Dalam tulisan terdahulu tentang “Kepemimpinan dalam Kubangan Dosa”, dapat dilihat betapa sulitnya kita melepaskan diri dari dosa yang disebabkan oleh ego yang tertanam kuat di dalam diri kita. Sulit bagi kita untuk menanggalkan ego kita, untuk dapat hidup selaras dengan kehendak Tuhan. Lebih mudah bagi kita untuk menaklukkan orang lain, dibandingkan dengan menaklukkan diri kita sendiri.

Akar dari semua ini adalah dosa asal yang diwariskan oleh Adam. “Being”/seluruh eksistensi keberadaan kita sudah dicemari oleh dosa asal. Sering kali kita tidak menyadari, bahwa akar dari permasalahan ego yang ada dalam diri kita bermula dari dosa ini. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika secara eksplisit atau implisit, kita berupaya menolak konsep dosa, sebagaimana yang dikemukakan oleh Pdt. Daniel Lucas Lukito: “dunia kekinian yang secara diam-diam atau terang-terangan menolak konsep dosa yang biblikal justru menjadi akar dari segala persoalan yang meluas dalam lingkup mental, moral dan sosial.”

Jika kita cermati, bukan kalangan sekuler saja yang menolak konsep dosa, tetapi ironisnya di kalangan yang mengaku Kristen, baik itu pendeta, pastor, ataupun sarjana teologi, juga upaya menyingkirkan konsep dosa, terutama dosa asal (original sin). Kondisi ini juga diungkapkan oleh Jerry Bridges, ”The whole idea of sin has virtually disappeared from our culture . . . Unfortunately, the idea of sin is all about but disappearing from many churches as well” (Bridges, 2007, 18).

Brian D. McLaren menolak kejatuhan manusia (fall), yang berarti juga menolak dosa asal (McLaren, 2010, 43). John Shelby Spong menolak adanya dosa asal. Bagi Spong, kekristenan era baru harus menyingkirkan konsep dosa asal ini: original sin is out (Spong, 2001, 149). Robin R. Meyers tidak mempercayai adanya original sin. Kisah kejatuhan manusia tidak lebih dari sebuah mitos (Meyers, 2009, 100). Richard Rohr juga menggugat original sin (Rohr, 2019, 140). Jadi jelas sekali, mereka menolak Biblical Christian worldview (creation, fall, redemption, consummation).

Yang terjadi bukannya gereja menggarami dunia, melainkan dunia sekulerlah yang menggarami gereja.

Dampak Dosa

Penolakan Biblical Christian worldview menunjukkan, bahwa mereka sangat berorientasi pada diri sendiri (human centered) sebagai penentu kebenaran. Bagi mereka, tidak ada kebenaran mutlak. Semuanya serba relatif. Kebenaran merupakan manifestasi konstruksi sosial yang terus berubah, sesuai dengan perkembangan zaman. Ironisnya, dalam prakteknya sering kali penganut paham relatif ini justru memutlakkan dirinya sendiri, dengan prinsip intolerance of the tolerance, sebuah bentuk kecongkakan atau keangkuhan yang mengabsolutkan dirinya.

Orang yang telah tercemar oleh dosa merasa otoritas dan kekuasaannya tak terbatas. Mereka akan mendobrak setiap halangan yang dijumpai dengan segenap kekuatan, bahkan jika perlu dengan kekerasan. Nevertheless, people lost in sin imagine that their authority and power are unlimited, when they encounter limits they seek to overcome them. When their authority is challenged, they may seek to compensate with violent power (Frame, Vol.1, 226). Mereka yang seharusnya melayani dan membangun jemaat yang dipercayakan oleh Tuhan, justru sebaliknya menyalahgunakan kepercayaan tersebut dengan mempertontonkan kekuasaan dan keangkuhan mereka. . . their main goal was to feed their own pride, not to build up the people of God (Frame, 2016, 323).

Ya, implikasi dosa telah merusak seluruh keberadaan kita. Dosa merusak pola pikir kita, tindakan kita, bahkan juga mengikis hati nurani kita. Jadi seluruh aspek dalam diri kita sudah tercemar dan dirusak oleh dosa (wholly sinful) . . . Scripture teaches that we are totally depraved, and that includes our intellectual as well as our volitional and emotional aspects (Frame, 2016, 289). Akibatnya kita semakin hari semakin mengandalkan akal budi kita yang sudah tercemar dosa, ketimbang mengandalkan firman Tuhan. That is the nature of sin, to trust one’s own reason against God’s word (Frame, 2016, 174).

Di gereja yang tidak lagi menghidupi biblical Christian worldview, maka yang akan muncul adalah kebobrokan perbuatan daging sebagai akibat natur dosa (sinful nature), kecenderungan internal dalam diri kita untuk berbuat dosa. Akhirnya sulit membedakan “perbuatan daging” di dalam gereja dan di dunia sekuler. Yang terjadi bukannya gereja menggarami dunia, melainkan dunia sekulerlah yang menggarami gereja.

Segala upaya yang Paulus lakukan untuk hidup kudus bukan bertujuan untuk memperoleh keselamatan, karena keselamatan adalah anugerah Tuhan, tanpa memperhitungkan segala perbuat.

Menaklukkan Diri Kita Sendiri

Paulus adalah contoh pemimpin yang menaklukkan dirinya sendiri. Dalam Roma 7:18-21, kita dapat melihat bagaimana Paulus yang menyadari adanya natur dosa dalam dirinya, dan bergumul untuk menaklukkan kecenderungan berdosa tersebut.

Sebab, aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik. Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang aku tidak kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat. Jadi jika aku berbuat apa yang tidak aku kehendaki, maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam aku. Demikianlah aku dapati hukum ini: jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku.

Karena menyadari dosa yang selalu menyandera dirinya, maka Paulus berupaya menaklukkan diri dalam segala aspek: baik itu hati, pola pikir maupun perilaku. Tidak mudah menaklukkan ego kita, tetapi itulah yang dilakukan Paulus sepanjang ia melayani Tuhan. Paulus mengibaratkan kehidupan orang Kristen sebagai atlet-atlet yang berjuang untuk memperoleh trophy kemenangan. Untuk itu kita harus berjuang melatih diri dalam segala hal, dengan menaklukkan segala hambatan, di antaranya: hawa nafsu, keangkuhan, kebencian, iri hati, dll. Harus ada self-discipline untuk bersikap pantang menyerah dalam menguasai diri sendiri.

Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal. Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi. Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul. Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak (1 korintus 9:25-27).

Dalam versi The Reformation Study Bible dikatakan, But I discipline my body and ‘keep it under control,’ lest after preaching to others “I myself should be” disqualified. Sedangkan dalam versi NRSV dikatakan, but I punish my body and enslave it, so that after proclaiming to others I myself should not be disqualified.

Dapat pula dipahami jika Paulus membandingkan kehidupan kekristenan bagaikan sebuah peperangan. Peperangan untuk taat kepada Tuhan dan keluar sebagai pemenang. Paul compares the Christian life to warfare (1 Cor ,9:24- 27) … In seeking to be more obedient to God, we are called by Scripture to determined efforts, to struggle against the enemies of God (Frame, 2014, 194). Dalam peperangan rohani tersebut, Paulus melatih tubuhnya: I discipline my body and keep it under control, dengan “self-discipline” dan “self-control” yang sangat keras. Ia mengalahkan keinginan kedagingannya, menundukkan egonya, dengan melakukan apa yang seharusnya dilakukan, supaya setelah menyampaikan firman, ia tidak ditolak (disqualified).

Segala upaya yang Paulus lakukan untuk hidup kudus bukan bertujuan untuk memperoleh keselamatan, karena keselamatan adalah anugerah Tuhan, tanpa memperhitungkan segala perbuatan baik kita. Kita dibenarkan oleh iman (justified by faith) yang merupakan anugerah dari Tuhan semata. Tetapi kita jangan lupa, justification by faith itu berjalan seiring dengan kekudusan (sanctification). Dalam justification by faith, kita bersifat pasif. Tidak ada peran aktif dari kita sama sekali untuk memperolah keselamatan. Tetapi berusaha hidup kudus (sanctification) di mata Tuhan adalah tanggung jawab kita. Kita dituntut untuk berperan aktif. For in justification we are indeed passive. There is no condition excepts the faith receives the divine gift. But as an account of sanctification, this would not be biblical teaching, for Scripture tells us to actively pursue holiness in our live… There is an element of human responsibility in sanctification, as well as divine sovereignty (Frame, 2014, 212)

Menaklukkan diri sendiri juga berarti berkata “tidak” kepada dosa.

I punish my body and enslave it, menunjukkan bagaimana kerasnya upaya Paulus untuk tidak membiarkan dirinya takluk kepada egonya. Ia tunduk seutuhnya, seperti seorang budak yang tunduk kepada tuannya. Tunduk kepada Kristus yang ia layani. Paulus adalah contoh pelayan Tuhan yang berupaya menaklukkan dirinya untuk taat kepada Tuhan, dengan melakukan segala perintah-Nya tanpa membantah. Demikian pula seharusnya segenap eksistensi keberadaan kita takluk kepada Tuhan, bagaikan seorang budak yang tidak mempunyai hak atas dirinya.

Menaklukkan diri sendiri juga berarti berkata “tidak” kepada dosa. Pertobatan yang sungguh-sungguh meliputi perubahan seluruh keberadaan “being” kita, sehingga menghasilkan pembaharuan hidup dalam segala aspek. Dengan demikian kita menunjukkan, bahwa kita mengasihi Tuhan dengan segenap hati kita. Repentance turns us away from that corruption, renewing in us the ability to say no to sin . . . Repentance and faith are movement of the whole soul, the whole heart, and the whole body. One who believes in God loves him with all his heart, soul, and might (Deut.6:5; cf. Mark 12:30) (Frame, 2014, 165).

Memang tidak mudah untuk menaklukkan dan menguasai diri kita. Selain perlu upaya keras, kita juga perlu meminta pertolongan Roh Kudus. Jangan sampai kita sudah sedemikian sibuk melayani Tuhan, lalu ketika Tuhan datang kembali untuk menghakimi orang hidup dan mati, kita ditolak (disqualified) karena selama ini tidak ada upaya yang sungguh-sungguh untuk menaklukkan dan menguasai diri kita sepenuhnya, untuk taat pada kehendak Tuhan.