Penulis: Benedictus Leonardus.  Editor: David Tobing

 

Setiap minggu dalam ibadah, kita mengikrarkan Pengakuan Iman Rasuli yang berbunyi “Aku percaya kepada Allah, Bapa yang Mahakuasa. Khalik langi dan bumi,” dst. Kita mengakui bahwa Allah adalah pencipta langit dan bumi, segala yang kelihatan dan yang tidak kelihatan (Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel). Konsep penciptaan alam semesta ini bersumber dari Kitab Kejadian (Genesis) pasal 1 dan 2. Doktrin penciptaan ini sangat penting karena sebagai dasar/fondasi bagi doktrin doktrin yang lain. 

The Biblical doctrine of origins as contained in the book of Genesis, is foundational to all other doctrines of Scripture. Refute or undermine in any way the Biblical doctrine of origins, and the rest of the Bible is compromised. Every single Biblical doctrine of theology directly or indirectly, ultimately has its basis in the book of Genesis (Ham, 1987, 44)

Selain doktrin penciptaan ini, ada pula konsep evolusi untuk memahami eksistensi alam semesta. Bagi kaum evolusionis, alam semesta ini terjadi secara kebetulan tanpa ada campur tangan Yang Mahakuasa. Konsep evolusi menolak kisah penciptaan yang dilukiskan dalam Kitab Kejadian. Manusia bukan diciptakan tetapi merupakan hasil proses evolusi terbaik setelah melalui proses yang panjang selama jutaan tahun. Manusia berasal dari binatang yang mengalami proses perkembangan bertahap hingga menjadi manusia. 

Doktrin penciptaan ini menjadi sasaran serangan yang dilakukan penganut konsep evolusi. Yang percaya kepada konsep penciptaan ini diidentikkan sebagai kelompok fundamentalis (Asimov, 1984, 183). Richard Dawkins menyebutnya fundamentalist creationist (Dawkins, 2008, 320). Yang percaya kepada penciptaan khusus/istimewa oleh Allah disebut biblical fundamentalist: “.. .  only Biblical Fundamentalists can and do believe in special” or “scientific” creationism.” (Bernstein, 1984, 83). Bagi mereka, kisah penciptaan tidak lebih dari sebuah mitos, legenda yang dipercaya oleh narrow fundamentalist: “. . . the attempt by a narrow fundamentalist sect to impose its particular brand of a creation myth . . .” (Montagu, 1984, 14). Yang percaya kepada Kitab Kejadian sebagai fakta historis disebut fundamentalis, yang percaya bahwa Kitab Kejadian mustahil mengandung kekeliruan. Intinya, fundamentalis adalah mereka yang gigih menolak konsep evolusi.  Fundamentalist Christian are passionately opposed to evolution . . . (Dawkins, 2008, 18).

 

 

Evolusi Sumber Kebenaran?

Untuk memahami realita alam semesta ini sangat tergantung dari sudut mana kita melihatnya, bisa dari lensa/sudut pandang penciptaan atau evolusi. Nature is open to many legitimate interpretations. (McGrath, 2007, 45). Fakta yang ada dapat diinterpretasikan oleh penganut evolusi sebagai bukti yang menunjukkan terjadinya proses alamiah evolusi tanpa adanya intervensi dari Yang Mahakusa. Di sisi lain fakta yang sama tersebut, bagi yang percaya penciptaan, menunjukkan adanya penciptaan oleh Tuhan dengan kuasa adikodrati-Nya. 

Alasan penganut konsep evolusi menolak penciptaan karena penciptaan dianggap tidak ilmiah. Bukan sains yang dapat diamati dan diobservasi. Tidak ada fakta yang meyakinkan untuk mendukung penciptaan. Lagi pula penciptaan yang dilakukan Allah dengan kuasa supranatural-Nya, tidak dapat dijelaskan secara ilmiah. Kegiatan supranatural/adikodrati ini tidak dapat diamati dan diuji. Bagi evolusionis segala sesuatu harus disaring melalui lensa sains. Both science and philosophy relied on evolutionary concepts for the explanation of all things (Packer, 1974, 27). Sains yang dimaksud disini adalah ilmu pengetahuan berdasarkan hipotesa evolusi: “… “scientific” study meant study done on an evolutionaty hypothesis” (Packer, 1974, 149). 

Apakah evolusi dapat diamati dan diobservasi? Jelas tidak. Asal mula alam semesta dan kehidupan tidak dapat diobservasi. Baik kreasionis maupun evolusionis kedua-duanya bertumpu pada system belief. Keduanya tidak dapat diuji karena kita tidak dapat kembali kepada milyaran, jutaan, ribuan tahun untuk mengamati asal mula terjadinya alam semesta ini. Evolusi tidak lebih dari sebuah doktrin, dogma, sama seperti doktrin penciptaan. Evolusionis seharusnya tidak mengklaim secara sepihak, bahwa proses evolusi sebagai satu-satunya cara ilmiah untuk mengetahui asal usul alam semesta ini. Teori evolusi belum terbukti kebenarannya, masih merupakan sebuah hipotesa yang belum didukung oleh bukti ilmiah yang meyakinkan. Evolusi termasuk salah satu worldview yang berdasarkan system belief. . . . every worldview – religious or secular – ends up falling into category of “belief systems” precisely because it can not be proved (McGrath, 2007, 69). Evolusi adalah sebuah keyakinan iman (faith) atau kepercayaan (belief). 

 

 

Percaya kepada Tuhan Pencipta atau Evolusi?

Iman (faith) atau percaya (belief) mempunyai peranan penting dalam hidup kita. Seluruh aspek kehidupan kita sangat tergantung kepada iman atau system belief yang kita yakini. Dan setiap keputusan penting yang kita ambil sangat tergantung pada iman yang kita yakini. Beliefs are critical. We base our lives on them they shape our decisions about the most fundamental things (McGrath, 2007, 19). Demikian halnya, percaya kepada penciptaan atau evolusi sangat tergantung pada iman percaya kita. Believe in either Creation or Evolution has to be made on the basis of faith, either faith in God or faith in random chance (Keane, 1999, 10). 

Doktrin evolusi ini menarik bagi banyak orang termasuk dari kalangan yang mengaku percaya kepada Tuhan. Kita sering terkecoh karena berpendapat evolusi adalah sebuah fakta. Padahal evolusi masih berupa hipotesa. Konsep evolusi sebenarnya merupakan doktrin agama walaupun sering diungkapkan dengan bahasa ilmiah. Konsep ini menarik bagi manusia otonom yang tidak mau terikat kepada apapun yang diluar dirinya. Evolusi menyuburkan ateisme. Evolusi menjadi fondasi bagi orang ateis dalam menjelaskan makna hidup tanpa melibatkan Allah Pencipta. Kredibilitas humanisme sekuler bertumpu kepada evolusi. The belief system known as Secular Humanism relies heavily on Evolution Theory for credibility (Keane, 1999, 290).

Abad 19 setelah terbitnya buku Charles Darwin “The Origin of Species,” yang menguraikan proses evolusi secara “ilmiah,” telah mengguncang iman sebagian teolog. Walaupun evolusi belum didukung oleh bukti meyakinkan tetapi sudah dipersepsikan sebagai kebenaran absolut. Yang tidak mau menerima bukti tersebut oleh Richard Dawkins dianggap menderita gejala gangguan kejiwaan. ‘a persistent false belief held in the face of strong contradictory eveidence, especially as a symptom of psychiatric disorder’ (Dawkins, 2008, 28). Konotasi negatif tersebut membuat sebagian teolog berupaya menyingkirkan doktrin doktrin ortodoksi dengan merevisi doktrin doktrin tersebut. The early Liberal relied on the idea of evolution as the key to interpreting the religious process out of which the Bible came (Packer, 1974, 148). Padahal konsep evolusi ini tidak lebih dari sebuah iman kepercayaan. Therefore the person who holds to evolution as a fact is really accepting it on faith (Rusch, 1972, 38).

 

 

Dampak Evolusi terhadap Alkitab

Sampai sejauh ini, kita dapat memahami bahwa serangan yang gencar terhadap keyakinan iman Kristen ini berasal dari kalangan yang meyakini doktrin evolusi. Wallace Johnson dalam bukunya The Death of Evolution mengutip Newman Watts yang menyatakan “Every attack on the Christian faith made today has, as its basis, the doctrine of evolution.” (Johnson, 2001, 1). Teori evolusi bertolak belakang dengan pernyataan wahyu Allah dan kredo yang menjadi keyakinan orang Kristen. The general theory of Evolution is diametrically opposed to Christian revelation and creed (Johnson, 2001, 14).

Kitab Kejadian merupakan fondasi utama dari keseluruhan Alkitab. Pasal pertama dalam Kitab Kejadian adalah dasar/fondasi bagi pasal-pasal selanjutnya. “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kejadian 1:1). The first chapter of Genesis is the foundation of the Bible; if the foundation is undermined, the superstructure soon collapses (Morris, 2000, 266). Jika konsep penciptaan yang merupakan fondasi Alkitab yang menyangga seluruh doktrin-doktrin lainnya, dapat diruntuhkan maka dapat dipastikan, seluruh doktrin iman Kristen akan runtuh pula.

Jika kredibilitas Kitab Kejadian ini diragukan kebenarannya, maka tidak ada gunanya bagi kita untuk mempercayai bagian lain dari Alkitab. . .if the history in Genesis is not true, why believe the rest of the Bible? (Ham, 2001, 65). Hal yang sama juga ditulis Gerard J.Keane, jika kredibiltas Kitab Penciptaan ini diragukan maka tidak ada satu pun bagian Alkitab yang tidak dapat direvisi. Termasuk Perjanjian Baru harus dikritisi, direvisi dan diinterpretasi ulang. . . it comes as no surprise that, one the credibility of the foundational Genesis account was placed in doubt, nothing in the Bible would be free from revision – everything, including the New Testament, could be doubted and would have to be “re-interpreted.” (Keane, 1999, 297). Akibatnya semua pemahaman doktrin ortodoksi harus ditafsir ulang.  Yesus Kristus tidak dilihat sebagai Juru selamat dunia yang mati di kayu salib untuk menebus dosa manusia tetapi sekedar manusia mulia yang dieksekusi oleh penguasa yang takut terhadap ajarannya.

Peristiwa historis Kitab Kejadian 1-3 menjadi dasar untuk memahami realita kehidupan manusia. Tanpa bertumpu kepada Kitab Kejadian 1-3, kita tidak akan mendapat jawaban yang memuaskan mengenai asal mula manusia, dosa dan kematian. Melalui Kitab Kejadian, kita mengetahui bahwa manusia merupakan ciptaan Allah yang istimewa karena manusia diciptakan serupa dengan gambar Allah. Konsep ini, tidak sesuai dengan doktrin evolusi. The continual emphasis on the goodness of creation and man’s being created in the image of God does not fit an evolution scene (Zimmerman, 1972, 115)

Demikian pula dosa asal, kejatuhan manusia dan penebusan melalui kayu salib harus disingkirkan. Complete elimination of redemptive acts of God, was a dogma which all evolutionary theories presuppose (Packer, 1974, 150). Untuk meruntuhkan konsep dosa asal dan karya penebusan Yesus Kristus di kayu salib, yang pertama-tama harus disingkirkan adalah doktrin penciptaan (Keane, 1999, 188). Sama dengan penciptaan, dosa asal dianggap tidak lebih dari sebuah mitos. Jika dosa asal ini berhasil disingkirkan maka sangat dimungkinkan dogma ajaran yang lain juga akan berguguran seperti efek teori kartu domino. When Original Sin is discredited, all the dogmas start to fall like dominoes (Johnson, 2001, 13). 

Pada intinya yang diserang adalah Biblical worldview: creation, fall, redemption karena dianggap tidak sesuai dengan doktrin evolusi. Mungkin keyakinan worldview ini, dikategorikan “fossilized teology” yang dipegang oleh kaum fundamentalis, sebagaimana ditulis oleh James Barr (Barr, 1978, 161). Evolusi mempunyai grand narrative/worldview yang memang berbeda dengan grand narrative Alkitab. Ya, grand narrative Alkitab yang berkaitan dengan penciptaan, kejatuhan dan penebusan manusia harus disingkirkan dan digantikan dengan konsep evolusi yang bertumpu pada perkembangan/perubahan bertahap berdasarkan seleksi alam tanpa keterlibatan kuasa adikodrati. Evolution demands the abandonment of the grand biblical narrative of creation, fall, and redemption for a narrative of gradual improvement via natural selection (Phillips, 2015, 94).

Mungkin ada gereja yang tidak menekankan pentingnya biblical worldview: creation, fall, redemption karena pengaruh sekulerisme evolusi tersebut. Padahal jatuh bangunnya iman Kristen dan gereja sangat tergantung kepada historikal Kitab Kejadian ini. The Christian faith and the church stand or fall as the historical foundation Genesis stands or crumbles (Keane, 1999, 357). Jika kitab kejadian ini dikerdilkan maka ajaran tentang dosa dan keselamatan dan juga ajaran moral alkitabiah harus disingkirkan. . . the result of which can only be eradication of Christian teaching on sin and salvation, along with the Christian view of morality and life (Philips, 2015, 91). 

Jika evolusi makro ini diterima kebenarannya secara historis maka kejatuhan manusia dalam dosa menjadi tidak relevan lagi. Bibilical worldview: penciptaan, kejatuhan, penebusan tidak lebih dari sebuah mitos yang tidak mengandung kebenaran historis. Tanpa doktrin kejatuhan manusia dalam dosa maka konsep penebusan dan juruselamat tidak relevan lagi. Without the Fall, the idea of redemption and a Savior makes little sense, and one’s faith is undermined (Keane, 1999, xxvii). 

Apa gunanya penebusan dosa oleh Kristus, jika dosa tidak lebih dari sisa-sisa insting binatang yang terdapat dalam diri manusia. . . . Charles R. Darwin (1809-82) and his successors created the idea that there was no such thing as sin or that sin was merely the remnant of animal instinct in man (Cairns, 1981, 413).  Jika tidak ada kejatuhan dan dosa asal, maka Yesus Kristus tidak diperlukan sebagai Juruselamat dunia. Agar konsep evolusi dapat diterima di kalangan gereja maka mau tidak mau otoritas Alkitab harus disingkirkan dan ditolak. The denial of the authority of the Bible was a logical outcome of this point of view (Cairns, 1981, 409).

 

 

Implikasi Iman Evolusi Terhadap Iman Kristiani

Evolusi sering diidentikkan dengan sains (scientific). Istilah sains telah dibajak oleh penganut evolusi sebagai miliknya. Yang percaya sains pasti menolak konsep penciptaan. Sains (baca: evolusi) menjadi lensa/sudut pandang satu-satunya untuk melihat realitas. Padahal setiap kejadian di alam semesta dapat diinterpretasikan baik dari sudut pandang kreasionis maupun evolusionis. Banyak pertanyaan mengenai realitas yang tidak dapat dijawab sains dengan memuaskan. Teori sains tidak dapat menjelaskan secara utuh alam semesta ini. Sains hanya dapat menjelaskan fenomena yang terjadi dalam dunia ini. Scientifc theories cannot be said to “explain the world” – they only explain the phenomena that are observed within the world (McGrath, 2007, 38).

Karena segala sesuatu harus dilihat dari sudut pandang sains, maka keyakinan iman Kristen pun harus diteropong dari sudut pandang sains. Semua mujizat yang bersifat adikodrati yang tentunya tidak dapat diobservasi harus disingkirkan. Tidak ada kebenaran mutlak (absolute truth). Evolutionism has contributed significantly to the blurring of perception of objective truth (Keane, 1999, 43). Penciptaan alam semesta, Ketuhanan Yesus, kelahiran Yesus dari anak dara Maria, kematian Yesus untuk menebus dosa manusia, kebangkitan Yesus dan kedatangannya kembali dianggap sebagai legenda/mitos. They attacked orthodoxy’s view of the Bible as the inspired and infallible Word of God. Other issues in dispute were the doctrine of the creation and the fall of man, the uniqueness of Christ as the world’s only Savior and doctrine of the vicarious atonement (Surburg, 1959, 173). Doktrin kejatuhan dan dosa asal tidak sejalan dengan konsep evolusi. Karenanya harus ditolak. Manusia merupakan hasil proses evolusi yang terbaik. Oleh sebab itu, semua doktrin ortodoksi ini harus diinterpretasi ulang agar sesuai dengan “sains.” Padahal evolusi tidak lebih dari sebuah keyakinan iman (faith) juga.

Jika kita menerima doktrin evolusi ini maka keyakinan iman kita akan terkontaminasi dengan konsep evolusi. Alkitab dilihat sebagai sebuah produk dari seleksi alam. Alkitab berisi koleksi buku-buku yang dalam perjalanannya memperlihatkan perkembangan pemahaman tentang Allah yang semakin sempurna. Accepted  evolution as true and proceeded to revise their theological ideas in conformity with it. The Bible was viewed as a product of natural evolution, as a collection of books displaying man’s progressive understanding of God (Surburg, 1959, 173)

 

 

Pengakuan Iman GKI

Pada umumnya setiap gereja mempunyai pengakuan iman yang menunjukkan identitas gereja tersebut. Setiap denominasi gereja mempunyai pengakuan iman (faith and belief) yang diyakini. Pengakuan iman GKI yang tercantum dalam Tata Gereja, Tata Dasar, Pasal 3 merupakan worldview. Wordview yang membentuk pola pikir kita dalam seluruh aspek kehidupan kita.  Worldview ini juga boleh disebut core belief. It is an entire way of thinking, covering not only theology, but how to think about ethics, history, science, litearature – about everything (Eckman, 2004, 12). Pdt. Eka Darmaputera menyebutnya sebagai sebuah identitas yang menunjukkan jati diri kita sebagai anggota GKI. Identitas GKI tertera di Pengakuan Iman ini:

  1. GKI mengaku imannya bahwa Yesus Kristus adalah:
    1. Tuhan dan Juru Selamat dunia. Sumber kebenaran dan hidup.
    2. Kepala Gereja, yang mendirikan gereja dan yang memanggil gereja untuk hidup dalam iman dan misinya.
  1. GKI mengaku imannya bahwa Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah Firman Allah yang menjadi dasar dan norma satu-satunya bagi kehidupan gereja
  2. GKI, dalam persekutuan dengan Gereja Tuhan Yesus Kristus di degala abad dan tempat, menerima Pengakuan Iman Rasuli (Lampiran 1), Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel (Lampiran 2), dan Pengakuan Iman Athanasius (Lampiran 3)
  3. GKI dalam ikatan dengan tradisi Reformasi, menerima Kateskismus Heidelberg
  4. GKI, dalam persekutan dengan gereja-gereja di Indonesia, menerima Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) (Lampiran 4)

Dari struktur Pengakuan Iman GKI, kita dapat mengetahui bahwa Yesus Kristus adalah inti iman GKI. Calvin menekankan sentralitas Kristus. The centrality of Jesus Christ in all the Scripture. Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah Firman Allah, berarti Alkitab berotoritas sebagai dasar dan norma satu-satunya bagi kehidupan gereja. GKI menerima Pengakuan Iman Ekumenis yang bersifat universal. Kateskismus Heildeberg adalah salah satu ketekismus tradisi Reformasi yang diterima oleh GKI. GKI adalah gereja yang berada di Indonesia yang menerima PBIK dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia. Dari Pengakuan iman ini sangat kentara sekali bahwa GKI merupakan gereja universal sebagaimana ditunjukkan dalam butir 1, 2, 3 dan 4 dan juga sekaligus gereja lokal yang berada di Indonesia, dengan menerima Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK). Pengakuan iman GKI adalah sebuah identitas yang universal sekaligus lokal.

 

Kita mengenal istilah gereja universal dan gereja lokal. Gereja universal adalah setiap individu yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, Juruselamat dunia di manapun mereka berada tanpa membedakan denominasi gereja. The universal church is a company of people who have one Lord and who share together in one gift of salvation in Lord Jesus Christ (Titus 1:4; Jude 3) . . . Although the member of the church – members of different denomination . . . true believers are all joined together as one people (Galatian 3:28). . . The one universal church us represented by many local churches scattered throughout the world. (Rhodes, 2005, 8,10). 

Pada umumnya gereja universal mempunyai keyakinan/pengakuan bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang diinspirasikan oleh Roh Kudus dan Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat dunia. Worldview/keyakinan iman ini berfungsi sebagai petunjuk/kompas bahwa gereja berada dalam koridor yang seharusnya. Worldview ini membentuk jati diri kita dalam memandang dan menyelaraskan setiap kejadian, permasalahan dan struktur sesuai dengan keyakinan iman kita tersebut. Our worldview shapes, to a significant degree, the way we assess the events, issues, and structures of our civilization and our times (Walters, 1985, 4).

Christan de Jonge menjelaskan fungsi Alkitab dan pengakuan sebagai berikut:

...fungsi pengakuan antara lain untuk memberi pegangan dalam membaca Alkitab, supaya anggota-anggota gereja tidak tenggelam dalam Alkitab. Dengan demikian pengakuan mengandung secara implisit pemahaman tentang apa yang merupakan hal-hal pokok dalam Alkitab, suatu tafsiran tentang Alkitab, bahkan suatu ringkasan. Secara teoritis wibawa pengakuan bergantung dari Alkitab, sehingga pengakuan gereja dibawah Alkitab. Dalam pemahaman Reformasi, baik Lutheran maupun Calvinis, sesuai dengan azas (hanya Alkitab saja sebagai patokan iman). Alkitab adalah patokan yang menentukan ajaran, termasuk pengakuan (Jonge, 2009, 94).

Setiap minggu kita mengikrarkan Pengakuan Iman ekumenis dalam ibadah gerejawi, mengingatkan kita bahwa kita adalah gereja Tuhan Yesus di segala abad dan tempat (universal). Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel dan Pengakuan Iman Athanasius adalah tiga pengakuan ekumenis (the three great universal creeds of the church) yang diterima dan dimiliki oleh Gereja Tuhan Yesus Kristus di segala abad dan tempat (Tata Gereja GKI, Penjelasan Tentang Tata Dasar, Pasal 3, Pengakuan Iman). The great creeds proclaim truth that unites believers of all denominations (Cole, 1998 11). Jika gereja mempunyai konfesi masing-masing yang bersifat lokal (church confessions emphasize denominational distinctive) sebaiknya konfesi tersebut tidak diikrarkan di ibadah gerejawi sebagai pengganti pengakuan iman ekumenis ini. 

Jika konfesi masing-masing gereja yang bersifat lokal/denominasi ini diikrarkan menggantikan Pengakuan Iman Ekumenis akan terkesan gereja mendukung semangat sektarian dan primordialisme yang tidak sesuai dengan spirit gereja universal. Membangun tembok pemisah ini adalah sikap neo-fundamentalis yang cenderung untuk memecah keesaan gereja universal dan menimbulkan pertikaian di jemaat. . . neo-fundamentalism has tended toward divisiveness spliiting of churches, and fostering of ill will among genuine Christians (Enns, 1989, 620). Jika kita cermati, worldview Pengakuan Iman GKI ini berdasarkan metanaratif yang inklusif yang menunjukkan GKI adalah bagian dari Gereja universal. Sedangkan worldview yang eksklusif mempunyai potensi untuk memicu pertengkaran dan perpecahan. Any worldview based on exclusivist metanarative (a controlling story) has the potential to provoke hostility (McGrath, 2010, 71).

 

 

Gereja Reformasi – Pengakuan Iman Ekumenis

GKI adalah gereja Reformasi (Calvinis).  GKI, dalam ikatan dengan tradisi Reformasi menerima Katekismus Heidelberg (Tata Gereja GKI, Tata Dasar, Pengakuan Iman, Pasal 3.4). Gereja Reformasi bertumpu pada Biblical Worldview: penciptaan, kejatuhan, penebusan. Kateskimus Heidelberg adalah dokumen konfesi yang utama dari alur Calvinis abad XVI. Melalui katekismus Heildelberg, kita dapat belajar Pengakuan Iman Rasuli secara mendalam. Pertanyaan dan jawaban hari Minggu ke 9 sd. ke 22 menguraikan pasal-pasal dalam Pengakuan Iman Rasuli.

Berdasarkan Pengakuan Iman GKI terlihat bahwa GKI mengikuti Tradisi Reformasi (Calvinis) yang bertitik tolak dari Allah di dalam Kristus. Tradisi Reformasi menegaskan akan keberadaan Allah sebagai pencipta alam semesta. Tradisi Reformasi menegaskan pentingnya pernyataan atau wahyu Allah yaitu Alkitab yang adalah sumber kebenaran. 

The Reformed tradition shares a common faith and a common tradition with all those who believe that the God who created the heavens and the earth has visited his people in a decisive and definitive way in Jesus Christ. The Apostles’ Creed, The Nicene Creeds, and the Chalcedonian Definition are the primary theological statements of this universal Christian tradition (Leith, 1977, 23).

Tradisi Reformasi yang merupakan warisan Reformasi, masih relevan hingga kini. Masih digunakan sebagai pedoman pengajaran agama Kristen. Theology always builds upon the work of the past, and comprehensive statements of the faith are achieved only with the passing time (Leith, 1977, 94). Teologi Reformasi tidak menciptakan ajaran baru melainkan mempertegas ajaran Bapa-Bapa gereja. Calvin sendiri menulis Institutio yang menguraikan pemahaman iman Kristiani berdasarkan inti ajaran Alkitab yang tercemin dalam Pengakuan iman Rasuli. 

Tradisi Reformasi tidak menempatkan kredo dan konfesi sejajar atau lebih tinggi dari Alkitab. Kedudukan kredo dan konfesi bersifat subordinasi dan turunan dari Alkitab yang diinspirasikan Roh Kudus. Kredo dan konfesi yang otoritasnya dibawah Alkitab berisi ringkasan kebenaran Alkitab bukan menciptakan ajaran baru. 

That the church’s creed and confessions of faith do not stand as authorities over Scripture but rather serve as affirmations of Scripture’s authority for all of faith . . . Creeds themselves are authoritative only in that they are subordinate to and derivative from the only divine authority, namely, the inspired and innerent Word of God . . . creeds exist to summarily reflect the truth, not to advance new truths. (Parsons, 2012, 19)

Tidak ada teologi yang 100% sama seperti yang Alkitab ajarkan. Tetapi teologi Calvin yang paling dekat dengan Alkitab. Hal ini diungkapkan oleh Dr. Thomas van den End dalam buku Institutio yang diseleksi beliau sebagaimana tertulis dalam Kata Pengantar buku tersebut: “kami memilih Calvin karena menurut pendapat kami dialah tokoh sejarah teologi Barat yang teologinya paling dekat dengan Alkitab dan paling kurang dipengaruhi oleh berbagai aliran pemikiran Barat.” Institutio telah menjadi salah satu ajaran Protestan yang paling terkenal dan paling dihargai. Jadi tidak perlu lagi menyusun doktrin teologi baru berdasarkan konsep “man is the measure.” 

Ortodoksi harus dipertahankan. Pengakuan Iman GKI merupakan “core belief” yang tidak boleh diganggu gugat. Pdt Eka Darmaputera menegaskan demikian: “Kepedulian utama ortodoksi an sich adalah seperangkat prinsip kebenaran yang pasti, baku, dan resmi. Dan karena itu tidak boleh diganggu gugat. (Darmaputera, 2002, hal.  43)

Semangat teologi reformasi tidak bersifat individu tetapi komunal yang mengedepankan dialog. Teologi reformasi bersifat universal dalam mengungkapkan keyakinan iman kristiani. The Reformed theologian is never a lone individual doing his own thing but a member of the community participating in the dialogue of the community. Reformed theology is done for the universal, catholic church. It intends to be a statement of the Christian faith (Leith, 1977, 91). Dalam rangka inilah, gereja dalam ikatan tradisi Reformasi mengikrarkan Pengakuan Iman Ekumenis yang bersifat universal bukan konfesi gereja masing masing.

 

 

Katekismus Heidelberg – Pengakuan Iman Rasuli

Untuk mendalami inti ajaran Alkitab dapat dipelajari melalui Pengakuan Iman Rasuli yang terdapat dalam Ketekismus Heidelberg. Kredo ini berisi pokok pokok penting Alkitab sejak era Bapa Bapa gereja. . . . the Apostles’ Creed useful as convenient summary of the main points of the Christian faith (Cairns, 1981, 413). Kredo ini tidak perlu direvisi atau diganti karena berisi pokok-pokok ajaran yang tidak berubah sepanjang masa. Kredo ini mengikat setiap generasi sepanjang masa dan tempat. G.I. Williamson menjelaskan demikian : 

You see, a large part of this catechism (or creed) is simply a careful explanation of the Apostles’ Creed. The Apostles’ Creed is the earlist, or most ancient, creed of the church. And right here we see one of the most important things about a creed that is true to the Bible – it remains true down through the ages. It does not need to be changed again again, with each generation, because it deals with things that are unchanging. Thus, an accurate creed binds the generations together. It reminds us that the church of Jesus Christ is not confined to one age, just as it is not confined to any one place. In other words, there is a unity in what Christians have believed, right down through the ages. Just think of it: when we confess our faith today in the words of the Apostle’s Creed, we join with all those believers who have gone before us. Does this not demonstrate that there is indeed just one Lord and one true faith? (Williamson, 1994, 3).

Gereja sejati sepanjang abad dan tempat memiliki satu iman yang mempersatukan walaupun berbeda denominasi. Keyakinan iman jemaat Tuhan pada abad pertama juga diyakini oleh jemaat masa kini. Karya penyelamatan Yesus Kristus dikayu salib yang kita yakini juga diyakini jemaat Tuhan 2000 tahun yang lalu. Itulah sebabnya kita masih mengikrarkan pengakuan iman kita seturut Pengakuan Iman Rasuli. 

The true church – in all ages and places – has one faith that unites it, despite its outward divisions. What Christians believed in the first century is the same in all essential points as what Christians still believe today. And right here we see how important it is for the church to be creedal. The great salvation given by God – revealed to us in the Scripture – it is exactly the same as it was when it was first given nearly two thousand years ago. That is why Christian today still confess their faith in the word of the Apostle’s Creed. The great work of Jesus Christ is historical in nature and therefore immune to the least alteration (Williamson, 1994, 95).

Dalam kerangka gereja universal, kita dapat memahami jika Pdt Eka Darmaputera (Hodos, 2004, 29) menjelaskan mengapa GKI menerima Pengakuan Iman Ekumenis

“GKI dalam persekutuan dengan gereja Tuhan Yesus Kristus di segala abad dan tempat menerima Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel dan Pengakuan Iman Athanasius.”   bahwa GKI di dalam persekutuan dengan, artinya adalah bahwa GKI menyadari dirinya itu berada dalam hubungan dan persekutuan dengan gereja-gereja dari seluruh dunia, bahkan dari segala abad.

GKI bukan gereja yang ekslusif, yang berdiri sendiri, yang independen, yang tidak punya kaitan dengan gereja-gereja lain. Saudara-saudara Kristen kita dari mana pun, dari zaman apa pun adalah saudara-saudara kita. Juga mereka yang berbeda ajaran dengan kita! Ini seharusnya tercermin dalam sikap kita bergereja.

. . . bahwa kita menerima Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel dan Pengakuan Iman Athanasius. Tapi intinya yang mau dikatakan di sini, adalah bahwa GKI berusaha memelihara tradisi gereja yang sudah berabad-abad. GKI tidak mengabaikan masa lalu. Kita menghargai “akar” kita. 

Sepanjang masa core belief – keyakinan iman ini, menghadapi tantangan yang berat. Berbagai upaya dilakukan untuk menyingkirkan keyakinan iman ini. Sam Harris dalam bukunya The End of Faith: Religion, Terror and The Future of Reason menyebut core belief ini merupakan kepercayaan yang tidak masuk akal sehat atau dengan kata lain kepercayaan yang mengandung unsur yang tidak waras (gila). . . while religious people are not generally mad, their core belief absolutely are (Harris, 2005,72). Walaupun mendapat serangan demikian kita tak perlu goyah karena Roh Kudus-lah yang akan meneguhkan iman percaya kita terhadap kebenaran Firman Allah. Menghadapi tantangan yang demikian, masih sangat relevan setiap minggu, kita tetap mengikrarkan Pengakuan Iman Ekumenis.

 

 

Percaya Kepada Firman Tuhan

Saat ini kita menghadapi tantangan yang lebih berat ketimbang masa ketika Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel, Pengakuan Iman Athanasius dirumuskan. Kita jangan mudah terkecoh dengan istilah “sains” yang digembar gemborkan evolusionis. Penjelasan “sains” mengenai asal usul kehidupan harus diterima sebagai sebuah keyakinan iman ketimbang sebuah sains dalam arti yang sebenarnya. Jadi baik konsep penciptaan maupun maupun konsep evolusi harus diterima berdasarkan iman (faith). It should be remembered that the evolutionists “explananation” for the origin of life must be accepted by faith just as much as does the biblical account of creation (Coder dan Howe, 1966, 27). Mereka yang mengakui evolusi sebagai sebuah fakta, sebenarnya menerimanya sebagai sebuah keyakinan iman.  Therefore the person who holds to evolution as a fact is really accepting it on faith (Rusch, 1972, 38).

Intinya evolusionis menolak intervensi Allah. Evolusi adalah kerangka pola pikir. Evolusi adalah filsafat kehidupan. Evolution in an ultimate sense is more than a mechanisim. It’s a whole way of thinking, a philosophy of life that teaches that man by himself independent of God determines truth (Ham, 2001, 46). Evolusionis menolak keterbatasan manusia dalam memahami realita. This “all to limited” human mind should encounter severe difficulties when dealing withn anything beyond the world of everyday experience (McGrath, 2007, 30). JIka kita jujur, kita sebagai makhluk ciptaan Allah seharusnya mengakui keterbatasan kita.

Karena keterbatasan kita, banyak hal yang masih tidak kita pahami. Ada hasil pengamatan di alam ini yang tampaknya sulit direkonsiliasi dengan kisah penciptaan dalam Alkitab. Dan ada kemungkinan tidak akan dimengerti/terselami oleh manusia sepanjang masa. True, there is still many things that we do not understand. There are some observations which at present are difficult to reconcile with the Biblical account of creation It is quite possible that some of these problems will never be solved for us (Klotz, 1955, 520)

Sebaliknya terdapat pula kesulitan dalam teori evolusi. Jawaban terhadap asal usul kehidupan masih belum meyakinkan. Sulit diterima, kompleksitas kehidupan makhluk hidup itu terjadi secara kebetulan akibat unsur kecelakaan kosmis. Konsep evolusi belum terbukti kebenarannya. But there are great difficulties also with the theory of evolution. No really satisfactory explanation for the origin of life has been suggested. . . The very complexity of living things makes it difficult to believe that these have originated by chance. . . Certainly evolution is by no means proved . . . (Klotz, 1955, 520)

Jadi ada keterbatasan dari sisi sains itu sendiri dan keterbatasan manusia untuk memahami. After all, there is nothing wrong with admitting limits to our understanding partly arising from the limits of science itself, and partly from the limited human capacity to comprehend (McGrath, 2007, 30). Akan tragis sekali jika kita membiarkan teori sains dan filsafat sains mendikte teologi baik secara langsung ataupun tidak langsung. Biarkan Alkitab berbicara kepada kita apa adanya. Jangan kita memasukkan pikiran kita ke dalam Alkitab dan menginterpretasikan sesuai dengan pikiran kita. It would be tragic if we were to permit scientific theories, scientific philosophies to dictate our theology either explicitly or implicitly. Let us really let the Scriptures speak to us and not attempt to read into them many things which even liberal commentaries insist the authors never thought of (Zimmerman, 1972, 129).

Kita harus mengakui bahwa kita memiliki keterbatasan sebagai manusia yang telah jatuh dalam dosa. Kita harus mempunyai kerendahan hati untuk menerima dan percaya kepada kebenaran Alkitab. Bukan kebenaran Alkitab yang harus cocok dengan kebenaran saya, tetapi kebenaran yang saya yakini itu yang harus cocok dengan kebenaran Alkitab! (Darmaputera, 2005a, 32). Kita harus membuka diri untuk dikritisi Alkitab bukan sebaliknya. The text of God’s Word is regarded as something which the interpreter may judge rather than as something which judge him (Zimmerman, 1972, 79). Berdasarkan iman percaya kita, kita harus yakin bahwa inti pesan Alkitab  bersifat mutlak dan apriori selalu benar (Darmaputera, 2005b, 178). Kita dituntut untuk taat kepada Firman Tuhan yang berlaku sepanjang masa dan tempat . . . the Bible is the very World of God it demands our obedience regardless of when it was written (Coder dan Howe, 1966, 27).

Pdt Eka Darmaputera menekankan pentingnya komitmen terhadap ortodoksi. Jangan sampai gereja keluar dari ajaran ortodoksi. Tuhan membenci gereja yang “jorok” dalam hal ajaran. Gereja yang demikian mengimani spekulasi serta teori rekaan sendiri, bukan lagi kebenaran firman Tuhan…gejala yang mengerikan ini mengharu-biru gereja-gereja kita di Indonesia saat ini. Waspadalah!. (Darmaputera, 2002, 42). Our business is to present the Christian faith clothed in modern terms not to propagate modern thought clothed in Christian terms. Our business is to interpret and criticize modern thought by the gospel not vice versa (Packer, 1974, 136). Kita harus setia kepada Firman Tuhan yang tidak berubah di dunia yang terus berubah.

 

 

Daftar Kepustakaan

Asimov, Isaac. 1984. The “Threat” of Creationism di dalam Science and Creationism. Editor Ashley Montagu. Osford University Press, New York, USA.

BPMS GKI. 2009.  Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Indonesia. PT. Adhitya Andrebina Agung, Jakarta.

Barr, James. Fundamentalism. 1978. The Westminster Press. Philadelphia, USA.

Bernstein, Robert Root. 1984. On Defining A scientific Theory: Creationism Considered di dalam Science and Creationism. Editor Ashley Montagu. Osford University Press, New York, USA. 

Calvin, Yohanes. 2005. Institutio: Pengajaran Agama Kristen. Diseleksi oleh Th. van den End. PT BPK Gunung Mulia, Jakarta.

Cairns, Earle. 1981. Christianity Through The Centuries: A History of the Christian Church. Academie Books, Grand Rapids, Michigan, USA. 

Cole, C Donald. 1998. All You Need to Believe:  The Apostles” Creed (Foundation of the Faith). Moody Publisher, Chicago, USA.

Darmaputera. Eka. 2002. Dengarlah Yang Dikatakan Roh. BPK Gunung Mulia, Jakarta

Darmaputera, Eka. 2004. Identitas GKI di dalam Hodos, No.45 – 2004. Kelompok Kerja Pembinaan GKI Jabar, GKI Bekasi Timur, Jakarta.

Darmaputera. Eka. 2005a. Iman dan Tantangan Zaman. BPK Gunung Mulia, Jakarta

Darmaputera. Eka. 2005b. Sepuluh Perintah Allah - Musiumkan Saja? PT. Gloria Usaha Mulia, Yogyakarta. 

Dawkins, Richard. 2008. The God Delusion. Mariner Book, Boston, USA.

Eckman, James P. 2004. The Truth About Worldviews: A Biblical Understanding of Worldview Alternatives. Crossway Books, Illionis, USA.

de Jonge, Christian. 2009. Gereja Mencari Jawab: Kapita Selekta Sejarah Gereja. BPK Gunung Mulia, Jakarta.

Enns, Paul. 1989. The Moody Handbook of Theology. Moody Press, Chicago, USA.

Ham, Ken. 1987 The Lie: Evolution. Master Books, Creation-Life  Publisher, California, USA.

Ham, Ken. 2001. Biblical Authority and The Book of Genesis di dalam When Christians Roamed The Earth:Is the Bible-Believing Church Headed for Extinction? Master Books, USA.

Harris, Sam. 2005. The End of Faith: Religion, Terror and The Future of Reason. W.W. Norton Company, Inc, New York, USA.

Johnson, Wallace. 2001. The Death of Evolution. Tan Books and Publisher, Inc, Illionis, USA.

Jonge, Christian de. 2009. Gereja Mencari Jawab: Kapita Selekta Sejarah Gereja. PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta.

Keane, Gerard J. 1999 Creation Rediscovered: Evolution and The Importance of The Origin Debate. Tan Books and Publisher, INC, Illinois, USA.

Klotz, John W. 1970. Genes, Genesis and Evolution. Concordia Publishing House, Saint Louis, USA.

Leith, John H. 1977. An introduction to The Reformed Tradition: A Way of Being the Christian Community. John Knox Press, Atlanta, USA.

McGrath, Alister dan McGrath, Joanna Collicutt. 2007. The Dawkins Delusion?: Atheist Fundamentalism and the Denial of the Divine. IVP Books, USA.

McGrath, Alister. 2010. Why God Won’t Go Away: Is the New Atheism Running on Empty. Thomas Nelsen, Tennessee, USA. 

Morris, Henry. 2000. Biblical Creationism: What Each Book Teaches About Creation and The Flood. Master Books. Green Forest, USA.

Packer, J.I. 1974. Fundamentalism and The Word of God. WM.B Eerdmans Publishing Co, Grand Rapids, Michigan, USA.

Montagu, Ashley. 1984. Introduction di dalam Science and Creationism. Editor Ashley Montagu. Osford University Press, New York, USA.

Parsons, Burk. 2012. Whay Do We Have Creeds? : Basic of the Faith. P & R Publishing, New Jersey, USA.

Phillips, Richard. D. 2015. The Bible and Evolution di dalam God, Adam and You: Biblical Creation Defended and Applied. Editor: Ricahrd D. Phillips. P & R Publishing, New Jersey, USA.

Rusch, Wilbert H. 1972. Analysis of So-Called Evidences of Evolution di dalam Creation, Evolution and God’s Word. Editor Paul A. Zimmerman. Concordia Publishing House, St. Louis, USA.

Zimmerman, Paul A. 1972. The Word of God Today di dalam Creation, Evolution and God’s Word. Editor Paul A. Zimmerman. Concordia Publishing House, St. Louis, USA.

Ursinus, Zakharias dan Olevianus, Caspar. 2016. Katekismus Heidelberg: Pengajaran Agama Kristen. BPK Gunung Mulia, Jakarta.

Wlliamson, G.I. 1994. The Heidelberg Catechism: A Study Guide. P & R Publishing, New Jersey, USA.

Wolters, Albert M. 1985. Creation Regained: Biblical Basics For A Reformational Worldview. William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan, USA.