[ Penulis: Benedictus Leonardus. Editor: David Tobing ]

Beberapa waktu yang lalu kita dikejutkan oleh Pernyataan Pastoral tentang LGBT yang ditandatangani oleh ketua umum dan sekjen PGI. Pernyataan Pastoral tentang LGBT ini menuai kritik karena dianggap tidak sejalan dengan Alkitab yang adalah Firman Tuhan, walaupun ada ayat Alkitab yang dikutip. Kita bertanya-tanya apa yang mendasari pernyataan tersebut.

Semua yang terjadi ini tidak lepas dari pikiran relativisme dalam wujud post-modernisme. Bagi penganut relativisme tidak ada kebenaran absolut, yang ada hanya kebenaran relatif. Kebenaran direduksi menjadi tidak lebih dari apa yang diinginkan. Relativisme melakukan penolakan terhadap kebenaran umum dan obyektif. Truth is whatever you want it to be. This relativist view of truth is of course a rejection of truth itself in any public or objective sense . . . (Stetson, 2005, 67).

Dibawah naungan post-modernisme, yang ada hanya kebenaranku atau kebenaran yang kupilih dalam lingkungan kelompok sosial tertentu. Tidak ada yang disebut kebenaran umum dan obyetif. Bagi mereka, kebenaran diciptakan oleh keinginan mereka dalam lingkup komunitas tertentu baik pada level mikro maupun makro. Kebenaran yang ada itu diciptakan bukan ditemukan, diplih bukan berdasarkan wahyu/pernyataan diluar manusia. Under regime of postmodernism there can be only “truth for me” or truth that I choose within my social setting, there cannot be any public or objective truths. . . To the postmodernist, truth – as a “construction” of either my owm desires or may community at either a micro or macro level – is created, not discovered; it is chosen, not revealed (Stetson, 2005, 73).

Dekonstruksionisme yang sarat dengan paham relativisme ini membongkar segala kebenaran mutlak yang melampaui ruang dan waktu dan digantikan dengan kebenaran relatif yang dibatasi ruang dan waktu. Semua kebenaran dikonstruksi dalam lingkup sosial tertentu dalam kehidupan masyarakat. According to the deconstructionists, an influential sect among the postmodernist, all truth is socially constructed (Mohler, 2005, 58).


Relativisme Yang Menghancurkan Kebenaran

Ironisnya wawasan post-modernisme yang demikian juga telah masuk dalam lingkungan gereja sehingga ada sebagian pemimpin jemaat meragukan kemutlakan/otoritas Alkitab sebagai Firman Tuhan. Bagi mereka Alkitab tidak lebih adalah kebenaran yang dibangun dalam lingkup sosial masa iampau bukan kebenaran yang membebaskan manusia dari dosa. Alkitab dibongkar dengan menafsir ulang ayat Alkitab sesuai dengan pandangan mereka. Bagi kita Alkitab adalah wahyu Allah yang berotoritas dan berwibawa bukan kebenaran yang dikonstruksi dalam lingkup sosial masa lampau. Alkitab secara obyektif, historis, universal adalah benar. We do not believe that the Christian gospel is a socially contruscted truth, but the truth that sets sinners free. It is objectively, historically, and universally true (Mohler, 2005 , 59).

Keyakinan bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan yang berotoritas dan berwibawa sangat tidak disukai oleh penganut post-modernisme ini. Our claim is that the Bible is the Word of God for all, a conviction that is deeply offensive to the postmodern worldview (Mohler/ Andreas, 60). Oleh sebab itu teks Alkitab, penulis Alkitab, tradisi gereja, meta-narasi, Allah dan segala kuasa baik dilangit maupun dibumi harus diturunkan dari tahta kekuasaan. Texts, authors, traditions, meta-narratives, the Bible, God, and all powers in heaven and on earth must be dethroned (Mohler, 2005, 62).

Otoritas dan kedaulatan Allah harus ditolak karena dianggap totaliter. Manusia yang relatif dimutlakkan sedemikian rupa sehingga menjadi tuhan-tuhan. Allah yang berdaulat yang berada diluar manusia, Alkitab yang merupakan pernyataan/wahyu Allah, doktrin, tradisi, pengakuan iman dan konfesi ditolak karena dianggap membatasi ekspresi diri manusia dan dianggap mewakili otoritas yang menindas. In fact, the authority of God himself is ultimately rejected as totalizing, totalitarian, and autocratic. . . doctrines, traditions, creeds, and confessions are rejected as well and charged with limiting self-expression and representing oppressive authority (Mohler, 2005, 63).

Banyak penganut post-modernisme menolak Allah yang berada di luar manusia yang di dalam kedaulatanNya berhak untuk memutuskan apa yang benar dan salah. Bagi mereka, Allah yang demikian merupakan pemaksaan terhadap hakikat manusia. Oleh sebab itu otoritas gereja, Alkitab, dan rohaniwan harus disingkirkan. Kebenaran dan moralitas diciptakan/diputuskan dalam lingkungan komunitas sebagaimna yang diinginkan oleh kelompok tertentu. Much of postmodernism has rejected the idea of an external God who has the right to prescribe what is right and what is true. To the postmodernist, this appears to be an imposition of power on human beings. Thus, the authority of the church, the Bible, or the clergy must be thrown off. Truth and morality are simply what a community decides they are (Erickson, 2002, 68).

Banyak dari kita sadar atau tidak sadar telah masuk dalam perangkap relativisme, post-modernisme yang memang bertujuan untuk menghancurkan keyakinan iman kita. Iblis berupaya untuk menghancurkan 2 institusi ciptaan Allah yaitu lembaga pernikahan dan gereja. Semuanya yang terjadi ini tidak lepas dari manuver Iblis yang memutarbalikkan cara pandang manusia terhadap Allah.

Iblis, seperti biasa tidak sepenuhnya memutarbalikkan kenyataan. Yang ia lakukan adalah memutarbalikkan cara pandang orang. Namun, justru inilah bentuk “fitnah” dengan kualitas nomor satu! Yaitu ketika Iblis, melalui manuvernya itu, dengan cerdiknya memutarbalikkan cara pandang manusia terhadap Allah. (Darmaputera, 2005b, 230).


Dekadensi/Kemerosotan Moral

Post-modernis menjadikan kebenaran absolut sebagai fiksi dan menggantikannya dengan wawasan, gagasan, pandangan, pendapat, impresi yang kurang berotoritatif. Ketika Alkitab dipahami dalam kerangka ini, Alkitab kehilangan kedaulatannya atas hidup kita. Khotbah menjadi sebuah cerita. Pernyataan dari Firman Allah yang dirancang untuk menegur dan mengkritisi perilaku kita tidak diutamakan. Manusia di dorong untuk mendahulukan pengalaman dibandingkan akal budi, di dorong untuk mengeksplorasi wawasan mereka dan menolak untuk dihakimi dan menghakimi. Alkitab dipahami sekedar penolong kita bukan untuk berdaulat atas kehidupan kita. Pemahaman yang demikian membuka pintu terhadap wawasan psikologi, sosiologi, dll yang mengesampingkan/menggantikan teologi  dan telah masuk dan berkembang dalam lingkup gereja.

Postmodernism renders absolute truth a fiction and replaces it with the less authoritative notion of points of view, opinions and impressions. When the Bible is understood within this rubric it loses its sovereign rule over our lives. Sermons become the recounting of stories. Declarative statements from the Word of God designed to confront and challenge our behavior (“Thus saith the Lord”; You have heard . . . but I say unto you”) are discouraged. . . People are encouraged to prioritize experience over reason, explore their own insights and refuse to judge or be judged. Here the Bible is understood to help but not rule us. Such an understanding opens the door to insights (psychological, sociological, etc) that have worked their way into the church form surrounding culture (Greer, 2003, 228)

Memprihatinkan melihat orang Kristen penganut paham relativisme ini yang dengan sadar atau tidak menolak, membuang, menyingkirkan, menghancurkan setiap kemutlakan dan otoritas. Bahkan otoritas Alkitab yang mutlak juga tak lepas dari upaya untuk dihancurkan. Memang mereka ini masih mengutip ayat Alkitab tetapi hanya sepotong-potong yang dilepaskan dari pemahaman satu kesatuan Alkitab untuk mendukung wawasan pandangan mereka yang bersifat relatif. Anehnya mereka yang seharusnya bersikap relatif ini dalam realitasnya justru memutlakkan diri mereka sendiri termasuk wawasan relativisme mereka. Mereka menjadi tuhan-tuhan yang berdaulat atas kehidupan jemaat. Bagi mereka semua adalah sederajat dan sama rata. Semua dipandang dari wawasan post-modernisme. Dengan demikian setiap orang boleh menafsir teks sesuai dengan seleranya tanpa terikat kepada kebenaran mutlak.

Karena bersifat relatif dengan semboyan jangan dihakimi dan menghakimi maka akan terjadi dekadensi/kemerosotan moral. Kontrol sosial diupayakan untuk ditiadakan. Alkitab yang seharusnya mengkontrol kehidupan manusia dianggap sebagai buku kuno yang berlaku untuk masa lampau. Maraknya masalah seksualitas tidak bisa dilepaskan dari pengaruh wawasan modernitas maupun post-modernisme yang merasionalisasi perilaku seksual yang menyimpang. Sexuality is central to this, and in many ways both modernism and postmodenism can be understood as lengthy and elaborate rationalization for sexual misbehavior (Mohler, 2005, 63).

Memang ironis melihat pemimpin gereja yang harus menegakkan Firman Allah justru menjadi  tuhan-tuhan yang memprakarsai untuk melegitimasi perilaku seksual yang menyimpang seperti masalah LGBT ini. Relativisme dipaksakan dengan semangat kemutlakan untuk merelatifkan segala sesuatu akan menghancurkan kehidupan gereja.  Terjadi krisis moralitas karena tidak ada ada lagi kemutlakan termasuk dalam etika, moral, norma, dll.

Yang pasti Iblis akan bersorak melihat 2 institusi ciptaan Allah yaitu lembaga pernikahan dan gereja sedang menuju ke jurang kehancuran bila mana kita sebagai jemaat Kristus tidak sadar terhadap upaya Iblis untuk menghancurkan kebenaran melalui pikiran relativisme, post-modernitas.

Iblis akan menjungkirbalikkan kesadaran moral manusia. Yang benar jadi salah, yang salah jadi benar. Orang-orang Yahudi yang menyalibkan Yesus pasti justru merasa sedang mengemban tugas suci membela kebenaran. Sungguh mengerikan dunia ini, bila norma-norma kebenaran terbalik-balik seperti itu.” (Darmaputera, 2005b, 477).


Waspada Terhadap Bahaya Relativisme

Menghadapai pengaruh wawasan relativisme dalam wujud post-modernisme, sebagai jemaat GKI kita harus berpegang pada Pengakuan Iman GKI yang mengaku imannya bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat dunia, Sumber kebenaran dan hidup (Pasal 3 Tata Dasar, Tata Gereja GKi, 22I). Jelas Pengakuan Iman GKI secara eksplisit menolak kebenaran relatif yang diagungkan penganut relativisme.

GKI mengaku imannya bahwa Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah Firman Allah, yang menjadi dasar dan norma satu-satunya bagi kehidupan gereja (Pasal 3 Tata Dasar, Tata Gereja GKi, 22I). Pegangan Ajaran Mengenai Alkitab (BPMS, 2009, 345) menegaskan

Alkitab berisikan kesaksian menyeluruh mengenai Allah yang menyatakan diri-Nya, kehendak-Nya serta karya penciptaanya, pemeliharan, penyelamatan, dan penggenapan-Nya kepada Manusia dan dunia. Kesaksian Alkitab mengenai Allah ini cukup dan menjadi ukuran (kanon) bagi iman kita dan untuk menggumuli kehidupan iman kita dalam kesetian kepada-Nya. Kesaksian menyeluruh ini dipahami dan diajarkan secara utuh

Sejalan dengan Pengakuan Iman GKI tersebut diatas, kita harus mencermati dan bersikap kritis terhadap wawasan, pandangan, ajaran pendeta. Kita harus menyelidiki apakah ajaran mereka sesuai dengan Firman Allah, tanpa menambah-nambah atau mengurangi Firman Allah. Pdt. Eka Darmaputera mengingatkan kita untuk selalu waspada,

Kita jangan terpedaya oleh ajaran pendeta yang melenceng. Kita harus bersikap kritis untuk menyelidiki pengajaran pendeta tersebut dengan menggunakan tolak ukur Alkitab. Bagaimana kita tahu kalau ia menambah-nambah atau mengurangi firman Tuhan?. Tidak ada jalan lain. Anda sendiri harus akrab bergaul dengan firman Tuhan. Harus mempelajari firman Tuhan (Darmaputera, 2005c, 63).


Daftar Kepustakaan:

  1. BPMS GKI. 2009. Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Indonesia. PT. Adhitya Andrebina Agung, Jakarta.
  2. Darmaputera, Eka. 2004. “Identitas GKI” dalam Hodos, No.45 – 2004. Kelompok Kerja Pembinaan GKI Jabar, GKI Bekasi Timur, Jakarta.
  3. Darmaputera, Eka. 2005a. 365 Anak Tangga Menuju Hidup Berkemenangan. BPK Gunung Mulia, Jakarta.
  4. Darmaputera, Eka. 2005b. Sepuluh Perintah Allah: Museumkan Saja? Gloria Graffa, Yogyakarta.
  5. Darmaputera, Eka. 2005c. Iman dan Tantangan Zaman: Khotbah-Kohtbah Tentang Menyikapi Isu-Isu Aktual Masa Kini. BPK Gunung Mulia, Jakarta.
  6. Greer, Robert, C. 2003. Mapping Postmodernis: A Survey of Christian Options. InterVarsity Press. USA.
  7. Mohler, R. Albert. 2005. Truth and Contemporary Culture in Whatever Happened to Truth. Editor: Andreas Kostenberger. Corssway Books, Illinois, USA.
  8. Erickson, Milliad J. 2002. The Postmodern World: Discerning the Times and The Spirit of Our Age. Crossway Books, USA.
  9. Stetson, Brad and Conti, Joseph G. 2005. The Trurth about Tolerance: Pluralism, Diversity, and the Culture Wars. InterVersity Press, USA.