“Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku…" (Mat 28:18-20), itu adalah Amanat Agung yang Tuhan sabdakan kepada kita semua, sehingga kadang tercetus dalam pembicaraan kita, berapakah jiwa yang sudah kita bawa? Menginjili menjadi kewajiban kita, sebagai umat yang sudah Tuhan tebus. Dalam khotbah di gereja pun seringkali kita diingatkan bahwa Tuhan telah menggantikan kita yang berdosa dengan darah-Nya. Itu bukan hal yang fana, itu adalah harga yang mahal. Kita sebagai umat yang telah dikasihi-Nya, sudah sewajibnya mencurahkan kasih yang sudah Tuhan berikan ke sekeliling kita.

Suatu hari seorang anak sedang duduk diam di pinggir sebuah danau. Dengan iseng, dia melemparkan batu ke dalam danau tersebut. Terbentuk gelombang-gelombang air dari tempat jatuhnya batu itu. Dia mencoba melempar lagi dengan batu yang lebih kecil, gelombang nya pun menjadi kecil, tidak seperti batu yang besar. Dia bertanya pada ibunya, mengapa itu terjadi?

Sang ibu menjelaskan, bahwa itulah dampak dari batu terhadap air danau. Semakin besar batu yang dilemparkan, semakin besar guncangannya. Demikian pun dengan hidup kita, semakin besar hal baik ataupun jahat yang menghampiri kita, hidup kita pun bereaksi seperti riak-riak air yang tampak pada danau.

“Namun kemudian, danau itu pun kembali tenang. Batu yang dilempar tetap tersimpan di dalamnya,” lanjut sang ibu. “Tapi lihatlah, riak-riak gelombang itu, selalu membentuk lingkaran dari pusat jatuhnya batu ke sekitar. Gelombang itu tidak bergerak acak, atau dari luar ke dalam. Ia selalu bergerak dari dalam sumber jatuhnya batu, ke luar, ke sekelilingnya!”

Ilustrasi ini menggambarkan bagaimana kasih dalam diri kita seharusnya memancar ke sekeliling kita, dari dalam diri kita ke luar, ke lingkaran orang-orang terdekat, kemudian ke lingkaran berikutnya.

Apakah bisa seseorang yang tidak baik terhadap keluarganya, mengasihi orang di luar keluarganya? Bisa. Bukankah banyak orang berkata, lebih mudah mengasihi orang yang tidak kita kenal, daripada mengasihi orang yang sudah kita kenal. Apakah kita bisa menjadi saksi Kristus, memberitakan Injil kepada dunia luar, namun kelakuan kita kepada orang-orang terdekat adalah sebaliknya? Bisa. Apakah kita bisa melayani orang-orang yang papa, namun mengabaikan keluarga? Memperhatikan orang lain, memberikan makanan terhadap orang lain, namun tidak peduli apakah keluarganya punya makanan atau tidak? Bisa. Apakah kita bisa membicarakan tentang pelayanan kepada dunia luar, mengorbankan waktu dan tenaga kita untuk membantu orang lain, namun melakukan hal yang sebaliknya terhadap ayah, ibu, suami, istri, anak? Bisa. Apakah kita bisa mengatakan bahwa diri kita bertanggung jawab terhadap orang lain, namun tidak bertanggung jawab terhadap keluarga? Tentu bisa. Namun apakah itu yang dimaksud dengan menjadi saksi Kristus? Pelayan Tuhan? Dan terlebih lagi, pengemban amanat Agung?

Ini perlu menjadi bahan introspeksi bagi kita, yang menyebut diri kita sebagai anak-anak Allah. Apakah kita sudah memberitakan Injil, seperti riak-riak air dalam danau? Menyebar dari dalam diri kita ke lingkaran terdekat, kemudian ke luar, ke seluruh dunia.