[ Penulis: Benedictus Leonardus. Editor: David Tobing ]

Kita hidup di era yang mengagungkan toleransi. Memang sikap toleransi dibutuhkan apalagi kita hidup dalam masyarakat yang majemuk dengan keyakinan religius yang berbeda. Apakah untuk hidup toleransi berarti kita harus merelatifkan kebenaran yang kita yakini. Apakah mungkin toleransi tanpa berpegang pada prinsip kebenaran? Mungkinkah kebenaran dan toleransi dapat berjalan beriringan tanpa saling bertentangan?

Tidak ada gunanya bagi kita membicarakan toleransi tanpa mengaitkannya dengan kebenaran yang kita yakini. Kalau semua kebenaran sama, kita tidak memerlukan toleransi. Apa yang harus ditoleransi jika semuanya sama? Toleransi bukan berarti merelatifkan keyakinan kita atau membuang klaim kebenaran keyakinan religius kita sebagaimana yang dituntut para penganut paham plurarisme. Stetson dan Conti menyatakan bahwa toleransi memerlukan kebenaran supaya menjadi utuh. Toleransi dan kebenaran harus dilihat sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi. Tolerance needs truth in order to be a coherent (Stetson & Conti, 2005, 75).

Toleransi semu adalah toleransi yang mengambil sebagian kebenaran dari sana sini dengan menyingkirkan klaim absolut. Inilah yang diagungkan pada era pencerahan, kita tidak dapat mengetahui kebenaran absolut, namun kebenaran dalam wujud berbagai rupa dimana masing masing kita dapat menyembahnya. Kebesaran yang Mahakuasa tidak boleh dipaksakan dalam satu rupa dengan menyingkirkan yang lain. Satu jalan untuk semua. Banyak jalan, banyak rupa tetapi keseluruhan adalah satu. Dan tidak boleh satu bagian mengklaim keseluruhan.

This is exactly what enlightenment is saying today: We do not know truth as such; yet in a variety of images, we all express the same thing. So great a mystery as the Divinity cannot be fixed in one image, which would exclude all others – to one path obligatory for all. There are many paths; there are many images; all reflect something of the whole, and none is itself the whole (Ratzinger, 2004, 176)

Bagi kita sebagai jemaat Kristus, Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juru Selamat dunia. Sumber kebenaran dan hidup. Tidak mungkin Yesus Kristus direlatifkan sedemikian rupa sehingga tidak lebih dari sekadar orang bijak sama dengan yang lainnya. Tidak mungkin bagi orang Kristen untuk menjadi penganut relativisme dalam kaitannya dengan kebenaran baik dari sudut filosofi maupun ekstensialis. Repeatedly, Jesus and his disciples declare that truth is at the core of the Christian message . . . It is undeniably impossible for a Christian to be a relativist with respect to the truth, either philosophically or existentially (Stetson & Conti, 2005, 83).


Apakah dalam realita ada penganut relativistas yang sejati?

Sejujurnya relativisme merupakan sebuah filosofi yang sudah gagal. Tidak ada seorangpun yang dapat dikategorikan penganut relativisme sejati termasuk penganut faham sekuler liberal. Relativism is bankrupt as a moral philosophy, and no one is actually a real relativist, including the contemporary secular liberal (Stetson & Conti, 2005, 89). Realitasnya para penganut faham sekuler dalam perdebatan tidak berpegang pada kaidah kaidah sosial yang berlaku tetapi memaksakan kebenaran mereka sendiri terhadap setiap orang. Secularists do not argue simply on the basis of personal preference or even social convention but insist they are right for everyone, on principle (Stetson & Conti, 2005, 90). Ego seseorang yang menentukan kebenaran.

Meyakini Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat dunia dan sumber kebenaran sering dikategorikan sebagai sikap intoleransi bahkan di stempel sebagai sikap fundamentalisme. Sedangkan relativisme yang memutlakkan ego dan keinginan sendiri dengan menolak kebenaran yang objektif menjadi ajaran standar masa kini. Toleransi yang bernuansa demikian akhirnya berujung menjadi kediktatoran relativisme. Jelas hal ini merupakan sikap intoleransi. Sikap intoleransi yang sering dikritik oleh penganut relativisme itu sendiri. Kardinal Ratzinger mengkirik sikap relativisme yang demikian,

Whereas relativism, which is letting oneself be tossed and “swept along by every wind of teaching,” looks like the only attitude (acceptable) to today’s standards. We are moving toward a dictatorship of relativism, which does not recognize anything as certain and which has as its highest goal one’s own ego and one’s own desires (Thorton and Varenne, 2007, 22).

Toleransi yang sarat dengan relativisme ini menjadi identik dengan totalitarisme atau kediktaktoran. So it is that tolerance becomes a synonym for totaltarisnism (Stetson & Conti, 2005, 124).Pdt. Eka Darmaputera mempunyai pandangan yang sama mengenai toleransi tanpa batas yang menghasilkan ketidakpastian mutlak.

Yang dihasilkan dari pola pikir tersebut adalah TOLERANSI. Tetapi toleransi yang nyaris tanpa batas. Semua ditolerir kecuali sikap intoleran. Dan kita tahu, betapa “toleransi” dan “keterbukaan” adalah satu nilai yang paling diagung-agungkan dan diagul-agulkan oleh modernisme. Beradab atau biadabnya seseorang, diukur dari tinggi rendah tingkat toleransinya. . . Namun, bila yang kita bicarakan adalah “toleransi tanpa batas”, maka saya anjurkan agar kita cermat-cermat mengkritisinya. Sebab “toleransi tanpa batas” berarti “ketidakpastian yang mutlak”. Hidup yang serba limbung, gamang, tanpa pegangan, tanpa arah, tanpa tujuan (Darmaputera, 2005, 17).

Toleransi yang seharusnya bersifat dua arah sering menjadi satu arah. Mereka yang berpegang pada pandangan tradisional sering dituntut untuk menunjukkan sikap toleransi oleh pihak lain dengan sikap kristis yang berlebihan. Kritikan dari pihak yang berlawanan ini sering diutarakan secara bebas dengan mode kritikan pemikir bebas yang tidak terikat oleh kaidah apapun. Sikap intoleransi dan ketidakpekaan yang demikian itu dapat disamakan dengan ujaran kebencian.

Tolerence easily becomes a one-way street in such environs. Those who hold traditional views and values must be unceasingly tolerant of their opponents, but their opponents may be unceasingly critical. Criticism of the traditional from the antitraditional is open-minded and free-thinking criticism going the other direction is insensitive and intolerant or simply identified as hate speech (Stetson & Conti, 2005, 123).


Bagaimana Sikap Toleransi Yang Seharusnya.

Apakah toleransi berarti kita tidak boleh berbeda pendapat? Apakah toleransi berarti kita harus merelatifkan keyakinan iman kita? Banyak para penulis dengan topik keberagaman religius (religius diversity) berpendapat toleransi berarti harus ada keseragaman dalam pola pikir dan keyakinan. Kita menjadi bingung dengan pendapat yang demikian. Toleransi harus konsisten dengan keyakinan teguh kita terhadap kebenaran dan pengalaman iman. Tolerance is consistent with a strong confidence in the truthfulness of one’s own beliefs and experience (Stetson & Conti, 2005, 165).

Dalam sejarahnya, pemahaman toleransi berdasarkan pengakuan terhadap kemerdekaan dan kemuliaan setiap orang dan hak mereka untuk diperlakukan dengan semestinya tanpa memperdulikan apakah keyakinan religius mereka sama dengan kita. The best of human history indicates an understanding of tolerance based on the recognition of the inherent freedom and dignity of all persons, and their consequent right to be treated accordingly, whether or not they stand in religious agreement with us (Stetson & Conti, 2005, 172).

Toleransi lebih menyangkut perilaku manusia dalam mengeskpresikan pendapat. Menolak pendapat seseorang tidak berarti menolak orang tersebut. Tidak setuju dengan perilaku seseorang tidak berarti membenci dan memberikan perlakuan buruk terhadapnya. Mengkritisi nilai-nilai atau filosofi tertentu bukan berarti menolak kesetaraan mereka yang memperjuangkan nilai-nilai atau pandangan mereka. Kritikan tidak sama dengan penghinaan.

To reject an idea is not therefore to reject the person who holds that idea; to disagree with the wisdom or goodness of a person’s behavior is not to hate or mistreat that person; to critique a particular value or overall philosophy of life does not necessarily involve denying the humanity or equal standing under the law of those who advocate that value or worldview. A criticism is not the same as an insult (Stetson & Conti, 2005, 161).

Dalam menyikapi toleransi, kita harus berpegang pada prinsip kebenaran yang mutlak dan obyektif dimana kebenaran dan toleransi dapat berjalan beriringan bukan dengan meniadakan salah satunya. Toleransi tanpa prinsip kebenaran akan menghasilkan anarkisme.

Karena itu diperlukanlah “kebenaran”, “prinsip”, untuk kita pergunakan sebagai tolak ukur atau kriteria yang “mutlak” dan “objektif”. Sebuah “kaidah penilai” yang mampu memberi pegangan yang jelas dan pasti. “Norma pengukur” yang berlaku untuk siapa saja – orang lain atau diri sendiri. Itulah yang kita perlukan (Darmaputera, 2005, 19).

Sebagai jemaat GKI kita harus berpegang pada prinsip kebenaran yang tertera pada Pasal 3, Pengakuan Iman GKI yang tercantum dalam Tata Gereja GKI. Atas dasar Pengakuan Iman ini, kita membangun toleransi dalam masyarakat yang mejemuk ini.


Daftar Kepustakaan

  1. BPMS GKI. 2009. Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Indonesia. PT. Adhitya Andrebina Agung, Jakarta.
  2. Darmaputera, Eka. 2005. Sepuluh Perintah Allah: Museumkan Saja? Gloria Graffa, Yogyakarta.
  3. Ratzinger, Joseph Cardinal. 2004. Truth and Tolerance: Christian Belief and World Religions. Ignatius Press, San Fransisco, USA.
  4. Thornton, John F. and Varenne, Susan B. 2007. The Essential Pope Benedict XVI: His Central Writings & Speeches. HarperCollins Publisher, USA
  5. Stetson, Brad and Conti, Joseph G. 2005. The Trurth about Tolerance: Pluralism, Diversity, and the Culture Wars. InterVersity Press, USA.