Tidak ada hal yang terlalu sedikit untuk dipersembahkan kepada Tuhan, dan tidak ada hal yang terlalu banyak untuk memesona Tuhan.

Rasanya Roma 12:1, “… persembahkanlah dirimu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, yang berkenan kepada Allah; itu adalah ibadahmu yang sejati,” ini sering sekali dikaitkan dengan pengumpulan kolekte. Selain dibacakan sebagai ayat pengantar, biasanya doa persembahan juga diikuti dengan kalimat “…Ajar kami juga untuk memberi diri kami sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah”.

Namun, kadang kutipan tersebut kurang lengkap, karena anak kalimat lanjutannya, “…itu adalah ibadahmu yang sejati,” tidak dikutip. Selain kutipan yang tidak lengkap, rasanya sayang kalau “persembahan yang hidup…” hanya disejajarkan dengan memberi persembahan dalam wujud uang kolekte, tetapi tidak dikaitkan dengan ibadah yang sejati.

Nah, kalau begitu apa yang dimaksud dengan ibadah yang sejati?

Mempersempit Makna Ibadah

Kata ibadah seringkali dipersempit maknanya. Di WhatsApp atau aplikasi sejenis, biasanya bertebaran stiker pada hari Minggu, “Selamat beribadah, selamat hari Minggu!” Atau kalau bertemu orang lain di hari Minggu, kata-kata yang sering muncul adalah, “Udah ibadah belum hari ini?” atau, “Lho, kok ibadahnya daring, belum lengkap itu! Datang dong ke gedung gereja!” Juga, untuk menutup kebaktian, sering disampaikan, “Sampai bertemu lagi di ibadah Minggu depan!”

Semua terlihat wajar. Namun praktik seperti itu membuat ibadah seakan-akan hanya terjadi di gedung gereja, pada hari Minggu, dengan cara mengikuti kebaktian. Ibadah yang sejati seperti yang dituliskan di Roma 12:1 dapat terdiskon maknanya. Untuk mengulik ibadah yang sejati, akan menarik jika memperhatikan unsur-unsur kalimat yang menyusunnya. Sebuah Paradoks Paulus dengan cantiknya mengaitkan dua kata yang bertentangan, yaitu “persembahan yang hidup”. Persembahan pasti barang mati, apalagi jika dikaitkan dengan persembahan kurban dalam tradisi Israel. James R. Edwards, dalam buku “Understanding the Bible Commentary Series: Romans” (2011) menuliskan, Paulus mengambil konteks persembahan binatang yang menjadi tradisi Israel di masa lalu. Dalam tradisi tersebut, hewan kurban yang dipersembahkan akan mati di altar persembahan.

Minimal ada dua hal menarik hendak disampaikan oleh Paulus. Pertama, “persembahan yang hidup” akan menggugah pembaca yang memahami tradisi tersebut. Bagaimana mungkin persembahan yang “mati” dikatakan sebagai “hidup”? Kedua, “persembahkanlah dirimu”. Biasanya, orang yang memberi persembahan terpisah dari yang ia persembahkan, misalnya kurban binatang, hasil bumi, atau uang. Namun ayat ini justru ingin menegaskan si pemberi persembahan adalah persembahan itu sendiri.

Terlihat Paulus hendak menampilkan suatu perspektif. Kalimat “Persembahkanlah dirimu sebagai persembahan yang hidup”, terasa seperti paradoks dan berbeda dengan kebiasaan yang sudah berlangsung, ditampilkan untuk menghantarkan suatu pemaknaan yang lebih dalam. Melalui ayat ini, Paulus ingin menegaskan, dirimu (kita) adalah persembahan itu sendiri (masih dalam keadaan hidup), dan si pemberi persembahan tidak lagi terpisah dari yang ia persembahkan.

Selanjutnya kata “kudus”, baik dalam bahasa Ibrani maupun Yunani, lebih mengarah kepada “dikhususkan” (set apart) dan bukan “kesempurnaan (perfection)”. Artinya, suatu kesadaran untuk secara khusus membawa diri seutuhnya, sebagai persembahan kepada Tuhan. Lalu, “berkenan kepada Allah” merujuk kepada pleasing odor of a burnt sacrifice, yang berarti bau dari kurban bakaran yang dipersembahkan dengan tulus akan mendapat perkenan Tuhan.

Dengan demikian, ibadah yang sejati adalah mempersembahkan diri (diri kita yang hidup adalah persembahan), tidak terpisah dari si pemberi persembahan, dijalani dengan kesadaran khusus, bahwa hidup adalah persembahan, dan dilakukan dengan cara yang mendapat perkenan Allah.

Ibadah Keseharian

Kata “ibadah” dalam Bahasa Yunani “latreia”. Dalam dalam Bahasa Ibrani, salah satu kata yang digunakan adalah “abad”. Contoh ayat yang menggunakan kata ini dalam Perjanjian Lama adalah Ulangan 6: 13 “Engkau harus takut akan Tuhan, Allahmu; kepada Dia haruslah engkau beribadah…”. W.E Vine dalam Vine's Complete Expository Dictionary of Old and New Testament Words (1996), menjelaskan kata “latreia” dapat berarti melayani, dan kata “abad” dapat berarti bekerja atau melayani.

Bekerja ternyata adalah juga sebuah ibadah. Karenanya, kata “ibadah” tidak melulu diartikan sebagai mengikuti tata liturgi kebaktian, yang dilakukan di hari tertentu, pada jam tertentu, dan di tempat tertentu.. Ibadah ternyata bermakna lebih luas. John Reumann, dalam buku “James D.G. Dunn, Eerdmans Commentary on the Bible” (2003) menjelaskan, pada saat surat ini ditulis, orang-orang Kristen pada zaman itu belum memiliki gedung gereja, tidak ada pendeta, juga tidak menjalani ritus pengurbanan. Paulus hendak meredefinisi inti ibadah Kristen sebagai kerelaan untuk mengurbankan diri (voluntary self-sacrifice), untuk melayani satu sama lain dan orang lain di muka bumi ini.

Komisi Liturgi dan Musik Sinode GKI dalam buku “Pedoman Liturgi: Buku Panduan” (2014), menuliskan, “Sekalipun ilmu liturgi melulu membicarakan liturgi sebagai perayaan, namun tetap ada kesadaran bahwa liturgi yang sejati terjadi di dalam kehidupan sehari-hari (Roma 12:1). Perayaan liturgi yang benar di gereja selalu kena-mengena dan mempengaruhi spiritualitas hidup dalam dunia sehari-hari”. Hal ini berarti mengikuti liturgi (tata ibadah) kebaktian di hari Minggu harus disertai dengan penghayatan liturgi sejati, yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari.

Ayat 2 dari Roma 12 selanjutnya juga menegaskan, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah…” Berubah untuk tidak menjadi serupa dengan dunia ini tidak mungkin terjadi dalam kurun waktu maksimal dua jam di hari Minggu, dan di tempat tertentu saja. Perubahan terjadi di dalam keseluruhan hidup, 24 jam sehari dan 7 hari seminggu, di setiap tempat, di mana kita berada. Karenanya, seluruh kehidupan kita dapat dimaknai sebagai ibadah yang sejati. 

Ibadah 24 Jam

Tidak hanya tempat makan yang dapat beroperasi 24 jam, ibadah pun sejatinya berlangsung selama 24 jam. Cara pandang bahwa keseluruhan hidup adalah ibadah yang sejati akan sangat membawa banyak perbedaan.

Yang pertama, hidup tidak lagi penuh dengan dikotomi antara rohani dan duniawi. Tidak ada lagi pemisahan antara pelayanan dan kerja. Tidak ada lagi pemisahan tempat maha kudus dan kurang kudus. Apalagi, jika pemisahan-pemisahan tersebut kita lakukan untuk membedakan ukuran integritas menjalani hidup. Misalnya, kalau bertemu orang yang sama-sama aktif di gereja, maka akan lebih rajin tersenyum, atau mendadak rajin berdoa. Kalau dengan orang lain yang tidak pernah bertemu di gereja, wajah kita datar dan sikap kita berubah total. Hidup tidak lagi perlu terkotak-kotak oleh sejumlah topeng yang kita kenakan. Hidup dengan banyak topeng memang terasa menyenangkan, salah satunya karena kita dapat menerapkan integritas yang berbeda, tergantung topeng mana yang sedang kita kenakan. Namun, sejatinya hidup yang tidak terintegrasi membawa banyak masalah. Tentang ini pernah diulas di artikel “Hai Kristen, di Manakah Sengatmu?”, Majalah Sepercik Anugerah Edisi 19/2024 (klik untuk membaca artikel “Hai Kristen, di Manakah Sengatmu?: https://gkigadingserpong.org/artikel/pembinaan/hai-kristen-di-manakah-sengatmu?highlight=WyJoYWkiLCJrcmlzdGVuIl0=)

Yang kedua, tidak lagi ada hal yang terlalu kecil, yang tidak berharga di mata Tuhan. Matius 25: 31-41 menceritakan kisah pemisahan antara kambing dan domba. Kelompok yang ditempatkan di sebelah kanan (domba) menerima Kerajaan Allah, karena mereka memberi makan, minum, tumpangan, pakaian, serta menjenguk dan mengunjungi orangorang yang dipandang hina. Bagi beberapa orang, tindakan memberi minum kepada orang lain dianggap bernilai lebih rendah dibandingkan berkhotbah, menulis renungan, atau berada di jajaran pimpinan gereja (atau tempat usaha) yang mengatur banyak hal. Namun, kisah ini justru menunjukkan hal lain. Memberi minum ternyata diperhitungkan sebagai kerja atau pelayanan kepada Tuhan. Yang lebih menarik lagi, orangorang yang berada di kelompok sebelah kanan bahkan seperti tidak menyadari, hal-hal sederhana itu ternyata sudah mereka lakukan untuk Tuhan. Salah satu penjelasan yang dapat diberikan adalah tindakan tersebut sudah sedemikian menyatu dengan diri mereka. Karena sudah menyatu, tidak ada bagian dari kehidupan mereka yang terkotak-kotak. Hal ini mungkin terjadi karena keseluruhan hidup sudah dipersembahkan kepada Tuhan.

Mengakhiri Ibadah

Godaan terbesar adalah selalu kembali kepada hidup yang terkotakkotak. Tidak mudah meninggalkan gaya hidup seperti ini, karena mungkin dari kecil kita sudah diperkenalkan dengan pola tersebut. Misalnya, ketika kecil di sekolah Minggu kita diperkenalkan dengan lagu “Hari Minggu Harinya Tuhan”, atau setelah dewasa, lagu “Hari Minggu Hari Mulia”. Walaupun akhirnya ada versi lagu semua hari adalah harinya Tuhan, pemahaman hari Tuhan hanya di hari Minggu mungkin sudah terlanjur menetap.

Untuk mengajak orang aktif di gereja, sering kita mengatakan, “Ayo, ikut pelayanan di gereja, buat Tuhan, jangan hanya kerja di (kantor/rumah/bisnis) mulu!”. Tidak menutup mata, biasanya ketulusanlah yang mendasari ajakan ini. Namun, kalimat ini juga seperti mengindikasikan kerja di rumah, kantor, atau tempat usaha bukanlah pelayanan, karena pelayanan buat Tuhan hanya ada di gereja.

Jika digali lebih dalam, ajakan serta sambutan atas undangan ini bisa jadi memiliki banyak motif. Mulai dari motif tulus mengajak orang menjadi relawan gereja, sampai motif sekadar mengisi waktu luang, atau mencari tempat aktualisasi diri. Bahkan, juga motif ingin bertransaksi dengan Tuhan, karena sudah mengerjakan “pekerjaan Tuhan” di “rumah Tuhan”. Yang terakhir biasanya punya harapan, jika Tuhan melihat aktivitas rohani yang banyak, Tuhan akan melimpahkan berkat lebih banyak. Motif seperti ini biasanya sangat halus dan tidak mudah terdeteksi.

Perasaan aman karena hidup terkotak-kotak dan motif terdalam yang mungkin tidak disadari, akan selalu menggoda untuk menjauh dari ibadah yang sejati. Untuk kesehatan fisik, sering dianjurkan agar dilakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin. Untuk kesehatan rohani, mungkin baik jika meluangkan waktu secara rutin berefleksi tentang motif yang melandasi hidup keseharian. Apakah keinginan mempersembahkan diri sebagai ibadah yang sejati menjadi pilar utama hidup?

Sedikit Sekali

Semasa kecil, bahkan ketika beranjak dewasa, kita sering menyanyikan lagu “Persembahan Kami Sedikit Sekali”. Dengan perspektif persembahan yang hidup, lagu ini tidak harus diartikan dengan jumlah uang persembahan saja. Karena seluruh hidup adalah persembahan, setiap karya, termasuk istirahat, atau bahkan jika terbaring sakit sekalipun, adalah ibadah. Tidak ada hal yang terlalu sedikit untuk dipersembahkan kepada Tuhan, dan tidak ada hal yang terlalu banyak untuk memesona Tuhan. (Indra Putera*/Tjhia Yen Nie)

*Penulis adalah seorang pengamat hidup Kekristenan.