[ Penulis: Benedictus Leonardus. Editor: David Tobing ]

Setiap minggu dalam kebaktian setelah khotbah, dipimpin oleh penatua dengan kalimat pengantar: “Marilah kita bersama dengan umat Tuhan dari segala abad dan tempat mengakui iman percaya kita seturut dengan Pengakuan Iman Rasuli yang demikian bunyinya…,” kita dengan berdiri mengucapkan / mengikrarkan Pengakuan Iman Rasuli yang terdiri dari 12 pasal.

Pengakuan Iman Rasuli adalah salah satu pengakuan iman yang diterima oleh GKI selain Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel dan Pengakuan Iman Athanasius sebagaimana tercantum dalam Pasal 3.1, Tata Dasar GKI. Dari ketiga pengakuan iman tersebut yang sering diucapkan dalam kebaktian Minggu adalah Pengakuan Iman Rasuli.

Mengapa kita memerlukan pengakuan iman tersebut? Sebuah pengakuan iman, atau kredo, atau syahadat, fungsinya adalah sebagai sebuah rumusan baku mengenai apa yang harus kita percayai sebagai orang Kristen. Apa yang minimum, atau apa yang paling sedikit harus dipercayai sebagai orang Kristen. Boleh lebih, tidak boleh kurang, 12 pasal tidak boleh 11 pasal (Darmaputera, 2005b, 9).

Mark Jonston mengatakan kredo adalah pengakuan terhadap apa yang diajarkan Alkitab. Sebuah pengakuan iman terhadap Allah Tritunggal dan karyaNya dalam penciptaan, penebusan dan pemulihan. The creed is a confession of what the Bible teaches us. It is a confession of our faith in our great triune God, and the wonder of his work in creation, redemption, and consummation (Jonston, Mark G, 2012, 10). Kredo ini adalah rumusan ajaran dasar Gereja yang disusun berdasarkan isi Alkitab. Secara garis besar, pengakuan iman ini dapat dikatakan bersifat Trinitarian (percaya Allah Tritunggal), dengan isi utamanya atau esensinya adalah Yesus Kristus, Anak Allah.

Pengakuan iman berasal dari istilah Latin, credo, dalam bahasa Indonesia – kredo, yang berarti “Aku percaya.” Kredo atau pengakuan iman ini digunakan untuk menunjuk pada pokok-pokok dasar iman yang dipercaya orang Kristen, yang diterima secara umum (universal). A creed is a statement that describes our beliefs (Parsons, 2012, 9). Sebuah kredo yang telah diterima sebagai suatu ringkasan pokok-pokok iman Kristen yang formal dan berlaku universal di segala tempat dan sepanjang zaman. Dan Gereja menggunakan pengakuan iman ini untuk mengungkapkan pokok iman yang dipegang oleh nya. The church uses creedal statements and confessional formulas to articulate the content of its faith (Sproul, R.C. 1998, 25).

Kredo berisi ringkasan doctrinal yang berasal dari Alkitab. So creeds . . . are written, formulated explanations meant to provide us with a clear summary of the doctrine of Scripture (Parsons, 2012, 23). Dan berfungsi sebagai peta penunjuk arah bagi kita, dalam mempelajari Alkitab supaya kita tidak menyimpang dari pokok-poko dasar ajaran Alkitab. . .  it may be helpful to think of creeds as maps, or guides, to help us navigate our way as we study God’s Word (Parsons, 2012, 20). 

Dr. Christian de Jonge menjelaskan fungsi pengakuan iman demikian: 

“untuk memberi pegangan dalam membaca Alkitab, supaya anggota-anggota gereja tidak tenggelam dalam Alkitab. Dengan demikian pengakuan mengandung secara implisit pemahaman tentang apa yang merupakan hal-hal pokok dalam Alkitab, suatu tafsiran tentang Alkitab, bahkan suatu ringkasan” (Jonge, 2009, 94).


Perumusan Pengakuan Iman Oikumene

Ketiga rumusan pengakuan iman yaitu Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel dan Pengakuan Iman Athanasius memuat konsep dasar iman Kristen yaitu percaya kepada Allah Tritunggal.  Ketiga pengakuan iman ini kemudian dikenal sebagai tiga simbol oikoumenis. Kredo lazimnya memiliki otoritas yang berisi pokok-pokok ringkas kepercayaan yang disetujui dan dibenarkan oleh orang-orang percaya dan dapat diterima oleh semua gereja. Dengan demikian pengakuan iman tidak harus berkaitan dengan suatu denominasi gereja saja, melainkan pengakuan yang universal (ekumenis). Adapun pernyataan iman yang terbatas suatu denominasi gereja saja biasanya disebut dengan “konfesi” (confession).

Pengakuan iman selain berisi pokok-pokok iman berdasarkan Alkitab juga berfungsi sebagai pagar/rambu-rambu untuk membedakan ajaran yang benar dan ajaran bidaah/sesat pada masa Bapa-Bapa gereja di abad ke 4. Rumusan ini disusun sebagai respon/tanggapan terhadap kalangan yang mengaku Kristen namun tidak mengakui ketuhanan/keilahian Yesus. Untuk melawan ajaran sesat yang telah menyimpang dari doktrin yang benar, gereja memandang perlu untuk memiliki kredo untuk melindugi umat dari ajaran bidaah . . . to combat false teaching that strayed from sound doctrine, the church found it necessary to have creedal statements in order to guard against outright heresy (Parsons, 2012, 28)

Persoalan yang muncul pada saat itu adalah mengenai kristologi. Apakah Yesus itu Allah atau tidak? Keilahian Yesus berkaitan erat dengan keselamatan. Arius dan kelompoknya menolak keilahian Yesus. Bagi mereka Yesus adalah ciptaan yang derajatnya lebih rendah dari Allah. Yesus menyerupai Allah, namun bukan Allah. Jika pandangan Arius ini diterima, berarti Yesus bukan Allah, dan kematian-Nya di kayu salib tidak dapat menebus dosa manusia. Hanya Anak Allah yang dapat menebus dosa manusia. If the Son were not God, His death on the cross could not pay for the sins of others. It would only provide an example of sacrificial love. Only a son who was truly God could die a death that could redeem sinful men (Hoffecker, 1986, 76).

Athanasius menolak pandangan Arius karena tidak sesuai dengan ajaran Alkitab. Bagi Athanasius, hanya Yesus Kristus yang ilahi, yang dapat menyelamatkan manusia. Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel mengafirmasi pandangan Athanasius mengenai keilahian Yesus. Hanya Allah yang berinkarnasi menjadi manusia yang dapat menebus dosa manusia. Jika Yesus bukan Allah maka inkarnasi, kematian dan kebangkitan-Nya tidak dapat menyelamatkan manusia berdosa. Only a Jesus who is truly God and truly man can provide complete salvation for humanity (Eckman, 2004,121).

Kredo dibuat untuk mengafirmasi otoritas firman Tuhan. In essence, the church’s creeds and confessions of faith do not stand as authorities over but rather serve as affirmations of Scripture’s authority for all of faith and life (Parsons, 2012, 19). Kredo menggambarkan / merefleksikan pokok-pokok dasar Alkitab bukan untuk merumuskan ajaran baru diluar kebenaran Alkitab. Kebenaran yang sejati bukan merupakan hasil cipta/karya manusia tetapi harus digali dari Firman Tuhan. 

. . . creeds cannot create new revelation, invent new teachings, or make new laws to bind the consciences of God’s people. Creeds serve to affirm the authority of God’s Word, not to stand alone as authorities unto themselves. Creeds are formulated and subscribed to as if they were theological mirrors of the Bible’s fundamental doctrine. As such, creeds exist to summarily reflect the truth, not to advance new truths . . . Truth isn’t created by man, but only learned from God. . .  (Parsons, 2012, 19)


Pengakuan Iman Oikumene Dalam Tantangan

Kita perlu memahami dan mendalami isi Pengakuaan Iman Rasuli agar ditengah rupa rupa angin pengajaran, kita tetap setia dan terus berani mempersaksikan iman kita. Berbagai upaya dilakukan oleh pihak-pihak tertentu termasuk mereka yang mengaku Kristen untuk menolak Pengakuan Iman ini baik secara terbuka maupun terselubung dan berupaya untuk merubahnya bahkan menggantikannya.

Dalam kebaktian Minggu, yang lebih sering kita ucapkan adalah Pengakuan Iman Rasuli sebab rumusannya paling singkat sehingga mudah dihafal. Pengakuan Iman Rasuli pasal 1 menyatakan “Aku percaya kepada Allah, Bapa yang Mahakuasa, Khalik langit dan bumi.” Pasal ini menegaskan bahwa Allah yang menciptakan alam semesta. Mengakui bahwa Tuhan adalah Pencipta dan kita bukanlah hasil dari sebuah kecelakaan kosmis yang tidak bernilai sama sekali. To confess that God is Creator is to confess that we are not cosmic accidents, devoid of ultimate value (Sproul, R.C. 1998, 55).

Kita mengaku, “Aku percaya pada Tuhan.” Pengakuan itu bukanlah ekspresi imajinasi kreatif atau sebuah proyeksi, tetapi sebuah pengakuan terhadap Yang Maha Esa yang memanifestasikan dirinya dalam penciptaan, dalam sejarah umat manusia, dalam tindakan dan firmanNya. Allah yang menyatakan diriNya di dalam Kristus. We confess, “I believe in God.” That confession is not an expression of creative imagination or instant projection, but a response to the One who manifests himself in cretion, in history, in deed and in word, and, supremely, in Christ (Sproul, R.C. 1998, 42). Dia menyatakan diriNya melalui sejarah penebusan. He reveals himself through redemptive history. . . God is known generally in creation and specifically in the events of redemptive history (Sproul, R.C. 1998, 39). Dan yang terpenting, Tuhan yang kita kenal dalam kredo adalah Tuhan yang disaksikan dalam Alkitab. The God of the creed is the God of the Bible (Jonston, Mark G, 2012, 31). 

Pengakuan Iman Rasuli pasal 2: “Dan kepada Yesus Kristus, Anak-Nya yang tunggal, Tuhan kita.” Pasal ini jelas menekankan keilahian Yesus Kristus. Yesus Kristus sehakikat (same essence / homo ousios) dengan Bapa. Keilahian Kristus sama dengan Allah Bapa, tidak lebih rendah dari Bapa. This affirmation declared that the Second Person of the Trinity is one in essence with God the Father. That is, the “being” of Christ is the being of God. He is not merely similar to Deity, but He is Deity (Sproul, 2013, 81). Aku percaya kepada Yesus Kristus, AnakNya Yang Tunggal, Tuhan kita adalah pokok pokok dasar iman Kristen. Hingga saat ini masalah kristologi yang menyangkut keilahian Yesus ini terus digugat oleh mereka yang skeptis dengan menyatakan Yesus Kristus bukan Allah. Yesus adalah manusia biasa yang bermoral tinggi. 

Pengakuan Iman Rasuli pasal 3 menyatakan “yang dikandung dari Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria.” Pasal ini menegaskan Yesus, dengan kuasa Roh Kudus dikandung secara ajaib dan dilahirkan oleh anak dara Maria. Jesus’s birth was the result of a miraculous conception whereby the Virgin Mary conceived a baby in her womb by the power of the Holy Spirit, without a human father (Sproul, 2013, 89). Kelahiran Yesus Kristus dari Maria menunjukkan Allah yang transenden sekaligus imanen datang hadir dalam diri Yesus.  The virgin birth – or, more accurately, the virginal conception – of the Lord Jesus Christ is the point at which the transcendence and immanence of God converge . . . (Jonston, Mark G, 2012, 41). 

Doktrin kelahiran Yesus dari perawan Maria ini sangat penting karena berkaitan dengan keilahian Yesus. Pada umumnya mereka yang menolak doktrin ini juga menolak karya penebusan Kristus di kayu Salib dan kebangkitan jasmani. Those who do not believe in the Virgin Birth usually do not believe that Jesus is the Son of God. Thus, the Virgin Birth is a watershed doctrine, separating orthodox Christians from those who do not believe in the Resurrection and Atonement (Sproul, 2013, 90). Doktrin kelahiran Yesus dari anak dara Maria menjadi sasaran serangan mereka yang skeptis dari masa ke masa. Central to this mystery is the virgin birth of Christ. While this doctrine has been mercilessly attacked over the years, it stands as one of the foundational tenets of the Christian faith (Sproul, 1998, 48). 

Pengakuan Iman pasal 4: “yang menderita sengsara di bawah pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, mati dan dikuburkan, turun ke dalam kerajaan maut.” Manusia tidak dapat menyelamatkan dirinya dengan usaha sendiri. Hanya Allah yang menjadi manusia yang dapat menyelamatkan kita. Kematian Yesus di kayu salib untuk menebus dosa kita. Yesus menggantikan kita untuk mendamaikan kita dengan Allah. Bagian ini hendak mengatakan bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah yang melalui kehidupan, kematian dan kebangkitan-Nya - berkarya untuk menyelamatkan semua manusia. Dialah Tuhan kehidupan.

Manusia otonom yang memutlakkan dirinya menolak kematian Yesus untuk menebus dosa. Bagi mereka kisah dalam Kejadian adalah fiksi, legenda, mitos. Mereka menolak kejatuhan manusia dalam dosa yang dilukiskan dalam Kitab Kejadian termasuk sejarah penyelamatan. Mereka berkeyakinan manusia dilahirkan tanpa beban dosa asal dan dapat menjalani kehidupan tanpa berbuat dosa serta dapat menyelamatkan diri sendiri. Tidak ada tempat bagi Yesus dan karya penebusanNya di kayu salib bagi kalangan ini.

Pengakuan Iman pasal 5 dan 6: “pada hari ketiga, bangkit pula dari antara orang mati; duduk di sebelah kanan Allah Bapa yang Mahakuasa.” Kebangkitan Yesus sering dianggap tidak sepenting dibandingkan dengan kelahiran dan kematian Yesus. Padahal kebangkitan merupakan rangkaian dari sejarah keselamatan. Kenaikan Yesus menunjukkan kemuliaan Yesus yang mendapat tempat istimewa, duduk di sebelah kanan Allah Bapa. Yesus berkuasa atas alam semesta. Jesus’ ascention refers to His going to a special place for a special purpose. He goes to the Father, to the Father’s right hand. He rises to the seat of cosmic authority. Jesus go to heaven for His coronation, His confirmation a s the king of Kings (Sproul, 2013, 100).

Ironis sekali kebangkitan Yesus yang disaksikan oleh Alkitab ini ditolak oleh mereka yang seharusnya membela kebangkitanNya. Sebagian teolog, pendeta dan akademisi menolak kebangkitan-Nya. Bagi mereka kebangkitan Yesus tidak lebih dari sebuah mitos, yang tidak mungkin terjadi dalam segala tempat dan waktu. The resurrection is now firmly denied within the Christian church by a multitude of clergy and academicians. Bultman and modern theologians speak of the risen Christ, but the resurrection did not happen in historical time and space. The resurrection is a myth. Jesus Christ is died, is dead, and will remain dead (Sproul, 1998, 130). Padahal dengan jelas Alkitab memberitakan kesaksian tentang kebangkitan Yesus secara jasmaniah.

Pengakuan Iman Rasuli pasal 7: ”dan dari sana Ia akan datang, untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati.” Kita sebagai orang pecaya menantikan kedatangan Yesus. Kedatangan Yesus yang pertama untuk menebus dosa kita. Kedatangan Yesus yang kedua di dalam kemualiaanNya untuk memulihkan kerajaan-Nya dimana setiap orang akan bertekuk lutut di hadapanNya. Kerajaan Allah memang sudah datang dan akan mencapai kepenuhannya pada kedatangan Yesus yang kedua kalinya. The New Testament indicates that the kingdom of God is both present and future. There is an “already” and “not yet” to the kindom. Both aspects must be understood and embraced by Christians. To view the kingdom either as already totally realized or as totally futuristic is to do violence to the message of the New Testament. We serve King who has already been enthroned. Yet we await His triumphal return in glory when every knee will bow before Him (Sproul, 2013, 288).  

Pengakuan Iman Rasuli pasal 8,9,10,11,12: “Aku percaya kepada Roh Kudus; gereja yang kudus dan am, persekutuan orang kudus; pengampunan dosa; kebangkitan orang mati; dan hidup yang kekal.” Roh Kudus mendamaikan orang berdosa dengan Allah, meruntuhkan penghalang yang ada sejak kejatuhan manusia. Orang berdosa yang dulunya jauh sekarang menjadi dekat dan dapat memiliki relasi yang intim dengan Allah. The Spirit reconciles sinners to God, breaking down barriers of separation erected by the fall. The sinner who was far off is brought near (Sproul, 1998, 130). Gereja adalah persekutuan orang kudus karena kita dikuduskan oleh Tuhan yang tidak akan membiarkan kita jatuh. 

Penolakan pokok-pokok dasar iman Kristen dalam Pengakuan Iman Rasuli ini karena manusia menganggap dirinya sebagai tuan alam semesata yang tidak tunduk kepada kekuasaan apapun. Ia merasa dirinya otonom tidak takluk kepada norma mana pun yang dipaksakan kepadanya dari luar atau dari atas. Ya, natur manusia yang berdosa ini menolak kebenaran mutlak yang disaksikan Alkitab dan mengantikannya dengan pikiran manusia otonom. Manusia telah memberhalakan dirinya. The Bible teaches that because of our sinful nature we inevitably attempt to dethrone what is truly ultimate, to commit treson against God, by substituting something creaturely in His place (Rom. 1:16-25) (Hoffecker, 1986, 324).


Manusia Otonom Yang Memutlakkan Dirinya

Para filsuf, sepanjang sejarah pemikiran abad 15 hingga 19, menempatkan otonomi manusia di atas otoritas Tuhan. Manusia bukan makhluk yang terbatas. Keterbatasan manusia dapat diatasi dengan berbagai metode scientific. Metode scientific ini menggantikan konsep Alkitab yang menyatakan bahwa manusia berdosa dan hanya dapat diselamatkan oleh anugerah Allah.

Rasio manusia ditempatkan sedemikan mutlaknya sehingga menjadi sumber kebenaran, bahkan dijadikan dasar untuk mencapai kesempurnaan dalam berbagai bidang. Man’s reason was seen to be all-powerful, the source of truth, even the basis for human and socio-economic perfection (Currid, 1986, 138). Karena itu para pemikir humanis menolak hal hal yang berkaitan dengan supranatural. Potensi manusia yang tak terbatas menjadi dogma baru. Humanist thinkers make denial of the supernatural and affirmation of human potenetial the new dogmas ((Hoffecker, 1986, 7).

Dengan menekankan pentingnya posisi manusia dan alam semesta, the Renaissance (Renaisans), the Enlightenment (Pencerahan), dan the Revolution Romantic (Revolusi Romantisme) membuka jalan sepenuhnya untuk kembali ke naturalisme kuno bangsa Yunani. Pemikir sepanjang tiga periode tersebut secara selektif masih menggunakan Firman Tuhan dalam sistem pemikiran mereka, tetapi mereka secara bertahap pelan pelan menyingkirkan Tuhan dari pusat pemahaman mereka tentang realitas.

Presuposisi alkitabiah mengajarkan bahwa Tuhan dan Firman yang diwahyukanNya adalah otoritas kebenaran yang mutlak. Sedangkan romantisme menyimpulkan bahwa kesadaran diri manusia yang terdalam dan juga perasaan, atau intuisi dalam diri manusia lah yang menjadi penentu akhir sebuah kebenaran. Compared to biblical presuppositions, which teach that God and His revealed Word are the final, absolute authority regading truth, romantiscim concluded that man’s own inner consciousness, feeling, or intuition serves as the ultimate arbiter of truth (Currid, 1986, 148). 

Filsuf terkemuka, Protagoras, yang berulang kali muncul dalam literatur humanis sebagai sang pengayom, terkenal dengan doktrin/motto sentral humanisme yaitu “homo mensura” (men is the measure of all things), “Manusia adalah tolok ukur dari segala sesuatu.” Berarti manusia, secara individu dan kolektif, menjadi satu-satunya tolok ukur untuk menentukan pengetahuan. By this he meant that man, individually and collectively, is the sole criterion for verifying knowledge (Smith, 1986, 164). “Man is the measure” melahirkan Humanisme yang yang menyingkirkan Tuhan. Humanisme yang demikian masih mempertahankan nilai nilai dan etika Kristen, tetapi pada saat yang sama juga mengkerdilkan inti teologi Kristiani. . . while ripping the heart out of Christianity’s theological context (Sproul, R.C. 1998, 61). 

Pada tahun 1933, para humanist yang otonom mendeklarasikan Manifesto Humanis I menolak penciptaan dunia oleh Allah. Manifesto Humanis ini menyatakan bahwa dunia ada tanpa adanya proses penciptaan. Manifesto ini juga menolak segala bentuk supranatural. Supranatural itu tidak ada maknanya dan tidak ada relevansinya bagi keberlangsungan hidup manusia. As Humanist Manifesto I states, the universe is “self-existing and not created” . . . We find insufficient evidence for belief in the existence of a supernatural; it is either meaningless or irrelevant to the question of the survival and fulfillment of the human race.”  (Smith, 1986, 164)

Manusia tidak memerlukan wahyu khusus diluar dirinya untuk memahami realitas karena manusia mempunyai potensi untuk berinteraksi dengan kekuatan yang terdapat di dalam dirinya yang diidentikkan dengan Tuhan. Oleh sebab itu kebenaran ada dalam dirinya dan bisa digali. Dengan menekankan manusia itu identik dengan Tuhan, Cosmic Humanist memberikan ruang kepada setiap manusia untuk menentukan realitas melalui kebenaran yang diciptakannya sendiri. By asserting that man is God, the Cosmic Humanist grants each individual the power of determining reality by creating or co-creatinng truth (Noebel, 2001, 39)

Titik tolok adalah manusia bukan Tuhan ditegaskan kembali dalam Humanist Manifesto II (1973). Manifesto ini juga kembali menolak hal hal yang berkaitan dengan supranatural. “We find insufficient evidence for belief in the existence of a supernatural; it is either meaningless or irrelevant to the question of the survival and fufilment of the human race. As non-theist we begin with humans not God, nature not deity” (Noebel, 2001, 24). Teologi humanis ini dari titik awal hingga akhir menolak kehadiran Tuhan dan segala bentuk supranatural. Humanist theology, start to finish, is based on the denial of God and the supernatural (Noebel, 2001, 27). Tidak ada Tuhan yang dapat menyelamatkan kita, kita sendiri lah yang harus menyelamatkan diri kita . . . that no God can save us – “we musrt save ourselves” (Noebel, 2001, 47).

Wawasan Humanisme selain berpegang erat kepada teologi ateis dan filosofi naturalistik juga menekankan betapa pentingnya proses evolusi bagi kelangsungan hidup faham humanisme. Tanpa teori evolusi, mau tidak mau kaum Humanis terpaksa harus bersandar pada Tuhan untuk penjelasan asal muasal kehidupan. Dan tentu hal ini akan meruntuhkan ateisme yang dianutnya serta akan berujung pada kehancuran faham humanisme itu sendiri. Oleh karena itu, setiap Humanis Sekuler tidak bisa lepas dari bayang-bayang teori evolusi. Belief in evolution is as crucial to Humanism’s worldview as are its atheistic theology and naturalistic philosophy. . . Wihout the theory of evolution, the Humanist would have to rely on God as the explanation for life, which would necessary destroy his atheism and hence his Humanism. Therefore, every Secular Humanist embraces the theory of evolution (Noebel, 2001, 117).


Pengakuan Iman di tengah Manusia Yang Otonom

Kita hidup di zaman dimana semua ajaran dengan segala isme yang mempertuhankan manusia. Manusia sebagai penentu kebenaran. Humanisme mempengaruhi banyak orang termasuk mereka yang mengaku Kristen yang kemudian meninggalkan paham dan tradisi lama, yang dianggap sudah ketinggalan zaman. 

Humanisme menolak teori penciptaan yang terdapat dalam Kejadian 1-11. Bagi Humanis, penciptaan dilukiskan dalam Kejadian 1-11 tidak lebih sebagai fiksi, mitos, legenda atau hidayat.  Religious humanists regard the universe as self-existing and not created (Humanist Manifesto 1). Karena penolakan terhadap penciptan ini maka Kejadian 3 yang melukiskan kejatuhan manusia dalam dosa dan sejarah keselamatan melalui karya penebusan Yesus juga tidak lebih dari sebuah fiksi, mitos. Bisa dimengerti, Pengakuan Iman Oikumeine yang berisi pokok pokok iman Kristen di anggap sebagai mitos yang tidak ada maknanya.

Stimulated by rationalism of the Enlightenment, liberalism denies supernaturalism, miracles, biblical authority, and other classical doctrines of the faith. The tradition commonly rejects the fall of the race, human depravity, divine wrath, Christ’s subtitutionary atonement, and the need for definitive, individual conversion (Demarest, 2011, 32).

Masalah Kristologi yang menggugat keilahian/ketuhanan Yesus sudah muncul sejak abad pertama. Oleh sebab itu Bapa Bapa Gereja pada abad ke 4 merumuskan natur Yesus Kristus dalam Pengakuan Iman Oikumene. Hingga saat ini, keilahian Yesus terus digugat oleh mereka yang mengaku Kristen, sama seperti yang dilakukan patron mereka, Arius. Menghadapi serangan ini, kita masih memerlukan kredo sebagai standar untuk membedakan mana ajaran yg ortodoks dan ajaran bidaah. Such creeds became recognized as authoritative statements of Christian faith, thereby giving the church a standard for distinguishing between orthodoxy (right teaching) and heresy (false teaching) (Hoffecker, 1986, 79). 

Sebagai orang Kristen kita harus meyakini kebenaran pokok pokok dasar iman yang terdapat dalam Pengakuan Iman Rasuli. The Apostles’ Creed spells out the truths a person must believe in if he or she is to be Christian (Jonston, 2012, 23). Kita tidak boleh goyah menghadapi serangan terhadap pokok pokok iman dalam pengakuan iman. Throughtout the ages creeds have come under attack on numereous occasions . . . (Parsons, 2012, 29). 

Kita harus menyadari bahwa kita adalah makhluk berdosa yang layak dibinasakan bukan manusia otonom yang tak terbatas. Inilah titik awal untuk percaya dan menerima karya penebusan Kristus di kayu salib. Pdt. Eka Darmaputera mengungkapkan keberdosaan dan ketidaklayakan manusia,

Menurut keyakinan saya, inti dari soteriologi Kristen, adalah: (a) bahwa semua orang, tanpa terkecuali, berdosa dan oleh karena itu hanya layak untuk memperoleh hukuman dan dibinasakan; (b) bahwa semua orang tanpa terkecuali, tidak mampu menyelamatkan diri sendiri; dan (c) bahwa semua orang, tanpa terkecuali, dikaruniai kemungkinan menerima anugerah keselamatan dari Allah, melalui iman kepada karya penebusan Tuhan Yesus Kristus (Darmaputera, 1996, 178).

Percaya kepada Yesus Kristus dan Karya penebusan Yesus melalui kayu salib adalah inti iman yang dapat menyelamatkan kita. Mengapa demikian?

Jadi kepercayaan kepada Yesus amat sentral atau kunci bagi orang Kristen. Karena Dialah, Juruselamat itu! Dialah satu-satunya kemungkinan untuk kita bisa selamat. Tanpa Dia menyelamatkan kita, maka betapa banyak pun kita tahu, kita tetap saja akan binasa! . . . Yesus Kristus adalah Tuhan! Mengapa? Karena kalau Yesus itu manusia biasa saja, jangankan menyelamatkan orang lain, menyelamatkan diri sendiri saja Ia tak mampu. Manusia itu baru selamat, kalau Tuhan sendiri yang menyelamatkan. Tidak ada jalan lain. No other way! (Darmaputera, 2005a,19).

Yang ditekankan Pdt. Eka Darmaputera adalah semua orang tanpa terkecuali adalah sama-sama berdosa dan tidak berdaya. Ketidakberdayaan manusia untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Soteriologi Kristen menekankan bahwa Tuhan Yesus Kristus adalah penebus dan Juruselamat. Bagi Pdt. Eka Darmaputera penekanan tentang ketidakberdayaan (dan keberdosaan) manusia sungguh-sungguh amat relevan di tengah-tengah dunia yang kini cenderung mengagungkan (bahkan mempertuhankan) diri sendiri. Soteriologi Kristen mengingatkan: semua itu tidak menyelamatkanmu! Hanya Tuhan – di dalam dan melalui Yesus Kristus – yang dapat menyelamatkan umat manusia. Optimisme yang berlebihan kepada potensi manusia dikritik. Betapapun hebatnya manusia, ia makhluk. Artinya: terbatas. Bahwa ia berdosa. Artinya: punya kecenderungan negatif dan destruktif.


Konfesi GKI Diantara Pengakuan Iman Oikumene

Pengakuan iman (kredo) berisi pokok pokok kepercayaan yang diterima oleh semua gereja sedangkan pernyataan iman suatu denominasi gereja disebut konfesi (confession). Pengakuan Iman Rasuli, Nicea Konstantinopel, Athanasius bersifat oikumenis. Pengakuan Iman GKI yang strukturnya serupa dengan Pengakuan Iman Rasuli yang bersifat Trinitarian disebut konfesi GKI.

Apakah konfesi GKI dapat menggantikan Pengakuan Iman Rasuli, Nicea Konstantinopel, Athanasius yang berisi pokok pokok iman Kristiani yang diterima oleh berbagai denominasi gereja? Jelas, tidak.  Menurut Pdt. Eka Darmaputera Pengakuan Iman adalah rumusan baku mengenai apa yang harus kita percayai sebagai orang Kristen. Boleh lebih, tidak boleh kurang, 12 pasal tidak boleh 11 pasal.

Setiap denominasi gereja pasti memiliki pengakuan iman (konfesi) sendiri-sendiri. GKI pun memiliki Pengakuan Iman sebagaimana tertera pada pasal 3, Tata Dasar GKI (BPMS, 2009, 22). Pengakuan iman ini tidak pernah diikrarkan/diucapkan dalam kebaktian setiap minggu. Diantara 3 pengakuam iman oikumenis, yang umum diikrarkan/diucapkan adalah pengakuan iman rasuli yang rumusannya lebih pendek. Demikian pula hendaknya diberlakukan terhadap konfesi GKI. Seandainya pengakuan iman (konfesi) masing masing gereja diucapkan dalam setiap kebaktian maka seolah olah gereja memisahkan diri antara satu dengan lainnya. Gereja semakin ekslusif, sektarian dan primordialistik yang tidak sesuai dengan semangat keesaan gereja.

Dan jelas hal tidak sesuai dengan semangat (spirit) keesaan gereja di segala tempat dan sepanjang masa yang diperjuangan oleh Persekutuan Gereja Gereja di Indonesia. PGI Dalam Sidang Raya XII PGI Jayapura 21-30 Oktober 1994 melahirkan “Lima Dokumen Keesaan Gereja” yang terdiri dari 5 dokumen, salah satu dokumen mengenai Pemahaman Bersama Iman Kristen di Indonesia (PBIK) yang menegaskan:

Kami mengikrarkan Pengakuan Iman Rasuli dan Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel yang telah lahir dari pergumulan iman pada zaman gereja purba, sebagai kesaksian yang benar dan penuh berdasarkan Alkitab mengenai iman Kristen, dan sebagai lambang keesaan gereja Tuhan di segala tempat sepanjang masa (Lima Dokumen Keesaan Gereja, 1996,  44). .

Pemahaman Bersama Iman Kristen ini diterima GKI dan dilampirkan dalam Tata Gereja dan Tata Laksana GKI, pada Lampiran 4, hal 331.  PGI dalam Penjelasan dan Penyematan Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) kembali menegaskan:

Dokumen PBIK ini tidak mengganti Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel maupun pengakuan Atanasius yang telah diterima sebagai kesaksian yang benar dan penuh berdasarkan Alkitab mengenai Iman Kristen dan sebagai lambang keesaan gereja Tuhan di segala tempat dan sepanjang zaman. Simbol keesaan gereja tersebut juga merupakan acuan dalam perumusan pokok-pokok PBIK, sebagai hasil pergumulan bersama gereja-gereja di Indonesia dalam perjumpaan antara Firman Allah sebagaimana disaksikan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dengan dunia Indonesia, menuju Pengakuan Iman Bersama Gereja-gereja di Indonesia (Lima Dokumen Keesaan Gereja, 1996, 152).

Jelas PBIK ini tindak menggantikan Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel maupun Pengakuan Atanasius demikian pula hendaknya Pengakuan Iman GKI dan Konfesi GKI tidak menggantikan ketiga Pengakuan Iman Oikumenis karena ketiga Pengakuan Iman tersebut adalah simbol keesaan gereja di segala tempat dan sepanjang masa. We have creeds not to divide us but to unite us on the foundational beliefs of the one and only true faith (Parsons, 2012, 24). 

Pengakuan Iman Oikumene selain sebagai lambang keesaan gereja Tuhan di segala tempat dan sepanjang masa, sudah teruji pula oleh waktu dalam menghadapi berbagai serangan yang bertujuan menghancurkan inti iman Kristen.  Di era humanisme yang menekankan otonomi manusia, Pengakuan Iman Oikumene dapat pula berfungsi sebagai pagar dalam menghadapi serangan dari the scientific attack – Charles Darwin, the political and economic attack – Karl Marx dan the psychological attack – Sigmund Freud. Jadi Pengakuan Iman Oikomene tetap diperlukan untuk mengidentifikasi ajaran yang benar dan tidak. Pdt. Eka Darmaputera mengungkapkan demikian:

Pengakuan Iman juga memberikan kepada kita batas-batas atau rambu rambu mengenai apa yang dapat disebut sebagai Kristen dan apa yang tidak. Karena Pengakuan Iman, kita dapat mengatakan saksi Yehovah itu tidak Kristen – walaupun mereka mengaku sebagai orang Kristen. Mengapa? Kepercayaannya tidak cocok dengan Pengakuan Iman Rasuli!  (Darmaputera, 2005b, 9).

Jadi dapat disimpulkan orang Kristen baik itu teolog, pendeta, jemaat yang tidak percaya dan menolak Pengakuan Iman Rasuli, jelas tidak Kristen walaupun mengaku Kristen. Saya sependapat dengan Johnston yang menyatakan bahwa semua kredo, konfesi dan katekismus adalah ringkasan ajaran Alkitab. Tidak satupun diantara ini dapat mengklaim bebas dari kesalahan sebagaimana Alkitab yang diinspirasikan oleh Allah. All creeds, confessions, and catechisms are man-made summaries of the Bible’s teaching; none of them can claim, as the Bible can, to be either ispired by God or free from error (Johnston, 2012, 18).

Saya juga setuju dengan Pdt. Eka Darmaputera yang mempersilahkan untuk menambah pasal-pasal dalam pengakuan iman rasuli tetapi tidak boleh mengubah bahkan menghapus pasal-pasal dalam Pengakuan Iman Oikumene dan menggantikannya dengan pengakuan iman atau konfesi masing-masing denominasi gereja. Pengakuan Iman Rasuli sebagai konfirmasi terhadap apa yang diajarkan Alkitab. In essence, the church’s creeds and confessions of faith do not stand as authorities over but rather serve as affirmations of Scripture’s authority for all of faith and life (Parsons, 2012, 19). Biarlah masing masing pengakuan iman dan konfesi denominasi gereja – gereja menjadi bahan katekisasi bagi mereka yang akan dibaptis sebagaimana pada awalnya Pengakuan Iman Rasuli ini digunakan sebagai ringkasan ajaran Kristen untuk calon-calon baptisan di gereja-gereja mula mula.

Rumusan pengakuan iman Rasuli diawali dengan kalimat “Aku percaya…..” sedangkan rumusan konfesi GKI diawali dengan kalimat “Kami percaya……” Yang pertama sebagai pengakuan masing individu yang telah bertobat dan menerima penebusan Kristus, terhadap pokok pokok iman yang harus dipercayai. Yang kedua sebagai pengakuan komunitas orang percaya (gereja) dalam menyaksikan kehadiran Kristus di tengah dunia untuk membawa syaloom damai sejahtera Allah; menyatakan kasih persaudaraan kepada semua orang tanpa diskriminasi menegakkan keadilan dan perdamaian tanpa kekerasan, memberkati setiap pribadi, keluarga, dan anak-anak, memberdayakan orang miskin, memulihkan orang sakit, membebaskan orang tertindas, menjadi sahabat bagi orang yang diasingkan.

“Percaya” adalah tindakan iman, yang menuntun kita menjalani hidup sesuai dengan Firman Allah. Kita memiliki tanggung jawab sosial yang berdasarkan pada pengajaran Alkitab. Dan harus menerapkan keyakinan kita tersebut di dalam segala aspek kehidupan kita.  Keilahian Kristus harus bergema di dalam setiap aspek kehidupan, baik itu aspek sosial, ekonomi, politik, seni dan lainnya. Kita harus mengasihi sesama tanpa melihat latar belakangnya karena Allah juga memelihara setiap orang melalui providensiNya dalam anugerah umum.


Daftar Kepustakaan

  • BPMS GKI. 2009. Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Indonesia. PT. Adhitya Andrebina Agung, Jakarta.
  • Darmaputera, Eka. 1996. Boleh Diperbandingkan, Jangan Dipertandingkan: Refleksi tentang Ajaran Kristen di tengah-tengah Ajaran-Ajaran lain di dalam Penuntun – Jurnal Teologi dan Gereja Vol.2, No.6, Januari – Maret 1996. Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat, Jakarta.
  • Darmaputera. Eka. 2005a. Menyembah dalam Roh & Kebenaran. BPK Gunung Mulia, Jakarta
  • Darmaputera. Eka. 2005b. Spritualitas Siap Juang. BPK Gunung Mulia, Jakarta
  • Demarest, Bruce. 2011. The Cross and Salvation: The Doctrine of Salvation. Crossway Books, USA.
  • de Jonge, Christian. 2009. Gereja Mencari Jawab: Kapita Selekta Sejarah Gereja. BPK Gunung Mulia, Jakarta.
  • Eckman, James P. 2004. The Truth About Worldview: A Biblical Understanding of Worldview Alternatives. Crossway Books, Illinois, USA.
  • Hoffecker, W. Andrew. 1986. Introduction di dalam Building A Christian Worldview: God, Man and Knowledge, Volume 1, Editor: Gary Scott Smith Associate Editor.
  • Prebyterian and Reformed Publishing Company, USA.
  • Hoffecker, W. Andrew. 1986. Christian Theology Emerges: The Council of Nicea di dalam Building A Christian Worldview: God, Man and Knowledge , Volume 1
  • Editor: Gary Scott Smith Associate Editor. Prebyterian and Reformed Publishing Company, USA.
  • Hoffecker, W. Andrew. 1986. A Challenge to Our Generation di dalam Building A Christian Worldview: God, Man and Knowledge , Volume 1, Editor: Gary Scott Smith
  • Associate Editor. Prebyterian and Reformed Publishing Company, USA.
  • Humanist Manifesto 1. https://americanhumanist.org/what-is-humanism/manifesto1/ 
  • Humanist Manifesto 2. https://americanhumanist.org/what-is-humanism/manifesto2/
  • Humanist Manifesto 3. https://americanhumanist.org/what-is-humanism/manifesto3/
  • Currid, John D.  1986. From the Renaissance to the Age of Naturalism di dalam Building A Christian Worldview: God, Man and Knowledge , Volume 1, Editor: Gary
  • Scott Smith Associate Editor. Prebyterian and Reformed Publishing Company, USA.
  • Jonston, Mark G. 2012. Our Creed: For Every Culture and For Every Generation. P&R Publishing Company, New Jersey, USA.
  • Noebel, David A. 2001. The Battle for Truth: Defending the Christian Worldview in the Marketplace of Ideas, Harvest House Publishers.
  • Parsons, Burk. 2012. Why Do We Have Creeds?: Basic of the Faith. P&R Publishing Company, New Jersey, USA.
  • Sproul, R.C. 1998. Renewing Your Mind: Basic Christian Beliefs You Need to Know. Baker Books, Grand Rapids, USA.
  • Sproul, R.C. 2013. Essential Truths of the Christian Faith, Tyndale House Publisher, Inc, Illinois, USA.