari kisah Yesus yang memilih melanggar peraturan keagamaan yang dicatat oleh kitab Markus, Ia ternyata menganggap kasih sebagai esensi dari segala peraturan. Hanya sekedar taat kepada peraturan bukanlah motif utama-Nya. Ia mengasihi Sang Pemilik Kehidupan. Hanya sekedar taat bisa jadi dilandasi motif mendapatkan berkat dan menghindari hukuman. Hanya sekedar taat juga dapat membawa hidup dalam kungkungan ketakutan melanggar peraturan. Jika hanya taat yang menjadi motif utama berelasi dengan Tuhan dan sesama, hal yang esensial, yaitu kasih, justru terabaikan.

Bukankah motif hidup Kristen bukan melulu mendapatkan berkat dan lepas dari hukuman? Bukankah hidup Kristen jauh dari sekedar ketakutan karena tidak bisa menaati peraturan? Ketika kasih kepada Tuhan dan sesama yang menjadi motif utama, maka kita jadi mempunyai saringan untuk menelisik setiap tindakan dan motif kita sampai sisi terdalam. Dalam kasih, justru didapati kebebasan bertindak, tanpa dikungkung oleh ketakutan. ”Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih. Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita (1 Yoh 4:18-19)”.

Love God and do as you please (kasihi Tuhan dan lakukan apa yang kamu suka); Bapa Gereja, St Augustine, pernah menyampaikan perkataan ini. Kalimat ini menawarkan perspektif menjalani hidup dalam kebebasan, dengan tanggung jawab yang dilandasi kasih. Taat karena kasih kepada Tuhan dan sesama. Bukan karena yang penting taat, atau karena takut pada hukuman, atau bahkan takut tidak mendapat berkat. Nah, mana yang lebih membebaskan, menaati peraturan karena kasih, atau karena takut?

***

Sumber:

Scott Morton. 2006. Tired of Do-List Christianity. NavPress, Colorado Springs

NIV Study Bible Notes, digital edition