Malam itu, Rabu, 5 Maret 2025, tepat pukul 19.30 WIB, di aula lantai 6 SMAK Penabur Gading Serpong, Jl. Kelapa Gading Barat, Pakulonan Barat, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang, Banten, lebih dari seribu jemaat telah berhimpun. Di bawah cahaya temaram, lagu “Sungguh Lembut Tuhan Yesus Memanggil” mengalun lembut. Suara kantoria berpadu dengan khidmatnya jemaat yang berdiri, menunggu prosesi memasuki ruang ibadah. Di depan, Pdt. Danny Purnama berjalan perlahan, diikuti oleh Pdt. Em. Santoni Ong, Pdt. Em. Andreas Loanka, Pdt. Erma Primastuti Kristiyono, Pdt. Devina Erlin Minerva, dan Pdt. Pramudya Hidayat. Rabu Abu telah tiba—momen suci yang menandai awal perjalanan pertobatan dan perenungan diri menjelang Paskah.
Sengat Ucapan Gandhi
Dalam keheningan yang penuh khidmat, Pdt. Danny memulai khotbahnya yang bertemakan “Kesalehan Sejati” dengan sebuah pernyataan yang mengejutkan. Bukan dari Alkitab, bukan pula dari seorang teolog ternama, melainkan dari Mahatma Gandhi.
"Jika orang Kristen benar-benar hidup menurut ajaran Kristus, seperti yang ditemukan dalam Alkitab, seluruh India sudah menjadi Kristen hari ini!"
Sebuah kalimat sederhana, namun tajam menembus hati. Gandhi mengagumi Yesus, tetapi kecewa kepada orang Kristen, yang sering kali tidak mencerminkan ajaran-Nya. Pdt. Danny mengajak jemaat merenung, “Apakah kita sungguh-sungguh hidup dalam iman yang saleh, atau sekadar menjalani ritual?”
Ia kemudian mengutip Kenda Creasy Dean, seorang profesor teologi, yang menulis tentang fenomena “fake Christian”, orang-orang yang tampak religius, tetapi tidak benar-benar menjalankan kehendak Tuhan.
"Kesalehan sejati bukan tentang ritual belaka, melainkan hidup yang mencerminkan kasih dan kebenaran," tegasnya.
Tiga Pilar Kesalehan
Dalam ibadah Rabu Abu ini, Pdt. Danny mengingatkan, kesalehan yang sejati berakar pada tiga hal yang selalu diajarkan Yesus, yaitu SEDEKAH, DOA, dan PUASA.
Sedekah, dilakukan bukan untuk mendapatkan pujian, melainkan sebagai ungkapan kasih. Lalu doa, yang juga bukan sekadar untaian kata yang panjang, dan berharap Tuhan akan membalasnya dengan segera, melainkan cara kita mendekatkan diri dan berserah kepada Tuhan. Dan puasa, tidak hanya untuk menahan diri dari makanan, tetapi juga dari keinginan duniawi yang menjauhkan kita dari Tuhan.
"Jangan melakukan kesalahen yang munafik!" seru Pdt. Danny, "beribadahlah bukan untuk dilihat orang, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan!” tegasnya, mengutip bacaan Injil, yang diambil dari Matius 6:1—6, 16—21.
Puasa, katanya, seharusnya tidak berhenti pada diri sendiri. Jika kita menahan diri dari makanan, tetapi tidak peduli kepada mereka yang kelaparan, maka puasa itu kosong. Jika kita menahan diri dari perkataan buruk, tetapi tetap menutup mata terhadap penderitaan sesama, maka ibadah itu tidak bermakna.
Berkomitmen Memulai Pra-Paskah
Pdt. Danny kembali mengingatkan, sejak Rabu Abu, proses pra-Paskah sudah dimulai. Ia mengajak kita untuk melewati penziarahan dengan komitmen penuh, memaknai ini sebagai bentuk disiplin rohani guna merendahkan diri di hadapan Tuhan, sekaligus mengendalikan hawa nafsu kedagingan.
Dan, ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk. Ada yang menahan diri melakukan kesenangan-kesenangan diri. Ada yang menahan diri untuk makan dengan jumlah tertentu, dan lainnya.
“Namun, aksi kesalehan ini tidak boleh berhenti di sini. Agar kesalehan kita enggak jadi kesalehan yang palsu, puasa kita harus berlanjut dengan aksi sosial, kepedulian terhadap sesama yang membutuhkan. Jangan sampai mulut memuji Tuhan, tetapi dengan mulut yang sama, kita juga memfitnah sesama,” tegasnya.
Puasa, lanjutnya, bukan hanya tidak melakukan hal-hal tertentu, tetapi juga harus mendorong kita melakukan apa yang selama ini belum atau lalai kita kerjakan.
“Misalnya, kita memberikan perhatian kepada saudara-saudara kita. Meringankan beban orang-orang di sekitar kita yang sedang terkena bencana. Jadi, intinya masa pra-Paskah ini diisi dengan menahan diri dari pemuasan diri dan kepentingan diri sendiri,” pungkasnya.
Kefanaan Sekaligus Keselamatan
Puncak ibadah tiba. Jemaat mulai bergerak ke depan. Di setiap meja yang berbalut taplak keemasan, para pendeta bersiap dengan mangkuk perak berisi abu. Anak-anak kecil, remaja, dewasa, hingga para lansia melangkah perlahan, tangan terkatup, kepala tertunduk. Satu per satu, mereka menerima tanda salib dari abu di dahi mereka.
Diiringi lagu “Hanya Debulah Aku”, suasana menjadi semakin syahdu. Abu itu adalah pengingat—bahwa kita berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu. Bahwa hidup ini sementara. Namun, tanda salib dari abu itu juga membawa harapan—bahwa dalam kefanaan, ada keselamatan di dalam Kristus.
Saat jemaat melangkah keluar dari gereja, angin malam berembus lembut, seolah membawa pesan keheningan yang mendalam. Di bawah sinar lampu-lampu jalan, samar-samar masih terlihat jejak abu di dahi mereka—jejak debu kecil yang akan memudar malam itu juga atau mungkin keesokan harinya. Namun, lebih dari sekadar tanda fisik, jejak iman yang ditanamkan malam Rabu Abu ini diharapkan akan tetap tinggal, tumbuh, dan berbuah dalam kehidupan mereka.
Dalam langkah-langkah perlahan menuju rumah masing-masing, ada hati yang dikuatkan, ada jiwa yang dicerahkan, dan ada komitmen baru yang terpatri. Bahwa kesalehan bukan tentang apa yang terlihat dan kita perlihatkan, melainkan tentang kasih yang terus mengalir. Bahwa doa bukan hanya sekadar kata, tetapi percakapan yang hidup dengan Tuhan. Dan bahwa puasa bukan sekadar menahan lapar, tetapi sebuah perjalanan mendekatkan diri kepada-Nya.
Malam itu, mereka pulang membawa lebih dari sekadar abu di dahi. Mereka membawa panggilan untuk hidup dalam kesalehan yang sejati, yang tidak hanya tampak di luar, tetapi benar-benar berakar di dalam hati, dan tidak berhenti. Melainkan, akan berlanjut dengan aksi kepedulian untuk sesama yang berarti.
*Penulis adalah anggota wilayah X - GKI Gading Serpong.