“The Art of Hospitality”, itulah tema pembinaan aktivis KDM (Komisi Dewasa Muda) GKI Gading Serpong, yang diadakan pada Minggu, 18 Mei 2025, di lantai 5 SMAK Penabur Gading Serpong, Jalan Kelapa Gading Barat, Pakulonan Barat, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang, Banten. Pembinaan kali ini, yang merupakan bagian dari pembinaan Elevated Ministry, diikuti oleh 13 orang, ditujukan bagi yang mereka yang baru akan memulai maupun yang sudah pernah melayani sebagai penerima tamu (usher).
Pembinaan dimulai pukul 10.00 WIB. Daniel Hamonangan, Koordinator Pengurus Persekutuan dan Ibadah KDM, membukanya dengan kata sambutan dan doa pembuka, dilanjutkan dengan firman Tuhan yang disampaikan oleh Reni Yuliastuti, pembina KDM. Pembawa firman mengawali dengan satu pertanyaan sederhana, yaitu “Apa sih yang kalian harapkan dari resepsionis, ketika menginap di suatu hotel?” Lalu, salah satu aktivis menjawabnya, “Senyum lebar dan ramah!”
Dijelaskan bagaimana usher berperan penting pada ibadah-ibadah yang dilaksanakan. Pembinaan ini dilandasi beberapa bagian firman Tuhan, salah satunya dari Mazmur 84:11, “Sebab lebih baik satu hari di pelataran-Mu dari pada seribu hari di tempat lain; lebih baik berada di ambang pintu Rumah Allahku daripada berdiam di kemah-kemah orang fasik.” Dalam ayat ini, pemazmur menyatakan betapa istimewa jika dirinya diberi kesempatan untuk berdiri di ambang pintu rumah Allah (sebagai penjaga pintu), dibandingkan tinggal di kediaman orang fasik. Pada 2Raja-raja 22:4 juga disebutkan, usher bertugas menerima persembahan. Selain itu, di dalam kisah Perjanjian Baru, beberapa kali juga disebutkan peran para murid dalam mengatur ibadah. Selain menyambut jemaat yang hadir, usher juga berperan untuk mengatur agar ibadah berjalan dengan lancar.
Sebagai akhir dari refleksi, pembicara mengingatkan, sebagai usher, kita adalah representasi Allah. Karena itu, lakukanlah seperti yang dikatakan pada Kolose 3:23 “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”
Selanjutnya sesi dilanjutkan dengan sharing dari Justine Elisse Saputra dan Bartolomeus Bima Santoso, aktivis serta pengurus KDM. Elisse mengatakan, pembinaan kali ini didasari kata hospitality, yang memiliki arti sikap atau tindakan menerima dan melayani orang lain dengan kehangatan, keramahan, dan tanpa pamrih, baik terhadap orang yang dikenal maupun orang asing. Sikap ini juga ditunjukkan Yesus ketika memberi makan 5000 orang. Dia melihat kebutuhan yang tak terucap, lalu bertindak. Sikap ini juga nampak ketika Yesus menyambut anak-anak. Meskipun acapkali dianggap tidak penting, Dia tetap menyambut mereka dengan hangat. Kemudian yang terakhir, pada kasus Yesus dan perempuan Samaria, Dia menunjukkan kepekaan-Nya terhadap kebutuhan emosional dan spiritual orang lain.
Ada lima hal yang sering kali menjadi tantangan hospitality, yaitu rasa canggung atau takut berinteraksi; kondisi emosi pribadi yang tidak stabil; tantangan fisik dan disiplin waktu; menghadapi tantangan eksternal, seperti ketika bertemu jemaat yang tidak membalas sambutannya dengan ramah; serta kurangnya pembinaan atau arahan yang jelas untuk melayani sebagai usher. Elisse menjelaskan betapa pentingnya kepercayaan diri ketika menyambut jemaat yang hadir. Kepercayaan diri dapat dibangun dengan membuang pikiran bahwa kita tidak mampu, mengetahui keunggulan diri sendiri, dan mendapatkan dukungan dari komunitas.
Sharing dilanjutkan oleh Bima. Ia mengajak peserta menonton sebuah video singkat yang berjudul “For the Birds”, produksi studio animasi Pixar. Video ini menceritakan, ketika sekelompok burung kecil yang tidak menganggap penting dan berusaha menjatuhkan seekor burung besar, yang sebenarnya justru ingin membantu mereka dengan tulus, burung-burung tersebut pun terkena imbasnya. Hal yang sama dapat terjadi, jika kita menutup diri dan tidak mau menerima pertolongan dari orang lain yang Tuhan pakai, yang bersedia membantu kita secara tulus.
Bima juga memaparkan enam karakter usher. Pertama, sebagai usher, kita perlu bersikap ramah, agar orang/jemaat yang hadir merasa diterima. Kedua, ketika jemaat yang kita sambut tidak membalas sambutan sesuai ekspektasi, kita perlu belajar menanggapinya dengan sabar, karena setiap orang memiliki karakter yang berbeda. Ketiga, peka ketika ada jemaat yang membutuhkan bantuan kita. Keempat, penampilan yang rapi dan sopan menunjukkan kesiapan kita melayani di mata jemaat. Kelima, kita juga perlu disiplin dan bertanggung jawab, agar dapat memberikan contoh yang baik kepada jemaat. Yang terakhir adalah kerendahan hati, supaya kita dapat menyambut umat-Nya dengan penuh kasih.
Di akhir sesi, Elisse mengingatkan dengan sebuah ayat dari Matius 25:40, “Raja itu akan menjawab mereka: Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Segala sesuatu yang telah kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Setelah itu, aktivis diajak berdiskusi dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 3–4 orang. Ada tiga pertanyaan yang didiskusikan, yaitu: Pertama, pernahkah kamu merasa tidak disambut di suatu tempat? Apa yang kamu rasakan? Kedua, apa yang bisa kita lakukan agar orang baru merasa “di rumah” saat datang ke gereja? Ketiga, apa yang paling menantang dari pelayanan usher bagi generasi muda?
Setiap kelompok diajak menyampaikan hasil diskusinya. Kesimpulannya, sering kali orang merasa sedih ketika kehadirannya tidak disambut baik. Namun, sebagai penyambut jemaat, kita dapat menunjukkan kepedulian kita, seperti dengan mengingat namanya dan menanyakan kabarnya saat bertemu kembali. Melayani sebagai usher bagi generasi muda akan terasa lebih sulit, karena dengan jumlah jemaat yang lebih sedikit, kita diharapkan lebih cepat mengenal masing-masing jemaat secara lebih mendalam. Usai itu, Daniel memungkasnya dengan doa penutup dan foto bersama.
"A smile is the first sermon people hear—be the usher who speaks God's love before words even come out." (Justine Elisse Saputra)