“Sebab, Allah itu esa dan esa pula pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus” (1 Tim. 2:5).
Pernyataan ini ada dan tertulis di dalam Alkitab. Ada orang yang menyatakan pernyataan tersebut benar dan mengiakannya, ada pula yang tidak. Mari kita telusuri fakta pendukung atau bukti yang memperkuat pernyataan itu.
Kita meyakini, hanya ada satu jalan menuju kepada kebenaran, yaitu melalui Yesus Kristus Tuhan, yang merupakan jalan, kebenaran, dan hidup. Ayat 1Tim. 2:5 dan Yoh. 14:6 memiliki inti yang sama, yaitu tentang Yesus yang menjadi pintu, perantara, atau jalan kepada Bapa di surga. Yoh. 1:1 menyatakan, “Pada mulanya sudah ada Firman, Firman itu bersama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah.” Yesus, yang disebut Firman itu sudah ada sejak awal kehidupan, dan memiliki sifat keilahian yang sama dengan Allah Bapa. Tanpa Yesus, tidak ada yang bisa datang dan mendapatkan jalan kebenaran dan hidup itu.
Namun, sering kali kita terjerumus oleh kedagingan kita, saat sedang berproses menuju jalan tersebut, karena pada dasarnya kita adalah manusia berdosa. Kerap kali, ketika menghadapi masalah, kita melupakan sumber atau tempat bernaung yang selalu mengingat dan mencari kita, meskipun kita lupa kepada-Nya. Tentu hal ini menyedihkan hati Tuhan.
Allah yang penuh cinta itu rela berkorban demi kita, karena Ia adalah Allah yang sejati dan sangat memedulikan kita. Ia mengasihi kita dengan tulus, apa adanya, tanpa pandang bulu, tanpa melihat masa lalu kita yang buruk, karena “Sebab, Allah itu esa dan esa pula pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus” (1 Tim. 2:5). pada dasarnya kita adalah manusia berdosa yang selalu dan akan selalu gelisah! Sifat sejati Allah tidak perlu diragukan lagi, karena itulah sifat dasar-Nya. Berbeda dengan kita yang tidak memiliki sifat sejati Allah dalam diri kita. Apa penyebab utama perbedaan itu?
Sesungguhnya manusia diciptakan dalam kondisi amat baik. Dosalah yang memisahkan kita dari Allah dalam segala hal. Terpisah dalam hal komunikasi, terpisah dalam doa, terpisah dalam pengenalan akan Allah secara pribadi. Semua unsur cinta yang berasal dan berfokus kepada Tuhan, yang pada dasarnya adalah cinta itu sendiri, menjadi rusak. Sering kali, kita sendirilah yang merusak cinta itu, karena apa yang kita lakukan dan perbuat setiap hari ibarat meninggalkan noda yang sulit dihilangkan, dan membekas sangat dalam. Yang memisahkan Tuhan dengan kita adalah kekerasan hati dan ego kita, sehingga relasi antara Tuhan dengan kita menjadi rusak!
Manusia tak jarang menganggap remeh dosa. Kita menganggap mudah untuk berbalik dan meminta pengampunan. Namun, justru hal itulah yang merenggangkan hubungan kita dengan Tuhan, Sang Sumber Kehidupan, yang seharusnya menjadi pedoman kita dalam menjalani kehidupan di dunia, yang hanya sementara. Seharusnya kita memikirkan bagaimana kehidupan setelah ini. Bukan “bagaimana nanti saja,” melainkan “nanti bagaimana?”
Pada akhirnya, maukah kita berjalan bersama Allah Sejati, Sang Sumber Kehidupan itu? Biarlah tulisan ini menjadi refleksi bagi kita semua, agar sadar, Allah tetaplah Allah yang setia dan selalu menyertai kita, dalam segala keadaan.