Mungkin sebagian dari kita tidak asing dengan Amanat Agung yang ada dalam Matius 28:18-20. Berdasarkan ayat ini, umat-Nya masih terus melakukan penginjilan kepada segala suku bangsa. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pelaksanaan penginjilan atau misi yang dilakukan pada saat ini masih lebih berfokus pada mengasihi sesama, belum sampai kepada peduli terhadap sesama yang mewujud dalam aksi sosial. Apakah kondisi penginjilan seperti ini yang Tuhan inginkan? Bagaimana seharusnya kita perlu bermisi? Hal inilah yang akan kita ketahui lebih lanjut dalam Matius 25:34-40 dengan melihat terlebih dahulu dua fokus penulisan Injil Matius.

Penulis Injil Matius ialah Matius. Injil Matius ditujukan kepada kaum Yahudi yang telah mengenal Perjanjian Lama. Salah satu aspek yang ditekankan ialah mengenai bermisi. Selain dari Amanat Agung yang menutup Injil Matius, kita dapat menemukan penekanan bermisi lainnya dalam Injil Matius, contohnya adalah pernyataan bahwa Yesus adalah Anak Daud dan Anak Abraham, sebagaimana muncul dalam pembukaan Injil ini. Yang menarik adalah penamaan Yesus sebagai Anak Abraham, secara tidak langsung merujuk kepada orang non-Yahudi. Dalam janji Allah terhadap Abraham dalam Kej. 12:3, disebutkan bahwa seluruh bangsa akan mendapat berkat melalui keturunan (dalam bentuk tunggal, bukan jamak) Abraham. Berkat tersebut ialah pengorbanan-Nya di atas kayu salib yang ditujukan kepada semua orang. Oleh karena itu, kedatangan Yesus termasuk kepada orang nonYahudi (“kabar baik Kerajaan Allah”) perlu diberitakan ke seluruh dunia (selaras dengan Amanat Agung). Hal ini sesuai dengan penulisan Matius, yang kemudian turut mencantumkan keterlibatan orang non-Yahudi yang mendapat anugerah dari Tuhan, seperti kedatangan orang Majus sebagai gambaran bangsa lain yang mengakuiNya sebagai raja (Mat. 2:1-12), iman perwira pasukan Romawi (Mat. 8:5-13), iman wanita Kanaan (Mat. 15:21-28), makna di balik tamutamu dari persimpangan jalan dalam perumpamaan tentang perjamuan kawin (Mat. 22:8-9), dan istri Pilatus yang tahu (sedangkan orang Yahudi tidak) bahwa Yesus tidak bersalah (Mat. 27:19).

Penekanan lain dalam Injil Matius terkait perihal bermisi ialah pernyataan Yesus sebagai Mesias, yang menggenapi nubuat-nubuat Perjanjian Lama. Hal ini dapat terlihat dari bagian perikop yang dipilih, yakni dalam Mat. 25:31-33 yang menyatakan Yesus sebagai Raja atas seluruh bangsa dan Yesus sebagai Hakim. Perihal yang pertama sesuai dengan Yoel 3:1-12 dan penglihatan Daniel dalam Dan. 7:13-14. Perihal yang kedua sesuai dengan Yeh. 34:17, yakni “dan hai kamu domba-domba-Ku, beginilah firman Tuhan ALLAH: Sungguh, Aku akan menjadi hakim di antara domba dengan domba, dan di antara domba jantan dan kambing jantan.” Dari sini, kita akan membahas bagian Alkitab yang telah dipilih. Matius 25:34-40 merupakan bagian dari perikop mengenai perumpamaan Yesus akan kedatangan-Nya yang kedua kali. Perumpamaan ini ditujukan kepada para murid-murid-Nya yang datang saat Ia berada di atas Bukit Zaitun (Mat. 24:3, 26:1). Yesus menyatakan, bahwa akan tiba saatnya Ia datang dengan penuh kemuliaan sebagai raja di hadapan seluruh bangsa, dengan memisahkan antara “domba” dan “kambing”. Para “domba” mendapatkan kehidupan kekal, sedangkan para “kambing” mendapatkan hukuman kekal, berdasarkan apa yang telah mereka perbuat. Para “domba” melayani Dia di saat Ia berada dalam masa kesulitan, sedangkan para “kambing” tidak. Dari sini, artikel ini akan membahas perihal dua poin besar, yakni bukti penekanan umat perlu mengasihi sesama dan hubungan antara penginjilan dan aksi sosial.

Bukti Penekanan Perlunya Umat Mengasihi Sesama

Mari kita berpikir sejenak. Bagaimana mungkin Yesus, yang telah dimuliakan, mengalami kesulitan? Contoh-contoh kesulitan yang Ia alami ialah lapar, haus, menjadi orang asing, telanjang, sakit, dan di dalam penjara (ayat 36). Secara kronologis, seharusnya kesulitan yang Ia alami telah Ia lewati selama Ia hidup di dunia. Ia lahir dalam keluarga miskin. Dalam pelayanan-Nya, Ia difitnah dan dikejar-kejar, sampai mau dibunuh. Namun, Ia telah mati disalibkan, bangkit pada hari ketiga, dan telah naik ke surga. Bagaimana bisa? Hal inilah juga yang para “domba” dan “kambing” tanyakan kepada Sang Raja, saat Ia menyatakan hal-hal tersebut. Jawaban Sang Raja? “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat. 25:40).

Hal yang ditekankan dalam bagian yang diambil ialah kita, selaku umatNya, perlu mengasihi sesama. Ada tiga alasan mengapa hal ini sampai ditekankan keperluannya. Yang pertama, Tuhan Yesus menyatakan, cara kita memperlakukan orang lain (gambar dan rupa Allah) mencerminkan perlakuan kita terhadap Tuhan. Dengan kata lain, Yesus merujuk kembali pada hukum kasih yang Ia perintahkan (misal dalam Mat. 22:39). Hal ini sangat penting, sebab hal ini sesuai dengan sepuluh hukum Allah, yang hanya memiliki dua inti, yakni bagaimana kita berelasi terhadap Allah juga sesama.

Yang kedua, penekanan ini juga terlihat dari penempatan perikop yang berada di antara perumpamaan talenta dan pemberitahuan Tuhan Yesus yang keempat kali. Dalam Matius 26, setelah perumpamaan ini diberitahukan, Yesus menyatakan untuk keempat kalinya, bahwa Ia akan disalib. Ini berarti, apa yang baru Ia sampaikan sebelumnya penting untuk disimak, sebab Ia sebentar lagi tidak akan bersama-sama dengan para murid-Nya. Dalam perumpamaan sebelumnya, yakni perumpamaan talenta, Yesus memperingatkan bahwa orang yang diterima Tuhan ialah yang melakukan tanggung jawabnya selama ia hidup di dunia. Dengan kata lain, umatNya perlu bertanggung jawab terhadap apa yang Tuhan berikan (usaha, waktu, dll.) untuk melakukan kehendak-Nya.

Apa yang dimaksud dengan kehendakNya? Inilah dasar poin ketiga. Dalam Mat. 25:31-45, mengasihi sesama merupakan ciri dari umat-Nya. Hal ini didapatkan dari penggambaran kaum “orang benar” yang mendapatkan kehidupan kekal. Bukan berarti seseorang dapat dibenarkan melalui perbuatannya, sebaik apa pun, karena dosa telah menghilangkan kemuliaan Allah dari manusia (Rom. 3:20, 23). Mereka yang bukan umat-Nya, tidak akan melakukan kehendak-Nya, dan akan mendapat penghukuman kekal. Kesimpulan ini didapatkan dari perbandingan dengan Mat. 7:15-23, yakni orang yang mendapat hukuman kekal merupakan orang yang tidak melakukan kehendak Bapa (Mat. 7:21). Dalam perumpamaan ini, berarti yang tidak mengasihi sesamanya (Mat. 25:41-43).

Jika dikaitkan secara lebih dalam lagi, didapatkan bahwa apa yang diimani umat-Nya akan menghasilkan buah yang sesuai. Dalam Mat. 7:15-23, Yesus sedang memperingatkan orang banyak dan para murid-Nya perihal pengajar sesat. Ia menyatakan, bahwa dari buahnyalah orang tersebut dapat dibedakan. Yesus memberikan gambaran, bahwa tidak mungkin pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang baik, dan pohon ini nantinya akan dibuang ke dalam api. Ia kemudian membahas mengenai siapa yang akan mendapat kehidupan kekal. Dengan kata lain, umat-Nya (pohon yang baik) yang akan mendapatkan kehidupan kekal dan menghasilkan buah yang baik, yakni melaksanakan kehendak Bapa, di mana salah satu kehendak-Nya ialah mengasihi sesama. Bagaimana dengan kita? Apakah kita telah melaksanakan kehendak Tuhan, yakni bermisi dalam aksi kita terhadap sesama?

Hubungan antara Penginjilan dan Aksi Sosial

Mungkin sampai di sini, beberapa di antara kita akan mempertanyakan, apa hubungan antara penginjilan dengan aksi sosial. Menurut John Stott, terdapat tiga hubungan perihal hal ini. Yang pertama, aksi sosial sebagai sarana untuk penginjilan, yakni menyelubungi penginjilan yang dilakukan, di mana Mahatma Gandhi secara pribadi tidak menyetujuinya. Yang kedua, aksi sosial sebagai perwujudan dari penginjilan, yakni merupakan manifestasi iman yang memunculkan “tanda-tanda kerajaan Allah,” sehingga selaras dengan “kabar baik kerajaan Allah” yang disampaikan. Kekurangannya ialah, jika aksi sosial hanya sekadar “kasih yang terlihat,” penekanan bermisi di dalamnya bisa sangat minim. Yang terakhir, aksi sosial sebagai rekan pelayanan dari penginjilan, yang berarti keduanya lahir dari kasih, untuk memenuhi kekurangan orang lain dalam bentuk apa pun (misal rohani, materi, pendidikan, dll.). 

Sikap kita terhadap ketiga pemaparan ini ialah melihat apa kebutuhan sesama kita. Apakah yang sedang dibutuhkan sesama kita? Pendidikan? Atau juga keselamatan kekal? Bisa saja mereka berkekurangan dari segi kekekalan dan juga saat ini. Oleh karena itu, apakah kita mengasihi sesama hingga sama seperti Tuhan, yang rela berbelas kasih kepada kita dalam memenuhi aspek kebutuhan kekal dan saat ini, hingga kita juga berbelas kasih kepada mereka? Jika kita menghayati dengan sungguh akan hal ini, maka poin hubungan yang pertama dan kedua dapat dilihat dengan lebih mudah.

Jika kita memiliki keinginan untuk dipakai-Nya memenuhi kebutuhan orang lain (termasuk dalam segi rohani), maka dalam bermisi kita perlu memiliki daya tarik misioner. Hal ini diungkapkan oleh Christopher J. Wright dalam bukunya Misi Umat Allah. Memiliki daya tarik misioner dilandasi oleh peran kita selaku umat-Nya, menjadi penarik orang lain kepada-Nya, sesuai dengan kerinduan-Nya. Ada lima ciri dari orang yang memiliki daya tarik misioner: (1) memancing keingintahuan (Ul. 4:5-8), (2) menarik para pencari (1 Raj. 8:41- 43, 60-61), (3) mengundang kekaguman (Yer. 13:1-11), (4) mengundang ibadah (Yes. 60), dan (5) mengundang persetujuan. Yang pertama, kita perlu terbuka untuk dilihat, dibandingkan, dan ditantang untuk menghidupi berita Injil ini oleh pandangan sesama. Yang kedua, kita perlu hidup memelihara Firman Tuhan sehingga membuat orang lain tertarik akan kehidupan kita (pintu untuk tertarik akan Allah), dengan mempercayai bahwa Allah berkenan mencari orang-orang untuk percaya kepada-Nya, sesuai dengan janji-Nya kepada Abraham dan Daud. Yang ketiga, kita perlu bertanggung jawab atas kepercayaan yang Ia berikan kepada kita, yakni sebagai perwakilan-Nya di dunia, yang dapat mendatangkan kemuliaan/ hinaan bagi-Nya. Yang keempat, kita perlu menyembah-Nya dan mengajak orang lain, dalam hal ini sebagai respons atas apa yang Tuhan telah lakukan, termasuk karya penebusan-Nya terhadap orang berdosa, mengakibatkan semakin banyak bangsa-bangsa akan datang kepada-Nya, dan semakin tampaknya “tanda-tanda kerajaan Allah”. Yang terakhir, kita perlu tetap bersatu sebagai tubuh Kristus dalam menjadi terang dunia, walaupun kondisi tidak mudah.

Kelima hal ini dapat kita terapkan dalam konteks aksi sosial kepada mereka yang hina. Salah satunya ialah kaum miskin. Alkitab mengonotasikan kaum miskin sebagai orang yang menderita secara ekonomi karena malapetaka/eksploitasi kehidupan. Sama seperti dalam Mat. 25:40, Allah juga menempatkan diriNya sebagai orang yang berkekurangan dalam Ams. 14:31 dan 19:17. Dengan kata lain, peran gereja dalam hal ini ialah memperjuangkan keadilan bagi kaum miskin. Gereja mula-mula perlu mengenal Allah, Sang Mahaadil yang menginginkan umat-Nya berlaku adil juga (misal dalam Yer. 7:3-10 dengan penekanan dalam ayat 5-7). Setelah itu, gereja perlu memberitakan Injil dengan menyuarakan keadilan, dan memilih untuk merawat kaum miskin (Mat. 25:40; Luk. 4:18-19).

Dalam merawat kaum miskin, kita perlu memperhatikan bukan hanya kebutuhan dasar mereka, namun juga faktorfaktor yang menyebabkan mereka tidak dapat terlepas dari jerat kemiskinan, atau tetap berada dalam “lingkaran setan” kemiskinan, yaitu: pendidikan, kesehatan, dan produktivitas. Kurang baik jika kaum miskin mendapat bantuan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, namun ketiga hal ini tidak teratasi, karena dengan demikian, kaum miskin akan tetap berada dalam jerat kemiskinan. Oleh karena itu, sebagai contoh, kita dapat menyediakan pendidikan dan pelatihan yang relevan, lingkungan yang mendukung kesehatan, hikmat menjalankan kehidupan, dan hak untuk ikut memutuskan jaminan keadilan. Dengan kata lain, kita memperjuangkan keadilan hak asasi manusia kaum miskin, agar mereka dapat keluar dari jerat kemiskinan dan mempertahankan kemerdekaan mereka dari kaum-kaum yang tidak adil terhadap mereka. Jadi kita memberikan perhatian khusus kepada kaum miskin, dengan cara tetap menghormati dan memberikan apa yang menjadi hak mereka.

Kesimpulan

Dalam Matius 25:34-40, kita selaku umat-Nya perlu serius dalam berbuat kasih terhadap sesama, seserius perbuatan tersebut kita lakukan untuk Tuhan. Hal ini selaras dengan salah satu hukum kasih (inti dari taurat), bahwa hal ini merupakan kehendak Tuhan yang perlu kita laksanakan selaku umat-Nya. Kita perlu melihat aksi sosial sebagai rekan pelayanan penginjilan, sehingga keduanya dapat berjalan beriringan, dan keduanya lahir dari kasih untuk memenuhi kebutuhan yang berkekurangan (termasuk segi rohani), sama seperti apa yang telah Yesus lakukan. Jika kita ingin dipakaiNya dalam hal ini, maka kita perlu memiliki daya tarik misioner, yang dapat kita terapkan dalam merawat mereka yang hina, salah satunya adalah dengan menegakkan keadilan hak asasi bagi kaum miskin.

Sebagai penutup, apa yang kita miliki nanti dalam kekekalan dan saat ini, hanya kita miliki karena belas kasihan Tuhan. Kita juga perlu mengingat karya penebusan yang Allah telah lakukan kepada kita yang dahulu juga hina. Bapa menghendaki agar manusia yang senang memberontak diselamatkan. Anak rela menanggung hukuman dosa manusia sendirian, hingga mengalami penderitaan dalam dunia. Walaupun sulit, Ia setia memberitakan “kabar baik Kerajaan Allah” dan menghadirkan “tanda-tanda Kerajaan Allah” (berbuat kasih, menegakkan kebenaran, dll.).

Apa respons kita terhadap hal ini? Sama seperti perumpamaan ini, yang ditujukan kepada para murid, hal ini juga ditujukan kepada kita selaku murid-Nya. Ia telah merencanakan dan menghendaki sejak kekekalan, agar kebutuhan kita selaku umat-Nya dicukupi dari segi kekekalan (kehidupan kekal) dan saat ini (pemeliharaan-Nya). Mau dan relakah kita melaksanakan Amanat Agung, seperti Kristus yang mau dan rela mengikuti kehendak Bapa, yaitu memenuhi kebutuhan manusia seluruh dunia, terkhusus merawat mereka yang hina, dalam segi kekekalan (penginjilan) dan saat ini (aksi sosial)?

 Jadi kita memberikan perhatian khusus kepada kaum miskin, dengan cara tetap menghormati dan memberikan apa yang menjadi hak mereka.