“Sudah berapa orang yang kamu beritakan Injil bulan ini?”
“Berapa yang terhilang telah kucari dan kulepaskan yang terbelenggu?”
“Astaga, selama ini kamu cuma mengabarkan Injil ke satu orang aja, kok bisa seperti itu?”

Nah, paling deg-degan kalau ditanya kalimat-kalimat seperti di atas. Apalagi kalau tahun kalendar gereja sudah berganti ke bulan misi. Hehehe, lebih baik duduk manis di pinggiran, dan tidak ikut kegiatan-kegiatan gereja. Yang ada, bakal ditanyain pertanyaan seperti itu, atau disindir oleh pengurus, atau pembicara. Capek deh!

Ada kisah menarik disajikan di Alkitab tentang memberitakan Injil. Kisah Para Rasul, kitab yang dikenal menceritakan pekabaran Injil mula-mula, menarasikan bentuk pekabaran Injil yang dilakukan Filipus (pasal 8: 4–40). Karena keterbatasan tempat, tulisan ini akan mencuplik beberapa bagian saja:

“Dan Filipus pergi ke suatu kota di Samaria dan memberitakan Mesias kepada orang-orang di situ. 6 Ketika orang banyak itu mendengar pemberitaan Filipus dan melihat tanda-tanda yang diadakannya, mereka semua dengan bulat hati menerima apa yang diberitakannya itu … maka sangatlah besar sukacita dalam kota itu.” (Kis 8:5-6)

Namun kisah pekabaran Injil Filipus tidak berhenti kepada banyak orang, di suatu kota di Samaria. Setelah momen tersebut, malaikat Tuhan meminta dia pergi ke jalan yang sunyi, mengabarkan Injil untuk satu orang saja:

“Kemudian berkatalah seorang malaikat Tuhan kepada Filipus, katanya: ”Bangunlah dan berangkatlah ke sebelah selatan, menurut jalan yang turun dari Yerusalem ke Gaza.” Jalan itu jalan yang sunyi. 27 Lalu berangkatlah Filipus. Adalah seorang Etiopia, seorang sida-sida….29 Kata Filipus: ”Mengertikah tuan apa yang tuan baca itu?” 31 Jawabnya: ”Bagaimanakah aku dapat mengerti, kalau tidak ada yang membimbing aku?” (Kis 8:26-31)

Kisah Filipus ini menampilkan beberapa dimensi pekabaran Injil yang menarik untuk direfleksikan.

Yang pertama, kisah ini menyajikan dua momen kontras yang terjadi di pasal yang sama. Filipus diceritakan memberitakan Injil tidak hanya kepada banyak orang di suatu kota, namun juga kepada satu orang di jalan yang sunyi. Kita dapat melihat perbedaan nyata jumlah orang yang mendapatkan pemberitaan Injil dari Filipus dan perbedaan setting lokasi. Kedua momen ini ditampilkan secara sejajar; tidak dinyatakan bahwa ada satu momen yang lebih baik dari yang lain.

Selanjutnya, di awal kitab Kisah Para Rasul, disampaikan bahwa para murid akan “… menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (Kis 1:8). Melalui Filipus, penulis kitab Kisah Para Rasul mencatat pekabaran Injil bergerak tidak hanya di Yerusalem dan Yudea (yang merupakan daerah komunitas kekristenan), tetapi merambah keluar, yaitu ke Samaria dan ujung bumi. Samaria, yang pada waktu itu dianggap sebagai daerah luar pusat kekristenan, mendapat pemberitaan Injil melalui Filipus. Kesediaan Filipus untuk menemui satu orang sida-sida Etiopia di jalan yang sunyi mencanangkan pemberitaan Injil yang terus berlanjut “sampai ke ujung bumi”, karena bangsa Israel pada waktu itu menganggap Etiopia sebagai salah satu ujung bumi (Yesaya 11:11-12).

Yang ketiga, melalui kisah Filipus kita melihat bahwa pekabaran Injil menembus berbagai hambatan paradigma dan struktur lapisan sosial. Bangsa Israel pada waktu itu menganggap orang Samaria bukan umat pilihan (gentiles atau sang liyan). Tidak hanya itu, bangsa Samaria secara sosial juga dianggap berada di bawah mereka. Demikian juga dengan seorang sida-sida. Walaupun dalam kisah ini ia dituliskan sebagai seorang pejabat, dari kacamata sosial pada waktu itu, sida-sida dianggap sebagai kaum yang tersisihkan, karena dianggap tidak dapat masuk ke dalam jemaah Tuhan (Ulangan 23:1). Terjemahan bahasa Inggris dari sidasida (ESV) memakai kata eunuch yang artinya orang yang dikebiri. Hambatan-hambatan ini ditembus melalui kisah pekabaran Injil yang dilakukan Filipus.

Bagaimanakah aku dapat mengerti kalau tidak ada yang membimbing aku?

Dari beberapa hal yang dapat direfleksikan di atas, menarik memperhatikan perbedaan jumlah orang yang mendapatkan kabar baik dari Filipus.

Mungkin sekarang kita sedang berada di tempat, di mana banyak orang terlihat sebagai hasil nyata pekabaran Injil kita. Kita merasa senang bahwa jerih payah kita membuahkan hasil. Sukacita itu terkadang kita jadikan satu-satunya ukuran dalam menilai keberhasilan upaya pekabaran Injil. Namun melalui kisah Filipus, kita melihat dimensi lain. Selalu terbuka kemungkinan Tuhan menghantar kita ke jalan yang sunyi, untuk mengabarkan Injil kepada satu orang saja.

Bisa jadi kita sedang menjaga orang tua yang sedang lemah terbaring. Mungkin kita sedang mendampingi seorang anggota keluarga yang disfungsional, entah karena tekanan mental, atau karena kondisi disabilitas fisiknya. Mungkin juga kita sedang mendampingi satu rekan kerja atau satu rekan bisnis yang tersingkirkan karena berbagai peristiwa dalam hidupnya. Atau, bisa jadi juga kita sedang membimbing satu orang di sebuah komunitas iman, yang sedang berteriak seperti sida-sida tersebut: ”Bagaimanakah aku dapat mengerti, kalau tidak ada yang membimbing aku?”

Kisah Filipus memberikan perspektif, bahwa pekabaran Injil bukanlah melulu tentang jumlah; semakin banyak orang maka semakin baik. Kisah ini justru menunjukkan kisah kepekaan dan ketaatan terhadap dinamika hidup yang Tuhan tampilkan di hadapan kita. Saat ini, bisa jadi pekabaran Injil kita sedang berpindah dari suatu “kota” ke “jalan yang sunyi”, atau dari banyak orang ke satu orang, atau dari kaum mapan kepada mereka yang tersisihkan, atau sebaliknya.

Jika saat ini kita berada dalam sebuah fase kehidupan yang memberikan kesempatan mengabarkan Injil di “jalan yang sunyi” dan kepada satu orang saja, keadaan ini tidak untuk dibandingkan dengan mereka yang berada di “kota” dan mengabarkan Injil kepada banyak orang. Perjumpaan Filipus dengan satu orang sida-sida, di jalan yang sunyi, dan menjadi teman berbicara, ternyata dapat dilihat sebagai tanda pergerakan pekabaran Injil ke ujung bumi dan kepada mereka yang tersisihkan. 

"Bukan jumlah yang menjadi ukuran; tetapi kepekaan dan ketaatan meresponi karya Tuhan yang dinamis."

Nah, kalau ditanya sudah berapa banyak orang yang sudah kita kabarkan Injil, ya jangan buru-buru minder (karena tidak banyak) atau malahan besar kepala (karena sangat banyak). Dengan dibantu kisah Filipus, pertanyaan seperti itu justru dapat memantik momen refleksi, untuk melihat bagaimana langkahlangkah pekabaran Injil yang kita lakukan.

Tuhan terus menjalankan misi-Nya di dunia ini, dan kita diundang untuk berpartisipasi dalam karya-Nya. Berkaca dari kisah Filipus, pekabaran Injil bukanlah melulu soal kepada banyak orang atau kepada satu orang. Bukan jumlah yang menjadi ukuran; tetapi kepekaan dan ketaatan meresponi karya Tuhan yang dinamis, yang dihadirkan dalam ragam fase kehidupan kita. 

Rujukan:

John T. Squires, “Acts”, dalam James D. G. Dunn, Eerdmans Commentary on the Bible, William B Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan, 2003