[ Penulis: Benedictus Leonardus. Editor: David Tobing ]

Istilah budaya sudah tidak asing bagi kita. Setiap daerah mempunyai budaya tersendiri yang berlaku dalam daerah tersebut. Budaya biasanya diwariskan turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Budaya mempunyai peran yang penting dalam kehidupan kita karena budaya sangat mempengaruhi pola pikir, tindakan kita. Regardless of level or location, culture is important because it can powerfully influence human behavior . . .(Kotler, 2007, 148).

Michael J. Marquardt mendefinisikan budaya: “culture as the sum of attitude, customs and beliefs that distinguish one group of people from another.” (Marquardt, 2002, 27). Budaya adalah keseluruhan sikap, kebiasaan dan keyakinan kelompok tertentu yang berbeda dengan kelompok lainnya. Menurut John Kotter, Culture refers to norm of behavior and shared values among a group of people (Kotter, 2007 148). Budaya mengacu kepada norma berprilaku dan nilai bersama yang dianut kelompok tertentu. Cummning dan Worley menyimpulkan: “as the pattern of artifacts, norms, values, and basic assumptions about how to solve problems that works well enough to be taught to others.” (Cummings & Worley, 2009, 521). Budaya adalah pola aktivitas (karya cipta), norma, tata nilai, dan asumsi dasar dalam keberhasilan menyelesaikan masalah dan dapat diajarkan kepada orang lain.

Sedangkan Pdt. Andar Ismail dalam buku Selamat Bergereja mendefinisikan: “budaya adalah keseluruhan pedoman nilai-nilai hidup dan tingkah laku sebagai buah dari pandangan hidup yang dasariah mengenai berbagai aspek, seperti pandangan tentang arti kerja, waktu keluarga, harta, lingkungan hidup, kelahiran, kehidupan, pernikahan, kematian, dan lain sebagainya” (Ismail, 2009, 45).

Budaya merupakan pola hidup menyeluruh yang kompleks dan khas yang dimanifestasikan melalui gagasan, sikap, kebiasaan, tindakan dan dasar keyakinan dalam kelompok tertentu. Sedangkan budaya organisasi terbentuk melalui sikap, keyakinan, visi, nilai-nilai, kebiasaan dan ritual organisasi yang dianut anggota dalam sebuah organisasi. Budaya lebih kompleks, abstrak, rumit dan jauh lebih luas ketimbang sebuah slogan. Culture reflects the more or less shared assumptions about what is important, how things are done, and how people should behave in organizations (Cummings & Worley, 2009, 521). Budaya menunjukkan apa yang penting, bagaimana sebuah kegiatan dilaksanakan, bagaimana seharusnya berperilaku.

Sebagaimana organisasi yang mempunyai budaya tersendiri yang berlaku dalam organisasi tersebut. Gereja pun mempunyai budaya tersendiri. Bahkan dalam lingkup sinode yang sama, gereja yang satu memiliki budaya yang berbeda dengan gereja yang lain. Masing-masing gereja mempunyai ciri khas tertentu. Bagaimana kita menilai apakah budaya gereja kita sudah selaras dengan Firman Tuhan? Jika tidak, apa dasarnya jika kita ingin melakukan pembaharuan budaya dalam gereja?


Pengaruh Budaya Dalam Gereja

Pola pandang kita terhadap dunia ini sangat dipengaruhi budaya. Budaya terdiri dari banyak unsur yang membentuk kita sebagaimana apa adanya kita. Budaya mempengaruhi kita dalam mengungkapkan dan menyatakan gagasan, tindakan, kasih, pesan, kegembiraan dan kesedihan. Budaya yang telah membentuk kehidupan kita ini akan kita wariskan pada generasi mendatang.

Culture influences the way we view the world and the use we make of it. It shapes our outlook and affections, facilitates our work, conveys our understanding and conviction, variously delights and edifies or troubles and dismays us, and constitutes part of the legacy we will leave for future generations. (Moore, 2011, 11)

Setiap budaya dalam ruang lingkupnya memiliki narasi yang tidak selaras dengan Alkitab. Sebagai komunitas Kristen, sering kali kehidupan kita terhisap dalam budaya yang tidak selaras dengan Firman Tuhan. Tanpa kita sadari sering kita mengintegrasikan filosofi asing ke dalam kekristenan ketimbang mengijinkan Alkitab mentransformasi budaya tersebut. Each culture tells and lives out a world-story that is to some degree incompatible with the gospel . . . One can end up importing alien philosophies into Christianity rather than allowing the gospel to transform the culture (Gohen and Bartholomew, 7,29).

Kita diikat dan dibelenggu oleh budaya baik dalam bentuk tradisi atau peraturan yang tersurat maupun tersirat. Bahkan seringkali tradisi dan peraturan yang tak tertulis ini lebih berkuasa dibandingkan dengan yang tersurat.

We have all experienced the power of cultures – the rules of an organization, often unwritten, that encourage people to behave in a certain way. Some of these rules are explicit, embedded in statements of procedure and rules. But so much of how an organization behave is unwriten . . . the unwritten rules are more powerful than any procedure manual (Jackson, 1997, 64).

Menyatunya budaya dalam diri kita, sering membuat kita lebih menghargai tradisi atau peraturan gereja. Bahkan kita tidak mau melepaskan ikatan dengan tradisi dan peraturan gereja tersebut walaupun budaya tersebut tidak selaras dengan Alkitab. Kita berpendapat budaya adalah “kebenaran” yang harus kita junjung. Sehingga kita lebih memilih mempertahankannya budaya tersebut ketimbang melakukan perubahan atau memperbaharuinya.

Banyak orang Kristen menghargai terlalu mahal tradisi dan peraturan gerejanya, lebih mahal dari segala-galanya, selalu terlalu mahal untuk diubah dan diperbarui, apa pun alasannya. Tradisi dan peraturan ini juga sering dihargai terlalu mahal ketimbang kemerdekaan sesama manusia. Maka menjadi Kristen bukan menjadi orang yang bebas dan membebaskan, tetapi malah menjadi terikat dan mengikat pada lebih banyak peraturan (Wijaya, 2008, 10).

Aspek kepemimpinan pun juga tidak terlepas dari budaya duniawi ini. Pdt. Eka Darmaputera mengkritisi perilaku pemimpin yang berorientasi kepada kekuasaan, wewenang, kekuatan yang melahirkan alah-allah kecil, tuhan-tuhan kecil, raja-raja kecil dan sultan-sultan kecil. Yang memilukan dan memalukan, perilaku pemimpin yang tercela ini juga menjamur di gereja-gereja. Pemimpin yang demikian hanya punya hak, kuasa dan ambisi tetapi tanpa kewajiban, kasih sayang dan tanggung jawab serta keinginan suci.

Sikap pemimpin yang tercela ini telah menjadi budaya yang menjerat pemimpin jemaat. Pemimpin jemaat terperangkap dengan sikap, karakter, kebiasaan, kecenderungan konkret yang tercela seperti egosentris, egois, tinggi hati, irihati, pikiran sempit, kompartementalisasi. Pdt. Davidy mengkritisi tidak adanya upaya serius untuk menggugat untuk mengubah budaya yang telah menyatu ini dalam diri pemimpin kepada pembaruan hidup berlandaskan Firman Tuhan.

Apa yang kita sebut ‘mengejutkan’ adalah bahwa semua kelemahan di atas (egosentris, egois, tinggi hati, irihati), sudah bertahun-tahun hadir dalam diri dan komunitas kita tanpa upaya yang berarti dari kita untuk mengatasinya, mengubahnya, membaruinya. Juga orang-orang yang terhitung saleh, rajin melayani, rajin dalam ritual dan merasa ‘dekat dengan Tuhan’ membiarkan kecenderungan ini menguasai dirinya berlarut-larut. Sepertinya tidak ada keinginan untuk pembaruan hidup sebagaimana yang diamanatkan oleh Firman Tuhan. Apa yang lebih mengejutkan lagi ialah kecenderungan-kecenderungan ini hadir dalam diri para aktivis atau pemimpin jemaat, bahkan tanpa ada upaya serius untuk “menggugat” dan menggugah serta mengubah kepada sebuah pembaruan hidup. Semua ini sudah dianggap sesuatu yang lazim dan wajar atas pemeo “namanya juga manusia!”

Ironis, budaya yang tidak selaras dengan Alkitab ini, justru lebih berkuasa di gereja. Budaya ini telah menyatu dalam diri pemimpin dan menjadi roh/spirit organisasi gereja. Semakin kita terlibat dalam pelayanan gereja, tanpa sadar kita semakin dibentuk oleh roh budaya organisasi sedemikian rupa, sehingga semakin jauh dari serupa dengan Kristus. Kita membiarkan budaya dunia mentransformasi gereja ketimbang memberikan ruang kepada Kristus mentransformasi budaya gereja. Dan celakanya, budaya yang demikian diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya sehingga semakin sulit untuk diperbaharui.


Keyakinan Iman sebagai Fondasi Pembaharuan

Sebagai seorang pengikut Kristus mau tidak mau kita harus bersentuhan dengan berbagai budaya. Dalam melaksanakan misi kerajaan Allah di dalam dunia ini, kita perlu menguji budaya yang disekeliling kita tersebut apakah budaya tersebut memuliakan Allah sebagai Pencipta dan Tuhan.

Christians must pay careful attention to the culture that confronts them, the culture they create, and the culture they embrace as they carry out their kingdom mission in the world, always seeking forms and expressions of culture that honor God as Creator and Lord and support and further his purposes among humankind (Moore, 2011, 104)

Ketika kita menyadari budaya yang tidak selaras dengan Firman Tuhan sering kita takut untuk melakukan perubahan karena budaya tesebut merupakan warisan pendahulu kita. Dan seandainya budaya tersebut akan diperbaharui, apa yang boleh diubah atau diperbaharui? Untuk melakukan perubahan kita harus memahami terlebih dahulu apa yang disebut ideologi inti (core ideology) dan apa yang disebut kompetensi inti (core competence). Collins dan Porras membedakan demikian, core competence is a strategic concept that captures your organization’s capabilities – what you are particularly good at – where as core ideology captures what you stand for and why you exist (Collins and Porras, 2007, 231). Kompetensi inti adalah konsep strategis yg berfokus pada keunggulan kompetitif yang dimiliki organisasi. Sedangkan ideologi inti adalah menjelaskan/menjawab alasan keberadaan (eksistensi) kita.

Sebagai jemaat GKI kita mempunyai identitas yang membedakan kita dengan jemaat gereja lain. Sebagai jemaat GKI, core ideology terletak pada Identitas GKI yaitu Pengakuan Iman GKI yang tertera pada Tata Gereja GKI, Tata Dasar, Pasal 3. Pengakuan Iman (statement of faith) GKI ini merupakan kayakinan iman (belief) yang membedakan GKI dengan gereja-gereja lain. Keyakinan iman ini menjelaskan siapa itu GKI dan apa yang diyakini/penting bagi GKI.

Pasal 3 terutama butir 1, 2 dan 3 adalah “core” yang menyatakan siapa dan mengapa GKI eksis. Pasal 3 ini merupakan identitas yang non-negotiable, yang tidak dapat diubah dengan alasan apapun sepanjang GKI adalah Gereja Kristen Indonesia. Dalam mengutarakan gagasan dan tindakan, jemaat dapat berpegang pada nilai-nilai yang tertera dalam core ideology. Sedangkan yang bukan “core ideology” terbuka untuk diubah setiap saat disesuaikan dengan konteks dimana kita berada.

Once you’re clear about the core ideology, you should feel free to change absolutely anything that is not part of the core ideology. From then on, anytime someone says something shouldn’t change because “It’s part of our culture” or “We’ve always done it that way” or any of the other excuses for resisting change, remind them of this simple rule: If it’s not core, it’s up for change. Or, the strong version of this rule: If it’s not core, change it! (Collins and Porras, 2007, 231).

Sepanjang budaya, tradisi, peraturan tidak bertentangan dengan Pengakuan Iman GKI, kta boleh mempertahankannya. Sebaliknya kita harus memperbaharui budaya, tradisi, peraturan yang tidak selaras dengan Pengakuan Iman GKI. Melakukan perubahan/pembaruan budaya gereja yang sarat dengan tradisi dan kebiasaan yang tidak selaras dengan Firman Tuhan tidak mudah. Walaupun demikian, jika kita ingin semakin hari semakin serupa Kristus, suka tidak suka, kita harus berkomitmen mengubah/memperbaharui/mentransformasi bahkan meninggalkan budaya tradisi dan kebiasaan ini.


Memperbaharui Budaya Gereja

Sebelum melakukan pembaharuan budaya gereja, terlebih dahulu kita harus memahami misi gereja. “Gunanya Gereja adalah untuk manjadi utusan-utusan Kristus. Gunanya Gereja adalah untuk melaksanakan tugas pengutusan Kristus. Bukan mempertahankan sebuah jembatan. Bukan untuk mempertahankan sebuah tradisi agama (Darmaputera, 2005, 38). Mempertahankan tradisi atau kebiasaan gereja yang tidak selaras dengan Alkitab bukan misi gereja.

Bagi kita jemaat GKI, Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah Firman Allah sebagai dasar dan norma satu-satunya bagi kehidupan gereja (Pengakuan Iman, Pasal 3, Tata Dasar GKI). Karena itu segala sesuatu termasuk budaya, tradisi dan kebiasaan harus dapat dipertanggung-jawabkan secara alkitabiah. Tugas kita adalah menguji, apakah kebudayaan itu sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan? Kita harus dapat memilah mana yang dapat dipertahankan, mana yang dapat diperbarui, mana yang dapat disingkirkan. Kita memperbarui budaya dalam terang Firman Tuhan.

Yesus Kristus adalah Kepala Gereja yang mendirikan gereja dan yang memanggil gereja untuk hidup dalam iman dan misinya (Pengakuan Iman, Pasal 3, Tata Dasar GKI). Kristus adalah Kepala Gereja yang mengawasi, mengarahkan, menginstruksikan, memimpin, memotivasi dan menjaga agar tubuh berfungsi sesuai dengan kehendak-Nya. Kristuslah yang menentukan segala sesuatu yang berada dalam tubuh. Christ is described as the head of the body. The head controls, directs, intructs, guides, motivates, and keeps the body functioning according to His purposes. . . For Christ, the Head, determines everything in the body (Blackaby, 2007, 106).

Sebagai pemimpin yang melayani dengan meneladan kepada Kristus, posisi kita selaku pemimpin jemaat ada dibawah otoritas Kristus. Pemimpin ikut bertanggung jawab untuk membentuk budaya gereja yang selaras dengan kehendak Tuhan. Mentransformasi budaya untuk kemulian Tuhan. Shapping the culture is the heart of the leaders’s job. (Jackson, 2007, 67). Dengan mengijinkan Roh Kudus berkarya, mentransformasi dan membentuk budaya gereja, budaya yang demikian akan tetap eksis setelah masa jabatan pemimpin berakhir karena ada kuasa Allah dan karunia Roh Kudus yang bekerja dalam gereja. If the Holy Spirit shapes the culture, then it will continue after the leader is gone (Lewis and Cordeiro, 2005, 99)

Melalui budaya gereja kita menunjukkan siapa kita sesungguhnya. Jangan sampai budaya gereja menjadi penghambat pertumbuhan spritualitas kita. Kita perlu mentransformasi budaya agar melalui budaya gereja yang diperbaharui, kita dibentuk semakin serupa dengan Kristua. Roma 12: 2, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna”. Memperbaharui budaya gereja merupakan tugas kita bersama selaku komunitas orang percaya. Kualitas orang beriman terefleksikan dalam budaya gereja.


Daftar Kepustakaan

  1. BPMS GKI. 2009. Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Indonesia. PT. Adhitya Andrebina Agung, Jakarta.
  2. Blackaby, Henry T. and Blackaby, Melvin D, 2007. A God Centered Church: Experiencing God Together. Broadman & Holman Publishers, Nashville, Tennesse, USA. 
  3. Cummings, Thomas G. and Worley, Christopher G, 2008. Organization Development and Change. South Western Cengage Learning, USA.
  4. Darmaputera, Eka. 2003.  “Kepemimpinan  Perspektif  Alkitab”  dalam  Kepemimpinan  Kristiani. Jakarta: STT Jakarta.
  5. Darmaputera, Eka. 2004. “Identitas GKI” dalam Hodos, No.45 – 2004. Kelompok Kerja Pembinaan GKI Jabar, GKI Bekasi Timur, Jakarta
  6. Dividy, Jonazh. 2011. Pembaruan Hidup: Prasyarat Pembaruan Gereja. Makalah dipresentasikan di Kebersamaan Penatua & Keluarga GKI Gading Serpong, Pancawati –
  7. Caringin, Bogor 18 Maret 2011.
  8. Gohen, Michael W. and Bartholomew, Craig G, 2008. Living at the Crossroads: An Intriduction to Christian Worldview. Baker Academic, Grand Rapids, USA.
  9. Hebert, Andrew. http://www.lifeway.com/leadership/2014/10/16/how-to-shape-your-churchs-culture/
  10. Ismail, Andar, 2009. Selamat Bergereja. BPK Gunung Mulia, Jakarta.
  11. Collin and Porras, 2007. Built to Last: Successful Habits of Visionary Companies. HarperCollins, USA.
  12. Jackson, David, 2006. Dynamic Organizations: The Challenge of Change. Macmillan Press Ltd, Great Britain.
  13. Kotter, John P, 2007. Leading Change. HBS Press, USA.
  14. Lewis, Robert and Cordeiro, Wayne, 2005. Culture Shift: Transforming Your Church From The Inside Out. Jossey-Bass, USA.
  15. Moore T.M, 2011. Culture Matter: A Call for Consensus on Christian Cultural Engagement. Literatur SAAT, Malang.
  16. Marquardt, Michael J. 2006. Building the Learning Organization: Mastering 5 Elements for Corporate Learning. Davies-Black Publishing, USA.
  17. Wijaya, Yahya, 2008. Kemarahan, Keramahan & Kemurahan Allah. BPK Gunung Mulia, Jakarta.