[ Penulis: Indra Putra.  Editor: Carlo Santoso ]

20160810UmurFoto: unsplash

Liburan kemarin mengunjungi beberapa orang tua yang sudah memasuki usia lanjut. Salah satu yang kami kunjungi adalah dua orang nenek kakak-beradik yang tinggal di dalam satu rumah. Sang kakak berusia 82 tahun dan sang adik berusia 79 tahun. Keduanya sudah sakit-sakitan. Dibandingkan dengan sang kakak, sang adik masih lebih sehat. Sang kakak sudah hampir seutuhnya pikun, dan jika diajak bicara sudah ngelantur kesana kemari.

Beberapa fungsi tubuh sudah tidak berjalan normal dan perawatannya sudah seperti kembali menjadi bayi. Meski lebih sehat, sang adik bukannya tidak memiliki penyakit. Obat-obatan yang terkait dengan fungsi jantung, darah, lambung dan beberapa organ tubuh lainnya menjadi asupan keseharian penopang hidup. Kunjungan rutin ke dokter pun sudah menjadi rutinitas.

**

Setelah berbincang lama kesana kemari dan ingin mengakhiri kunjungan, tiba-tiba sang nenek yang berusia 79 tahun terdiam sesaat. Pandangannya menerawang jauh. Dengan terpatah-patah ia berujar: “Jika ada yang berulang tahun, saya tidak mau mengucapkan doa panjang umur, umur panjang malah menyakitkan”. Sambil menyeka air matanya, ia melanjutkan perlahan, “Lihatlah keadaan kami sekarang”.

Tercekat dan terdiam.

Itulah reaksi kami. Kalimat tersebut nampaknya lahir dari refleksi mendalam setelah menjalani puluhan tahun kehidupan.

**

Kematian memang bukan topik menarik untuk diperbincangkan. Sebisa mungkin kelahiran dijauhkan dari kematian, meski setiap kelahiran pasti berujung pada kematian. Hal ini nampak jelas sekali dalam hidup keseharian, misalnya ketika sedang merayakan ulang tahun. Doa dan harapan yang diucapkan biasanya meminta panjang umur, yang sesungguhnya berarti meminta agar akhir kehidupan dijauhkan dari awal kehidupan. Doa dan harapan ini menyiratkan permohonan agar sebisa mungkin kematian disingkirkan dari kehidupan.

Ketika merenungkan bagian ini, ingatan kami pun terbang pada masa-masa mendampingi orang-orang terkasih yang terbaring di rumah sakit, karena penyakit yang tidak kunjung dan tidak mungkin sembuh.  Kami kerap menerima kunjungan dari mereka yang ingin turut mendoakan.  Beberapa diantaranya kami kenal, namun ada juga yang sama sekali tidak kami kenal.  Setelah beberapa kali menerima kunjungan dan berdoa bersama, lama-lama kami hafal tipe doanya. Kurang lebih isi doanya menyatakan bahwa kesembuhan pasti akan datang asalkan percaya dan pasti tidak akan berakhir dengan hal kematian (walaupun bagian ini disampaikan dengan kata-kata pelembut, misalnya pasti akan mampu beraktifitas seperti sebelumnya dan lain sebagainya).

Terlepas dari kesan bahwa mereka berdoa tanpa mau cukup mendengar dulu apa yang dialami dan dirasakan oleh yang menunggu dan yang terbaring sakit, doa-doa ini mengindikasikan harapan bahwa kematian sebaiknya dijauhkan dari kehidupan. Ada rasa yang timbul yang tidak dapat dijelaskan ketika mendengar doa seperti ini berkali-kali. Doa ini nampaknya seperti mengingkari realitas yang pasti akan terjadi. 

Apakah kematian sesuatu yang harus dihindari dan bukan disambut, jika memang sudah waktunya akhir kehidupan menghampiri?

**

Perspektif lain timbul ketika bertemu dengan mereka yang mendoakan agar jika kematian tiba, hal tersebut bukanlah hal yang harus dihindari. Akhir kehidupan pun harus direngkuh dan disambut seperti halnya merayakan awal kehidupan.  Kematian adalah gerbang menghadap Sang Pencipta, sama seperti kelahiran adalah gerbang memulai amanat Sang Pencipta.

It is not the years in our life that count – it is the life in our years. Memulai kehidupan sama pentingnya dengan mengakhiri kehidupan.  Ucapan sang nenek: “Jika ada yang berulang tahun, saya tidak mau mengucapkan doa panjang umur. Umur panjang malah menyakitkan...” menyiratkan refleksi bahwa nilai hidup bukanlah pada tahun-tahun dalam kehidupan, tetapi pada kehidupan dalam tahun-tahun tersebut. Doa dan harapan panjang umur, yang dengan meriah disampaikan pada hari kelahiran dan perayaan tahunan hari kelahiran, akan bermakna lain ketika dipahami bukan untuk menjauhkan kelahiran dari kematian.

Kelahiran dan kematian seperti dua sisi mata uang, satu kesatuan yang tidak terpisahkan.  Keduanya selayaknya direngkuh dan dijalani dengan mata iman bersama Sang Pemberi dan Pengambil Hidup. 

**