[ Penulis: Benedictus Leonardus. Editor: David Tobing ]

Kebenaran menjadi bahan perdebatan sejak zaman dahulu kala. Hingga saat inipun perdebatan mengenai kebenaran terus berlangsung. Sebagai seorang Kristen, apakah kebenaran hanya berlaku dalam budaya dimana Alkitab dituliskan? Apakah kebenaran Alkitab melampaui batas-batas ruang dan waktu? Dan mungkin kita dapat mengajukan sederet pertanyaan lain mengenai kebenaran.

Di kalangan teolog Kristen masalah kebenaran menjadi topik perdebatan yang cukup panas dengan beraneka ragam pendapat yang bertolak belakang. Dalam pandangan Kristen yang bersifat teistik, kebenaran itu absolut. Jika ada sesuatu mengandung kebenaran yang sesuai dengan perspektif Allah maka kebenaran tersebut merupakan kebenaran yang mengikat manusia di semua tempat dan waktu. Christian theism views truth as absolute. If something is “true,” that is, if it corresponds to God’s perspective, then it is true for all people in all places at all times (Baucham,2009, 53)

Ada pula yang berpendapat kebenaran bersifat relatif, dibatasi oleh ruang dan waktu, dibatasi oleh kebutuhan dan manusia itu sendiri. . . truth, by definition, was relative to time, to the place, to the need, and to the person (Mohler, 2005, 57). Bagi dunia posmodern ini, kebenaran tak perlu dicari. Kebenaran cukup diciptakan di dalam lingkungan sosial. Kebenaran berisifat plural tidak absolut, tidak berlaku secara universal . . . postmodernist argue that truth is socially constructed, plural and inaccessible to universal reason, which does not exist anyway (Mohler, 2005, 58)

Jika kita tidak hati hati mencermati perkembangan ini, kebenaran relatif ini akan membawa dampak relativisme terhadap kebenaran Firman Tuhan yang menjadi dasar iman kita. Akibatnya iman kepada Kristus yang adalah Tuhan, Juruselamat dan Sumber Kebenaran itu sendiri juga direlatifkan. Yesus yang kita kenal selama ini adalah Yesus alkitabiah yang hidup 2.000 tahun yang lalu tidak lebih dari salah satu orang baik yang pernah hidup di dunia ini.


Metode Kritik Historis

Hal ini disebabkan oleh penafasiran Alkitab dengan metode kritik historis. Metode yang menunjukkan sebuah teks, peristiwa dan manusia yang terlibat di dalamnya merupakan peristiwa masa lalu, yang hanya terjadi pada masa tersebut. Metode ini hanya ingin mengetahui apa yang dipkirkan dan dikatakan penulis pada masa itu saja. Jadi historis berbicara tentang masa lalu. Metode ini tidak dapat membawa Alkitab ke masa kini, ke kehidupan kita saat ini. Sehingga Yesus kemarin, hari ini dan mendatang berbeda, tidak sama. Yang dapat kita ketahui hanya Yesus masa lalu sebagimana dialami oleh orang pada masa tersebut. Yesus Kristus dibatasi oleh waktu dan ruang. Jadi Yesus sebagai Tuhan, Juruselamat dan Sumber Kebenaran adalah sebuah kesaksian masa lalu. Yesus hadir untuk komunitas pada masa itu.

. . . the method wants to find about the past as something past. It wants to grasp with the greatest precision what happened at a past moment, closed in its past situation, at the point where it was found in time. . . If we apply this to the Bible, it means the following: a text, a happening, a person will be strictly fixed in his or her past. There is the desire to verify what the past author said at that time and what he could have said or thought. This is what is”historical” about the “past.” Therfore, historical-critical exegesis does not bring the Bible to today, to my current life. This is impossible. On the contrary, it separates it from me and shows it strictly fixed in the past . . . Therefore, it can never show the Christ of today, tomorrow, and always, but only – if it remains faithful to itself – the Christ of yesterday (Thornton and Varenne, 2007, 238 &134)

Karena Alkitab berisi peristiwa yang terjadi pada masa lalu maka sosok sentral dalam Alkitab yaitu Yesus Kristus yang hidup di masa lalu harus berbeda dengan Yesus masa kini. Yesus Kristus harus direkayasa. Yesus Kristus harus ditafsir ulang sesuai dengan imaginasi para penafsir yang otonom, tidak boleh dibatasi oleh apapun termasuk kesaksian Alkitab. Yesus masa lalu harus berbeda dengan Yesus masa kini. . . is the abstraction of the figure of jesus from the classical tradition, as well as the idea that, using a new hermeneutic, we can and must bring this figure into the present in a new way (Thornton and Varenne,2007, 221).

Metode ini membawa kita sebagai pembaca harus menciptakan makna (meaning) dari teks yang kita baca. Kita menafsir ulang teks yang kita baca tanpa terikat batasan. Derrida salah satu literary deconstructionist yang terkemuka menyatakan bawah gerakan ini bertujuan untuk menyingkirkan penulis dan teks dengan menyatakan kematian penulis dan kematian teks itu sendiri. Tak perlu mencari makna yang disampaikan penulis teks tersebut. Makna itu diciptakan bukan ditemukan. Makna diciptakan oleh pembaca melalui teks yang dibaca. Deconstructionist menyatakan bahwa penulis teks harus disingkirkan dari teks dan teks itu sendiri harus dibiarkan hidup sebagai sebuah kosa kata yang membebaskan.

According to their thought, it is the reader of a text who establises meaning, and there are no control to limit the interpretation a reader might give. Jacues Derrida, the leading literary deconstructionist, described this move as the death of the author and the death of the text. Meaning is made, he taught, not found. It is created by the reader in the act of reading. Deconstructionist teach that teh author must be removed from consideration and the test itself allowed to live as a liberating word (Mohler, 2005, 60)

Metode ini tidak saja menyelidiki Alkitab sebagai sesuatu yang lampau tetapi juga memperlakukan Alkitab sebagai peninggalan masa lalu. Metode ini tidak dapat membawa Alkitab ke masa kini karena terikat dengan keterbatasannya. The historical method not only has to investigate the biblical word as a thing of the past, but also has to let it remain in the past. . . it has to leave the biblical word in the past . . . the one thing it cannot do is make it into something present today – that would be overstepping its bounds (Ratzinger,2007, xvi). Karena dibatasi konteks masa lalu tersebut, maka Alkitab harus ditafsir ulang sesuai dengan konteks masa kini.


Kebenaran Dalam Dunia Posmodernis

Ironisnya metode yang demikian juga dianut oleh sebagian teolog yang memegang jabatan pendeta. Tidak heran, jika ada teolog atau pendeta baik di dalam tulisan atau pun khotbah menafsir ulang teks Alkitab dengan bebas sesuai dengan seleranya. Deconstructionists subject the Bible to radical reinterpretation (Mohler, 2005, 61). Teks Alkitab diperkosa sedemikian rupa sehingga menghasilkan makna yang jauh berbeda dengan yang dimaksud oleh penulis teks Alkitab. Apakah yang dilakukan oleh teolog/pendeta tersebut tidak mendukakan Roh Kudus yang menginspirasi para penulis Alkitab menuliskan Firman Tuhan?

Akibatnya, Yesus Kristus yang merupakan sentralitas Alkitab harus ditafsir ulang. Pandangan ini membawa kita untuk menciptakan sosok dan kebenaran Kristus yang sesuai dengan perubahan zaman sesuai dengan semboyan “Truth is made rather than found,” (Mohler, 2005, 58) yang dikemukankan oleh filsuf postmodern Richard Rorty. Kebenaran itu diciptakan bukan dicari. Tidak perlu mencari kebenaran termasuk mencari kebenaran dalam Alkitab. Truth is socially constructed. Pada akhirnya Yesus pun direlatifkan, diturunkan dari tahtanya menjadi salah satu manusia religious yang genius sama dengan yang lain. Jesus was conciously relativized, reduced to one religious genius among others (Ratzinger, 2004, 119)

Demikian pula Alkitab yang adalah Firman Tuhan juga direlatifkan tidak lebih dari sebuah literatur kuno yang berisi pengalaman religius masa lalu. Alkitab tidak lebih dari sebuah buku yang ditulis oleh manusia zaman dulu, yang boleh diperlakukan seperti buku manapun yang ada di dunia ini. Alkitab tidak lagi menjadi dasar pijak utama dalam berteologi. Otoritas Alkitab diganti dan beralih pada pengalaman pribadi yang ada dalam diri manusia. Cara pandang yang demikian berdampak terhadap sentralitas Alkitab yaitu Yesus Kristus. Yesus Kristus yang adalah Allah pun diperlakukan sama dengan manusia yang lain. Yesus Kristus harus dikonstruksi ulang dengan kreatif sehingga muncul sosok Yesus yang diperbarui sesuai dengan selera zaman.

Pengakuan iman GKI bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juru Selamat dunia, Sumber Kebenaran dan hidup serta Alkitab adalah Firman Tuhan akan dipandang sebagai penghinaan terhadap dunia posmodern. Our claim is that the Bible is the Word of God for all, a conviction that is deeply offensive to the postmodern worldview (Mohler, 2005, 60). Oleh sebab itu Alkitab harus direlatifkan dengan dikritisi, dievaluasi ulang, diperbarui, ditafsir ulang. . . text are reappropriated, reinterpreted, and read with new eyes in new contexs (Ratzinger, 2007, xviii).


Tetap Teguh Berpegang Pada Kebenaran

Kita tidak perlu mengikuti penafsiran yang menyimpang dari Alkitab. Sebagai jemaat Kristus kita harus percaya kepada Alkitab dan mendasarkan diri kita kepada Alkitab bukan berdasarkan rekonstruksi teori rekaan. Bukan dengan rekonstruksi sejarah berdasarkan asumsi pengetahuan kita yang terbatas. Bukan pula memberikan atribut baru kepada Yesus agar Yesus dapat diterima dalam konteks kini sesuai dengan imajinasi para sarjana modern. Kita tidak perlu membatasi Yesus alkitabiah dengan ruang dan waktu dengan merekayasa Yesus agar tampil sosok Yesus yang berbeda dengan Yesus Alkitab.

. . . we trust scripture and we base ourselves on scripture, not on hypothetical reconstruction that go behind it, according to their own taste, reconstruct a history in which the presumptous idea of our knowing what can or cannot be attributed to Jesus plays a key role; which, of course, mean attributing to him only what a modern scholar is happy to attribute to a man belonging to a time that the scholar himself has reconstructed (Thornton and Varenne, 2007, 145)

Kebenaran absolut bukan sesuatu yang harus dipelajari atau diukur baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Kebenaran mutlak adalah Pribadi yang dapat diketahui. Pribadi yang dalam kebebasan-Nya menyatakan diri-Nya kepada manusia di semua tempat dan kepada komunitas religi. Absolute truth is not a thing to be studied, quantified and qualified. Rather, absolute is a person to be known (Jn 14:6), a person who has the freedom to reveal himself differently to different individual and religious comminities (Greer, 2003, 171).

Inilah kebenaran itu, dipukul dan terluka karena dosa kita. Lihatlah Dia – Sang Kebenaran yang tergantung di kayu salib. Kebenaran adalah sosok Manusia, Manusia yang disalibkan yaitu Yesus Sang Juruselamat yang dikirm oleh Bapa. Tiga hari kemudian Sang Kebenaran bangkit dari kubur. Kematian tidak bisa menahan-Nya. Dia menunjukkan diri-Nya kepada orang banyak dan sekarang dipermuliakan bersama Allah Bapa. Here is the Truth, beaten and bruised for our sin, hung on tree-look at him now, crucified. Who would have thought? Truth is a person. What is more, truth is a crucified person, Jesus the Messiah, the one-of-a-kind, sent Son from the Father. Three days later, that Truth rose from the grave. Death could not keep him. He showed himself to many and is now exalted with God (Kostenberger, 2005, 131).

Akulah Jalan, Kebenaran dan Hidup merupakan keyakinan dasar iman kita terhadap Yesus Kristus. “I am the way, and the truth, and the life”: this saying of Jesus from the Gospel of John (14:6) expreses the basic claim of the Christian faith (Ratzinger, 2004, 184). Yesus tidak berubah sepanjang masa. Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin, maupun hari ini dan sampai selama-lamanya (Ibrani 13:8). Kebenaran itu tidak relatif, tetapi absolut, artinya tidak berubah dan universal . . . ia tetap sama di setiap saat dan tempat; ia bersifat mutlak (Holmes, 2005, 60, Terj).

Kita patut bersyukur di tengah-tengah dunia posmodernis yang mengagungkan relativisme ini, masih ada pemimpin gereja yang gigih mempertahankan sosok Yesus sesuai dengan kesaksian Alkitab. Diantaranya adalah Ratzinger yang kemudian terpilih sebagai Paus Benedictus XVI yang menggantikan Paus Yohanes Paulus II ditengah kesibukan beliau sebagai pemimpin tertinggi gereja Katolik pada tahun 2007 menulis sebuah buku yang berjudul Jesus of Nazareth berdasarkan sosok Yesus yang disaksikan Alkitab.


Sikap Kita Sebagai Jemaat GKI di Dunia Posmodernis

Tidak dipungkiri bahwa posmodernis yang bertumpu pada relativisme yang tidak bersandar kepada kebenaran Firman Tuhan ini sudah mengharu-birukan gereja-gereja kita di Indonesia demikian diungkapkan oleh Pdt. Eka Darmaputera (Darmaputera, 2002, 43). Tidak ada ada cara lain selain berpegang pada ajaran Gereja yang benar. Kita harus bersikap kritis menyelidiki pengajaran pendeta/teolog dengan menggunakan tolak ukur Alkitab karena Inti pesan Alkitab, yang kita yakini bersifat mutlak dan a priori selalu benar (Darmaputera, 2005c, 178).

Sebagai jemaat GKI, bagaimana kita menyikapi gejala yang sudah mengaharu-birukan Indonesia ini? Tidak lain kita harus berpegang pada ajaran resmi tertulis GKI yaitu Pengakuan Iman GKI (Pasal 3 Tata Dasar, Tata Gereja GKI) dan Pegangan Ajaran Mengenai Alkitab, Gereja, Gerakan Pentakosta Baru (Karismatik) (Lampiran Tata Gereja GKI).

Kebenaran dan kesaksian Alkitab, yaitu kebenaran dan kesaksian sentralnya tentang Kristus dan Kerajaan-Nya, melampaui batas-batas ruang dan waktu. Kebenaran dan kesaksian Alkitab bukan hanya berlaku dalam budaya dan sejarah di mana ia dituliskan, tetapi berlaku juga bagi kita dalam budaya dan sejarah kita, kini dan di sini (BPMS, 2009, 347)

Dengan sangat jelas ajaran resmi GKI menyatakan bahwa kebenaran dan kesaksian utamanya tentang Kristus dan KerajaanNya melampaui ruang dan waktu dan berlaku dalam budaya dan sejarah kita, kini dan disini. Kesaksian menyeluruh itu berpusat pada Yesus Kristus “Firman yang telah menjadi manusia” (Yoh 1:14) (BPMS, 2009, 346). Jelas kebenaran yang demikian ini absolut, tidak relatif dan tidak berubah. Kita tidak perlu digoyahkan dengan pandangan posmodernisme yang menekankan relativisme iman ini.

Karena Alkitab berisi kesaksian menyeluruh mengenai Allah (BPMS, 2009, 345) maka kesaksian Alkitab terjamin kebenarannya. Pdt. Eka Darmaputera mengingatkan, kebenaran kita harus cocok dengn kebenaran Alkitab bukan sebaliknya. Bukan kebenaran Alkitab yang harus cocok dengan kebenaran saya, tetapi kebenaran yang saya yakini itu yang harus cocok dengan kebenaran Alkitab! (Darmaputera, 2005d, 32). Kita tidak perlu memilh-milah mana ayat yang Firman Tuhan mana yang bukan. Semua ayat adalah firman Tuhan. Setiap ayat adalah firman Tuhan. Artinya, Tuhan berkenan berfirman melaluinya”. (Darmaputera, 2005a,552). Sebab kalau kita percaya Alkitab itu firman Allah, sudah pasti semuanya benar. Jadi, jangan lalu kita pilih, mana yang paling cocok di hati itulah yang benar! Jangan! Sebab yang benar itu kadang-kadang justru tidak cocok di hati dan pikiran kita!. (Darmaputera, 2005b, 99).

Kita harus bersikap Kritis dengan menggunakan tolak ukur Alkitab untuk menyelidiki pengajaran teolog/pendeta. Kita jangan terpedaya oleh ajaran pendeta yang melenceng. Kita harus bersikap kritis untuk menyelidiki pengajaran teolog/pendeta tersebut dengan menggunakan tolak ukur Alkitab. Bagaimana kita tahu kalau ia menambah-nambah atau mengurangi firman Tuhan?. Tidak ada jalan lain. Anda sendiri harus akrab bergaul dengan firman Tuhan. Harus mempelajari firman Tuhan (Darmaputera, 2005d. 63).


Daftar Kepustakaan:

  1. Baucham, Voddie Jr. 2009. Truth and the Supremacy of Christ in a Postmodern World in The Supremacy of Christ in a Postmodern World. Editors: John Piper and Justin Taylor. Crossway Book, Illinois, USA.
  2. Darmaputera, Eka. 2002. Dengarlah Yang Dikatakan Roh. Gloria Graffa, Yogyakarta.
  3. Darmaputera, Eka. 2005a. 365 Anak Tangga Menuju Hidup Berkemenangan. BPK Gunung Mulia, Jakarta.
  4. Darmaputera, Eka. 2005b. Spritualitas Siap Juang: Khotbah-Khotbah Tentang Spritualitas Masa Kini. BPK Gunung Mulia, Jakarta.
  5. Darmaputera, Eka. 2005c. Sepuluh Perintah Allah: Museumkan Saja? Gloria Graffa, Yogyakarta.
  6. Darmaputera, Eka. 2005d. Iman dan Tantangan Zaman: Khotbah-Kohtbah Tentang Menyikapi Isu-Isu Aktual Masa Kini. BPK Gunung Mulia, Jakarta.
  7. Gibson, David. 2006. The Rule of Benedict: Pope Benedict XVI and His Battle with the Modern World. HarperCollins Publisher, US.
  8. Greer, Robert, C. 2003. Mapping Postmodernis: A Survey of Christian Options. InterVarsity Press. USA.
  9. Holmes, Arthur F. 2005. Segala Kebenaran adalah Kebenaran Allah. Edisi: Revisi. Diterjemahkan : Yongky Karman dan Solomon Yo. Penerbit Momentum, Surabaya.
  10. Kostenberger, Andreas J. 2005. Whatever Happened to Truth. Editor: Andreas Kostenberger. Corssway Books, Illinois, USA.
  11. Mohler, R. Albert. 2005. Truth and Contemporary Culture in Whatever Happened to Truth. Editor: Andreas Kostenberger. Corssway Books, Illinois, USA.
  12. Ratzinger, Joseph Cardinal. 2004. Truth and Tolerance: Christian Belief and World Religions. Ignatius Press, San Fransisco, USA.
  13. Ratzinger, Joseph. 2007. Jesus of Nazareth. Bloomsbury Publishing, Great Britain.
  14. Thornton, John F. and Varenne, Susan B. 2007. The Essential Pope Benedict XVI: His Central Writings & Speeches. HarperCollins Publisher, USA