[ Penulis: Benedictus Leonardus. Editor: David Tobing. ]

Kebenaran adalah sebuah kata yang sering diperdebatkan dan dapat berujung pada konflik. Apakah kebenaran bersifat absolut atau relatif? Sebagai jemaat Tuhan kita sering diperhadapkan untuk memilih kebenaran. Apakah kebenaran yang kita yakini adalah kebenaran yang sesungguhnya? Bagaimana posisi GKI terhadap kebenaran?

Dengan jelas tercantum dalam Pengakuan Iman GKI dimana GKI mengaku imannya bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat dunia, Sumber kebenaran dan hidup (BPMS GKI, 2009, 22). Apa maknanya? Menurut Pdt. Eka Darmaputera,”Artinya: bagi GKI, sumber kebenaran dan sumber hidup itu adalah Yesus Kristus, dan hanya Yesus Kristus saja (2004, 26).

Pengakuan Iman GKI bahwa Yesus Kristus adalah Sumber kebenaran menunjukkan bahwa GKI meyakini bahwa satu-satunya kebenaran adalah Yesus Kristus. Yesus Kristus adalah kebenaran yang mutlak. Dalam penjelasan mengenai Pengakuan Iman GKI ini Pdt. Eka Darmaputera menulis,”Yesus Kristus adalah kebenaran yang mutlak/absolut. Hanya ada satu Tuhan, dan hanya ada satu yang sempurna – tidak bisa salah – (=innerrant), yaitu YESUS KRISTUS - bukan yang lain (2004, 26).

Bagi kekristenan, kebenaran identik dengan pribadi – Yesus Kristus. . . with Christianity, the truth is finally personal (Dever, 2000, 139). The truth is Jesus himself (Kostenberger, 2005,12). Ratzinger (Paus Benedictus XVI) menegaskan bahwa Yesus adalah kebenaran. He is truth in person (2003, 67). Kebenaran tersebut bersifat absolut dan melampaui segala zaman dan tempat. Christian theism views truth as absolute. If something is “true,” that is, if it coreesponds to God’s perspective, then it is true for all people in all places at all times (Baucham, 2009, 53).


Yesus Kristus – Kebenaran Mutlak

Yesus Kristus adalah Sumber kebenaran karena Yesus tidak mencari dan menggali kebenaran tetapi Yesus sendiri adalah kebanaran itu. He (Jesus) does not shape truth. he is truth – truth that lives (Greer, Rober C, 2009, 229). Karena Yesus Kristus adalah Sumber kebenaran, maka Yesus Kristus adalah standar untuk menilai kebenaran dalam ajaran. Pdt. Eka Darmaputera,”Yesus Kristus pula yang menjadi tolak ukur untuk menilai apakah suatu ajaran itu benar atau salah” (Damaputera, 2004, 26).

Setelah kita mengetahui bahwa Yesus adalah Sumber kebenaran mutlak, kita tidak perlu mencari-cari kebenaran kebenaran yang lain. Kebenaran mutlak adalah pribadi yang menyatakan diriNya kepada kita yaitu Yesus Kristus. Absolute truth is not thing to be studied, quantified and qualified. Rather, absolute truth is a person to be known (Joh 14:6), a person who has the freedom to reveal himself . . . absolute truth has a name: Jesus Christ. As the Creator of the heavens and the earth, Jesus Christ is the personafication of truth par excellence . . . (Greer, 2009, 171,217).

Karena Sumber kebenaran adalah Yesus Kristus maka jangan bersandar kepada dogma atau ajaran untuk menentukan kebenaran. Kita menghormati ajaran-ajaran itu tetapi sumber kebenaran dan hidup kita tidak ditentukan oleh dogma-dogma tertentu, tetapi oleh sumber kebenaran dan hidup kita, yaitu Tuhan yang hidup (Darmaputera, 2004, 26).

Mengapa kebenaran mutlak/absolut ini penting? Karena kebenaran mutlak/absolut ini menjadi dasar untuk menilai kebenaran-kebenaran yang lain. Kebenaran mutlak/absolut ini kita dapatkan pada kehidupan, pelayanan dan ajaran dari Yesus Kristus. This alignment needs to start with finding the foundation by which all truths must be judged – the true truth, which is found in Jesus Christ’s life, work and teaching (Lindsley, 2007, 21)


Tantangan Terhadap Sumber Kebenaran

Gereja adalah institusi yang didirikan langsung oleh Yesus Kristus, Pribadi Kedua dalam Allah Tritunggal. “Dan Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya” (Matius 16:18). Sebagai jemaat Yesus Kristus yang menjalani kehidupan pada era ini menghadapi berbagai tantangan yang menggugat Sumber kebenaran ini.

Hidup di dunia posmodernis mau tidak mau kita diperhadapkan kultur relativisme yang merelatifkan semua hal diantaranya realitas, kebenaran, nilai-nilai, alasan, dst. Postmodernist represents a form of cultural relativism about such things as reality, truth, value, reason, and so forth (Kostenberger, 2005, 79). Posmodernis tidak mengenal kebenaran yang mutlak. Postmodernism affirms the nonexistence of absolute truth (Greer, 2009, 13)

Karena semua serba relatif termasuk etika dan moral maka tidak ada standar absolut untuk menilai moral termasuk nilai-nilai (values) yang menjadi panduan dalam berperilaku. Ketika terjadi konflik, tidak ada standar moral untuk menentukan siapa yang benar atau salah. Greer mengutip Schaeffer yang mengatakan, “There must be an absolute if there are to be morals, and there must be an absolute if there are to be real values. If there is no absolute beyond man’s ideas, then there is no final appeal to judge between individuals and groups whose moral judgment conflict” (Greer,2009, 88). Harus ada kemutlakan/keabsolutan dalam kaitannya dengan moral dan nilai-nilai. Kalau tidak akan muncul anarkisme.

Era posmodernis yang menolak adanya kebenaran absolut yang berperan sebagai prinsip/dasar utama dimana semua “kebenaran” harus diturunkan dari prinsip utama tersebut maka yang akan terjadi adalah runtuhnya standar moralitas. Masyarakat akan melakukan apa yang benar di mata mereka sendiri. Sebuah metode yang dikutuk dalam Alkitab dan akan menghadapi penghakiman Tuhan. With such a pluralism of truth, socisty begins to do what is right in their own eyes (cf. Judg 17:6, 21:25), a recipe condemned in Scripture and subject to divine judgment (Greer,2009, 88).

Posmodernis dengan waham relativisme ini bukan hal yang baru. Iblis sejak dahulu kala sudah menawarkan relativisme ini kepada manusia. Iblis dengan cerdiknya menawarkan kebenaran yang relatif kepada Adam dan Hawa. Sebagaimana dikutip oleh Greer, Josh McDonwell and Bob Hostetler dalam bukunya The New Tolereance, mengidentifikasi postmodernism with Satan’s lie in the Garden of Eden. Paraphrasing Genesis 3:6, they write, “I will be my own god, I will deterimne what is right or wrong, what is true of false, what is good or evil. (Greer, 2009, 89). Sebuah tawaran dari Iblis dimana kita dapat menjadi tuhan-tuhan yang menentukan apa yang benar dan salah, apa yang baik dan jahat.

Pola yang digunakan Iblis untuk memperdayakan manusia tidak berubah. Pdt. Eka Darmaputera mengingatkan kita untuk waspada terhadap manuver-manuver Iblis.

“Iblis, seperti biasa tidak sepenuhnya memutarkanbalikkan kenyataan. Yang ia lakukan adalah memutarbalikkan cara pandang orang. Namun, justru inilah bentuk “fitnah” dengan kualitas nomor satu! Yaitu ketika Iblis, melalui manuvernya itu, dengan cerdiknya memutarbalikkan cara pandang manusia terhadap Allah” (Darmaputera, 2005a, 230,231)
Iblis akan menjungkirbalikkan kesadaran moral manusia. Yang benar jadi salah, yang salah jadi benar. Orang-orang Yahudi menyalibkan Yesus pasti justru merasa sedang mengemban tugas suci membela kebenaran. Sungguh mengerikan dunia ini, bila norma-norma kebenaran terbalik-balik seperti itu (Darmaputera, 2005b, 477)


Dafar Pustaka

  1. Baucham, Voddie.Jr. 2009. Truth and the Supremacy of Christ in a Postmodern World in Truth and the Supremacy of Christ in a Postmodern World. Editor John Piper and Justin Taylor. Crossway Book, USA.
  2. BPMS GKI. 2009. Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Indonesia. PT. Adhitya Andrebina Agung, Jakarta.
  3. Darmaputera, Eka. 2004. “Identitas GKI” dalam Hodos, No.45 – 2004. Kelompok Kerja Pembinaan GKI Jabar, GKI Bekasi Timur, Jakarta.
  4. Darmaputera, Eka. 2005a. Sepuluh Perintah Allah – Museumkan saja? Gloria Graffa, Yogyakarta.
  5. Darmapuetra, Eka. 2005b. 365 Anak Tangga Menuju Hidup Berkemenangan. BPK Gunung Mulia, Jakarta.
  6. Dever, Mark E. 2000. Communicating Sin in a Postmodern World in Telling Truth: Evangelizing Postmoderns. General Editor: D.A. Carson. Zondervan, USA.
  7. Greer, Robert C. 2009. Mapping Postmodernism: A Survey of Christian Options. InterVersaty Press, USA.
  8. Kostenberger, Andreas, 2005. Introduction in Whatever Happened to Truth. Editor: Andreas Kostenberger. Crossway Books. USA.
  9. Lindsley, Art. 2007. True Truth: Defending Absolute Truth in a Relativistic World. InterVersity Press, USA.
  10. Ratzinger, Joseph Cardinal. 2004. Truth and Tolerance: Christian Belief and World Religions. Ignatius Press, San Fransisco, USA.