Penulis: Tjhia Yen Nie.  Editor: David Tobing

 

Menonton The  Lion King mengingatkan saat anak saya masih batita.  Kesulitan saya membawa dia ke salon untuk potong rambut membuat saya berkreasi mengisahkan singa kecil yang mau memangkas rambutnya. Boneka Simba dan Mufasa, ayahnya, sempat menjadi mainannya sehari-hari. Dan sampai beberapa waktu, saya pun menikmati  keseriusan mimiknya serta tawanya yang renyah setiap saya mengisahkannya.

 Kisah Simba adalah kisah seorang anak raja.  Singa muda yang nakal dan kadang menyombongkan diri, mengingatkan saya pada diri kita.  Namun sang Ayah, yang mencintainya dengan tulus, membelanya dengan gagah perkasa, menunjukkan itulah kasih sejati. Ayah yang rela mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan anaknya.

Anak raja pada hakekatnya adalah anak raja.  Walaupun dia melarikan diri dari wilayahnya, Pride Land, karena kebodohan dan kenaifannya, namun air yang jernih tidak dapat membohongi dirinya,  bahwa ayahnya, sang Raja, tercermin di dalam dirinya. “Ayahmu berada di dalam dirimu, Nak,” kata Rafiki, tetua Pride Land. 

Melihat Simba bermain dan bernyanyi hakuna matata bersama Pumbaa dan Timon, menikmati dunia yang indah dan rindang, tidak mau memikirkan hal lain.  Bukankah diri kita pun kadang tak beda jauh dengan Simba muda? Kebodohan, kenaifan, kesombongan, tak jarang menghempas diri kita, lalu kita pun lari dari kenyataan bahwa kita adalah anak Sang Raja.

Menonton film ini menggugah secercah haru dalam diri.  Memandang langit yang penuh kerlip bintang. Hidup kita tidak pernah sendiri. Pandanglah air yang jernih, diri siapakah yang dipantulkannya? Apakah Dia, Sang Raja, yang ada dalam diri kita, tercermin dalam tindakan kita?

Marilah kita berjuang seperti Simba yang kembali ke wilayah teritorinya, mempertahankan keharmonisan, melayani seperti Sang Ayah yang sudah melakukannya terlebih dahulu.