Hari ini diriku tergelitik akan dua hal ketika khotbah disampaikan pendeta. Pertama tentang iman hanya pada Allah yang hidup tidak boleh disandingkan dengan yang lain termasuk budaya. Beliau memberikan contoh, mengapa orang Kristen khususnya orang Tionghoa ketika melayat masih menghormat di depan jenasah? Mengapa orang Jawa ketika 2-3 hari sebelum pernikahan ada acara siraman dan ada orang yang berpuasa serta mendoakan agar saat pernikahan memiliki aura cantik, dan seterusnya.

Diriku teringat, sewaktu kecil orangtuaku beragama muslim namun dengan adanya penginjilan keduanya menjadi Kristen dan akhirnya banyak warga masyarakat mengikuti jejaknya. Suatu ketika saat kebaktian hari Minggu, seorang pendeta berkhotbah dengan lantang mengatakan “bahwa orang Kristen dilarang ke makam (nyekar), apalagi berdoa itu dosa”. Khotbah itu membawa dampak yang luar biasa dan minggu berikutnya banyak jemaat tidak bergereja lagi. Hal itu menjadi pergumulan yang hebat buat orangtuaku, dan aku mengatakan “kita tidak harus sama dengan khotbah pendeta tersebut, kita tidak boleh mencabut orang Kristen dari budaya sebagai social community-nya”. Lantas ayahku bertanya, harus bagaimana? (baca buku Jesus as a Coach – Dr. Pramudianto ACC, Andi Offset 2019)

Orang sekarang menyebutnya Shift of Paradigm, orang Kristen boleh nyekar dan berdoa di makam, namun isi doanya yang harus diubah:
1) Berdoa karena Tuhan memberi keselamatan dari rumah sampai makam dalam keadaan selamat.
2) Terima kasih, karena Tuhan menganugerahkan orangtua (misal yang dimakam adalah orangtua) dalam hidup ini dengan berbagai warisan kehidupan yang baik sehingga kami menjadi manusia yang baik.
3) Mohon Tuhan menuntun hidup kami untuk melanjutkan karya baik yang telah diwariskan oleh orangtua kami. Ini bukan sinkretisme (suatu proses perpaduan dari beberapa paham-paham atau aliran-aliran agama atau kepercayaan). Pada sinkretisme terjadi proses pencampuradukkan berbagai unsur aliran atau paham, sehingga hasil yang didapat adalah bentuk abstrak yang berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan.

Jadi berdoa bukan kepada yang mati, tetapi berdoa kepada Tuhan yang hidup. Menghormati bukan kepada orang yang sudah mati, tetapi menghormati warisan kebaikannya untuk diteruskan dan diwartakan. Gereja punya kewajiban untuk mengajarkan umatnya mengeser paradigma melalui dan menuju iman kepada Tuhan Yesus, bukan menolak dan mengasingkan diri dari  social community-nya, jika itu terjadi gereja akan menjadi komunitas yang ekslusif dan tidak bisa menginjili atau menjadi pewarta sukacita.

Kedua, seorang teman di facebook mem-posting jadwal katekisasi pranikah yang dipadatkan dalam dua hari untuk kemudian mendapatkan sertifikat dan berhak menikah serta diberkati di Gereja. Dalam jadwal tersebut ada 9 topik dan 7 topik dibawakan oleh pendeta. Secara iseng aku mengatakan pada seorang teman, katekisan tersebut tidak akan menjadi keluarga pendeta lho, mereka akan membangun keluarga biasa, suami istri yang bekerja di kantor, ada yang pengusaha, ada yang guru dan yang lain. Katekisasi itu merupakan proses belajar untuk hidup berkeluarga, mereka bisa belajar dari keluarga-keluarga yang gagal hidupnya, keluarga-keluarga yang tertatih-tatih menjalani imannya. Pendetanya sih tidak salah, yang keterlaluan yang menyusun agenda katekisasi, karena pendeta diminta ngomong apapun menurut saja, karena percaya diri dengan apa yang dibicarakan pasti didengarkan (mungkin zaman dulu).

Dalam katekisasi pranikah
1) Tidak bisa dipadatkan. Jika banyak pernikahan Kristen yang usianya pendek, siapa yang bertanggungjawab? Menurut saya Lembaga Gereja (para majelis). Sekali lagi, bahwa katekisasi pra nikah merupakan sebuah proses pembelajaran, menurutku lebih tepat mengatakan training kehidupan berkeluarga. Para katekisan dilatih dalam menghadapi kehidupan bersama, dilatih jika nantinya memiliki anak, dilatih untuk mengambil keputusan, dilatih dalam berkomunikasi dll.
2) Dalam pernikahan paling sulit adalah komunikasi dan komunikasi tidak bisa diajarkan dengan teori 2 jam oleh suami istri pendeta. Komunikasi sangat tepat jika dipraktekkan, dibuat simulasi dalam menghadapi keuangan keluarga, komunikasi dalam menghadapi perbedaan pendapat, komunikasi dalam menghadapi kenakalan anak, komunikasi dalam menghadapi mertua yang ikut campur urusan keluarga, komunikasi dalam pelayanan, komunikasi dengan masyarakatnya dsb.
3) Jika Anda sebagai majelis dan punya jemaat yang mau nikah, hindari katekisasinya dititipkan pada lembaga lain. Itu tanggung jawab Anda, meskipun yang mau menikah hanya 2 pasang saja. Gereja harus mengajarkan dengan polanya sendiri. Oleh karena itu buka kelas katekisasi Januari 2020, bagi yang mau menikah Januari-Juni 2021, dan ijinkan pula bagi remaja dan pemuda yang belum mau menikah untuk ikut katekisasi pra nikah. Menikah pasti direncanakan, jika mendadak itu KASUS.

Ketika dunia ini bergeser pada era industri 4.0 dan kadang gereja latah dengan mengatakan pelayanan 4.0, tetapi cara-cara pelayanannya tidak berubah, cara berpikir majelisnya tidak berubah, data jemaat tidak dijadikan agenda memperbaiki pelayanan (lihat saja yang jadi majelis dan aktivis gereja itu-itu saja). Jika Nadiem Makarim mengatakan bahwa institusi pendidikan paling susah untuk melakukan perubahan dan itu saya alami ketika bekerja pada lembaga pendidikan, karena orang-orangnya banyak yang tidak mau belajar hal baru (studi banding hanya jalan-jalan saja), membaca buku apalagi belajar lintas ilmu atau bidang. Kali ini saya juga mengatakan bahwa lembaga gerejawi adalah lembaga yang tidak mudah menerima perubahan padahal kita punya motto atau semboyan gereja reformasi “Ecclesia Reformata Semper Reformanda”, Gereja adalah Gereja yang terus menerus memperbaharui dirinya.

Selamat bergumul untuk memperkuat iman dalam Tuhan Yesus Kristus yang hidup, selamat Hari Minggu, Tuhan memberkati.