[ Penulis: Tjhia Yen Nie. Editor: David Tobing ]

Sabtu itu kami, dari tim redaksi Anugerah, dengan dipandu Pdt. Santoni dan Ibu Vera, berkunjung ke sebuah kebun buah, Arinda Village, di sekitar Bogor. Berkumpul di Griya Anugerah, pukul 05.00 WIB, kami berangkat diiringi gerimis pagi. “Semoga sampai di sana, hari cerah,” demikian kata saya dalam hati. Perjalanan selama dua jam tersebut terasa singkat, karena diiringi kantuk yang melanda. Sesampainya di sana,kami pun disambut tuan rumah yang sudah menantikan kedatangan kami semua.

Setelah beristirahat dan menikmati suguhan singkong rebus, jagung kelapa dan teh hangat, mulailah kami berkeliling kebun buah dengan dipandu pemilik kebun dan gonggongan anjing penjaga yang semuanya berwarna hitam.

Dan inilah inspirasi yang kami dapat dari kunjungan setengah hari kami ke kebun buah.


Durian, si Manis yang Berduri

“Ini adalah durian terakhir yang jatuh kemarin, kami simpan untuk kalian. Sayang, datangnya setelah musimnya selesai, jadi tidak bisa disajikan banyak…” demikian kata pemilik kebun. Segera kami pun membuka buah yang tinggal satu itu dan menikmatinya beramai-ramai.

20160524KebunBuah2Namun tanpa sengaja, kulit durian itu menggores jari saya ketika saya mengambilnya. Ternyata, kenikmatan sepotong durian tersebut harus dilalui dengan goresan kulitnya yang tajam.

Kulitnya yang tajam seperti duri itulah yang membuat buah ini dinamai durian. Namun bagi para pecinta durian, ketajaman kulit durian bukanlah halangan, karena mereka memiliki kiat-kiat tersendiri untuk membelahnya, dan yang terutama karena ada daging buah manis dibaliknya.

Hal ini tidak ubahnya didikan yang kita terima. Disiplin di sekolah, tugas dan tanggung jawab pekerjaan, rintangan dan kesulitan hidup. Hal tersebut dapat dianalogikan dengan duri-duri tajam yang menjanjikan sesuatu yang manis di dalamnya, setelah kita melewatinya.

Bagaimana dengan lingkungan sosial kita? Yang umum terjadi dalam pergaulan sosial, kita selalu menghindari duri-duri tajam yang dapat menusuk ego, perasaan, kenyamanan, bahkan diakui atau tidak hal ini terjadi dalam komunitas gereja. Seringkali yang terjadi, orang-orang yang dapat membuka kesalahan, berbicara frontal, tidak ubahnya duri-duri durian yang dihindari. Walaupun secara logika dan kristiani, hal itu tidak dapat dibenarkan. Tampak luar yang penuh dengan duri, membuat kita sengaja membuangnya jauh dari komunitas kita, dengan seribu satu alasan yang dibuat baik, agar kita dapat menghindari tusukannya. Berbeda dengan orang-orang yang berbalur kemanisan, tutur kata dan gaya yang mempesona, kadang sebelum mengenalnya jauh, kita sudah merasa nyaman.

Salah satu contoh orang berkarakter durian adalah Ahok. Perkataannya yang tajam, tindakannya yang tanggap dalam menangani berbagai kasus di pemerintahan menjadi duri-duri yang mengganggu sekitarnya, yang merasa tidak dapat mengimbanginya atau yang ditelanjangi kesalahannya. Tapi siapakah yang tidak setuju dengan kebijakan yang dia lakukan? Bukti bahwa setajam apapun duri-duri pada kulitnya, buah yang dihasilkannya manis. Itu membuat orang-orang mempercayainya. Pengakuan kinerja dia dinilai dari buah yang dihasilkannya, bukan dari kulit yang melingkupi gaya bicaranya.

Tentu saja karakter setiap orang adalah berbeda. Tuhan menciptakan karakter tiap manusia itu unik, sama seperti buah-buahan yang kita jumpai. Misalnya mangga harum manis, walaupun rasanya manis, kulitnya tetap hijau berbeda dengan mangga gincu, yang warnanya kuning kemerahan dengan cantiknya, rasanya manis sedikit asam. Srikaya, yang manis tapi banyak bijinya. Nangka, yang manis tapi bergetah. Kesemek, yang penuh dengan lapisan putih bak bedak menaburi kulitnya. Semua adalah ciptaan Tuhan yang ditempatkan di dunia ini dengan mengemban misi sebagai sumber vitamin dan antioksidan. Bahkan buah pare pun yang pahit rasanya, memiliki kandungan vitamin.

Orang akan menilai kita dari buah yang kita hasilkan. Dalam Efesus 5:9, “Karena terang hanya berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran.” Ayat ini mengingatkan kita bahwa jika kita berakar dalam terang, maka hanya buah berupa kebaikan, keadilan dan kebenaran saja yang kita hasilkan.

Pohon durian akan menghasilkan buah durian, bukan? Tidak mungkin buah jeruk dihasilkan dari pohon durian. Bagaimana jika dalam kehidupan sehari-hari, buah yang kita hasilkan adalah kepahitan dan kekecewaan bagi orang lain? apa yang kita lantunkan tidak sama dengan apa yang kita lakukan? Tentu ini menjadi cermin bagi diri kita, pantulan pohon apakah yang ada pada cermin di depan kita.


Pepaya yang Matang

“Bukankah pepaya itu tumbuhan monokotil?” tanya saya terheran melihat pohon pepaya bercabang, bahkan ada yang bercabang tiga dengan buahnya bergelantungan di tiap cabangnya.

Masih di kebun yang sama, kami mengunjungi bagian kebun pepaya, sekelompok pohon pepaya rimbun dengan buahnya yang banyak. “Ambil saja yang kalian mau!” seru pemilik kebun. Dengan semangat kami memetik buah-buah yang matang di pohonnya sambil merasa sayang pada buah-buahan yang terlalu matang, membusuk di pohon, bahkan ada yang sudah berjatuhan di tanah.

“Sayang sekali!” seru seorang teman melihat buah-buahan yang berjatuhan.

Perkataan dan gambaran tentang buah pepaya tersebut menggambarkan bagaimana keadaan kita dan talenta yang sudah Tuhan berikan bila tidak dimanfaatkan. Pepaya manis dan menyegarkan, sebanyak apapun vitaminnya, sebanyak apapun jumlahnya, hanya akan memberi manfaat jika dikonsumsi.

Bukankah demikian dengan talenta kita?

Beberapa hari lalu, saya bertemu seorang ibu muda yang mengisahkan cuplikan kehidupannya sebagai survival kanker. Betapa bahagia dirinya setelah operasi yang berlangsung dokter menyatakan bahwa dirinya bebas dari kanker, dan nazar yang dilakukannya adalah membuat buku tentang kisah hidupnya agar bisa menyemangati sesama penderita kanker. Namun ternyata enam bulan kemudian, dia mendapati dirinya sudah memasuki kanker stadium 3 di organ tubuh lainnya. Saya tercekat mendengar dirinya berkata-kata, tetapi hal sebaliknya yang terjadi dengan dia. Dengan tersenyum dan ceria dia mengatakan bahwa dia tidak menyalahkan siapa-siapa, tetap akan berjuang memproduksi buku untuk menyemangati sesama penderita kanker. Mendengar kisahnya seakan saya mendapati diri saya menikmati buah manis dari seorang kristiani.

Dalam bukunya yang berjudul Outliers, Malcolm Gladwell mengangkat topik seorang genius bernama Christopher Langan. Pada kuis televisi 1 vs 100 episode ke-5 tahun 2008 di Amerika Serikat, pembawa acara memperkenalkan Chris Langan, sebagai orang terpintar di Amerika. Jika Einstein memiliki IQ 150, maka Chris memiliki IQ 195. Namun potensi sebesar itu tidaklah tergali, karena lingkungan yang tidak mendukungnya. Chris yang sudah dapat bicara saat 6 bulan, dapat membaca saat 3 tahun, dapat mengikuti ujian bahasa asing tanpa mempelajarinya terlebih dahulu, menghadapi jawaban tidak menyenangkan dari guru kalkulusnya saat dia bertanya. Chris yang dilahirkan dari keluarga miskin, harus kehilangan beasiswa karena ibunya tidak mengisi formulir administrasi perpanjangan beasiswanya karena tidak mengerti apa yang harus diisi. Tanpa gelar, dia bekerja serabutan bahkan sempat menjadi seorang tukang pukul, sambil terus menenggelamkan dirinya dalam dunia matematika, fisika, dan filsafat, mengerjakan sebuah risalat yang disebutnya CTMU (Cognitive Theoritic Model for Universe). Tapi tanpa adanya gelar akademis, dia merasa tidak akan bisa menerbitkan jurnal sains.

Setiap manusia dikaruniai buah-buah manis oleh Sang Pencipta, bagaimana diri kita dan komunitas memperlakukan buah-buah tersebutlah yang akan menentukan apakah buah tersebut dapat diserap nutrisinya bagi sesama, memberikan kesegaran bagi manusia lain, atau dibiarkan jatuh dan membusuk.

Kepandaian Chris tidak ubahnya seperti buah-buah pepaya yang matang dan berjatuhan. Seandainya Chris berada di lingkungan yang mendukungnya, guru kalkulusnya mau mendengar pertanyaannya, ibunya mengisi formulir beasiswanya, mungkin Chris dengan talenta kecerdasannya dapat memberikan sumbangsih yang lebih besar kepada dunia dibanding yang terjadi saat ini. Buah yang manis itu tidak akan membawa manfaat jika dibiarkan begitu saja, demikian juga yang terjadi pada Chris oleh lingkungannya. Talenta dan kesempatan adalah buah yang manis, yang Tuhan berikan dengan menuntut pertanggungjawaban setiap pribadi, namun komunitas pun turut bertanggungjawab sebagai kebun dimana talenta tersebut ditanam.

Bagaimana kita memperlakukan orang-orang yang sudah Tuhan tempatkan di sekeliling kita? apakah kita mendukung mengembangkan talenta mereka, atau kita menjatuhkan buah-buah yang sudah Tuhan percayai ada dalam diri mereka? Chris yang bersekolah dasar di sekolah anak-anak nakal, adalah anak sulung dari seorang wanita yang diasingkan keluarganya. Ibu Chris memiliki empat anak laki-laki, masing-masing dengan ayah berbeda. Sedangkan Jack Langan, suami keempatnya adalah seorang pemabuk yang kerap memukuli anak-anaknya dengan cambuk. Chris yang tumbuh dalam kekerasan rumah tangga, yang seharusnya mendapatkan bantuan dari lingkungannya, namun ternyata sebaliknya. Lingkungan tidak nyaman dengan dirinya, menganggapnya aneh dan nakal, bahkan tidak membantunya memecahkan kesulitan sosial yang dia hadapi. Dan itulah yang menyebabkan seorang dengan IQ 195 tidak lulus kuliah. Apakah kita sama seperti lingkungan di mana Chris berada?

Bandingkan dengan ibu muda penderita kanker di atas, seorang temannya dengan mengendarai motor mengantarkannya untuk mewujudkan bukunya, bersedia menemaninya ke rumah sakit untuk menemui dokter-dokter yang ingin dia tanyai. Komunitas di mana dia berada saling memperhatikannya, bahkan saat dokter memintanya untuk segera melakukan kemoterapi, dia mengatakan akan melakukan pelayanan menyanyi dalam persekutuan di komunitasnya dahulu, memuji Tuhan. Keterikatannya dengan lingkungan di mana dia berada mengakomodir buah-buah manis dalam dirinya terpancar.

Kita pun memiliki buah-buah manis dalam diri kita. Bagaimana kita memperlakukan apa yang kita miliki; ilmu, ketrampilan, waktu, perhatian, kesehatan, harta, dan sebagainya. Sang Pencipta telah memberikan waktu 24 jam sehari, oksigen berlimpah untuk dihirup, tubuh yang segar untuk beraktivitas, penghasilan untuk kebutuhan hidup. Apakah semua kita petik dan manfaatkan, atau dibiarkan begitu saja, lalu jatuh sia-sia?

Ada sebuah kisah tentang orang tua sebatang kara yang hidup dengan hemat. Begitu hematnya sampai teman-teman dan kerabatnya menganggap dia miskin dan hidup dari pemberian. Pakaian yang dipakai, makanan yang dimakan, rumah yang ditempati. Kekurangannya begitu nyata. Namun alangkah kagetnya mereka, ketika meninggal dunia kerabatnya mendapati begitu banyak uang yang dia simpan. Untuk apa? tidak ada manfaatnya bagi dirinya pun setelah tiada.

Kiranya kita dapat mengakomodir buah-buah manis yang Tuhan berikan pada kita dan sesama, karena apapun milik kita tidak akan berguna bila tidak didistribusikan untuk sesama.