[ Penulis: Benedictus Leonardus. Editor: David Tobing ]

Mungkin sebagian besar kita sudah pernah mendengar istilah postmodernisme, postmodern atau posmo. Postmodernime sering dijadikan topik pembicaraan atau diskusi. Tanpa kita sadari mungkin juga spirit postmodernisme telah menjadi bagian kehidupan kita baik sebagai pribadi maupun komunitas dalam gereja.

Dalam kehidupan bergereja kita lebih asyik dengan cerita kita. Cerita kita yang berfokus pada diri kita atau kelompok kita dikategorikan sebagai cerita kecil. Sering kita membangun cerita kecil tanpa mengacu pada cerita besar (grand narrative). Sebagai jemaat Kristus, cerita kecil kita harus selaras dengan cerita besar yaitu Alkitab. Cerita kecil kita tak akan bermakna tanpa cerita besar.

Dalam cerita besar terdapat kebenaran universal, keabsahan yang mutlak yang melampaui ruang dan waktu. Retorika postmodernisme mau melepaskan cerita besar dan menyibukkan dengan cerita-cerita kecil. Dengan kata lain postmodernisme menolak cerita besar/meta narrative/grand narrative. Franz Magnis-Suseno menggugat, apakah cerita kecil dapat bermakna tanpa cerita besar (Suseno, 2005, 222).

“Cerita besar adalah cerita dengan klaim keabsahan universal, sedangkan cerita kecil menolaknya” (Suseno, 2005, 223). Penolakan cerita besar berarti tidak ada lagi prinsip universal yang dapat menjadi acuhan bagi kita. Kita membangun cerita kecil yg otonom terlepas dari cerita besar. Cerita kecil yang otonom dan relatif ini dapat digunakan sebagai alat legitimasi untuk melakukan penindasan. Franz Magnis-Suseno dalam tulisan, Postmodernisme: Pascamodern atau Justru Modern? menunjukkan bahwa obsesi “postmodernisme” dengan “cerita-cerita kecil” dapat dipakai sebagai legitimasi penindasan yang kuat terhadap yang lemah (Suseno, 2005, 223).

Mungkin dalam kehidupan bergereja kita, Alkitab tidak lagi dijadikan dasar dan norma kehidupan kita sehari-hari. Justru selera, pengalaman, kebenaran kita dan kelompok kita yang menjadi norma kehidupan kita. Bayangkan sebagai jemaat Kristus, kita membangun cerita kecil dengan kebenaran tersendiri yang terlepas dari kebenaran Firman Tuhan dan memaksakannya kepada jemaat, pasti akan menimbulkan gejolak, kekacauan, anarkisme. Sebagai jemaat Kristus bagaimana kita harus bersikap dalam menghadapi dunia postmodernisme ini?


Postmodernisme Menggugat Cerita Besar (Meta/Grand Narrative)

Dengan sangat jelas Pengakuan Iman GKI menempatkan Alkitab sebagai otoritas tertinggi yang menjadi dasar dan norma satu-satunya bagi kehidupan gereja. Alkitab berisikan kesaksian menyeluruh mengenai Allah yang menyatakan diri-Nya, kehendak-Nya serta karya penciptaan, pemeliharaan, peneyelamatan, penggenapan-Nya kepada manusia dan dunia. Kesaksian Alkitab mengenai Allah ini cukup dan menjadi ukuran (kanon) bagi iman kita dan untuk menggumuli kehidupan iman kita dalam kesetiaan kepada-Nya. Kesaksian menyeluruh ini dipahami dan diajarkan secarah utuh (Lampiran 5, Pegangan Ajaran Mengenai Alkitab, Tata Gereja GKI, 345).

Lebih lanjut pada Aliena 8, “Kebenaran dan kesaksian Alkitab, yaitu kebenaran dan kesaksian sentralnya tentang Kristus dan Kerajaan-Nya melampaui batas-batas ruang dan waktu. Kebenaran dan kesaksian Alkitab bukan hanya berlaku dalam budaya dan sejarah di mana ia dituliskan, tetapi berlaku juga bagi kita dalam budaya dan sejarah kita, kini dan di sini” (347).

Kutipan dari Tata Gereja GKI tersebut diatas merupakan cerita besar (meta, grand narrative) karena berisi kesaksian menyeluruh mengenai Allah yang menyatakan diri-Nya, kehendak-Nya serta karya penciptaan, pemeliharaan, penyelamatan, penggenapan-Nya kepada manusia dan dunia. Menurut Jean Francois Lyotard, salah satu pemikir postmodernisme, cerita besar identik dengan “worldview-story”. Meta narasi adalah cerita besar yang menjelaskan segala kejadian dan perspektif secara menyeluruh. Metanarratives are those grand stories or overarching narratives that aim to explain all events and perspective comprehensively (Gohen dan Bartholomew, 2008, 109).

Lyotard sendiri tidak percaya kepada meta narasi. Lyotard menciptakan istialh “incredulity toward metanarrative” (ketidakpercayaan terhadap metanarasi). Bagi Lyotard, “. . . all we have are language games, different linguistic interpretations of the world, and these are always local, never universal” (Gohen and Bartholomew, 2008, 109). Semuanya tidak lebih dari sebuah permainan bahasa yang menghasilkan multi interpretasi tentang dunia dan semuanya ini bersifat lokal (relatif) bukan universal.Postmodernis berasumsi bahwa bahasa tidak dapat digunakan untuk menyampaikan kebenaran objektif tentang dunia ini. Bahasa dalam naturnya membentuk pola pikir kita. Karena bahasa adalah kreasi budaya maka makna yang dikandungnya tidak akan lepas dari konstruksi sosial setempat. Postmodernis theories begin with the assumption that language cannot render truths about the world in an objective way. Language, by its very nature, shape what we thinks. Since language is a cultural creation, meaning is ultimately (again) a social construction (Veith, 1996, 51).

Penganut postmodernisme membangun cerita cerita kecil dengan muatan lokal dalam konteks budaya setempat yang terlepas dari konteks cerita besar. Mereka tidak percaya terhadap metanarasi. Bagi mereka kebenaran adalah produk manusia sesuai dengan konteks budaya setempat. Ketidakpercayaan terhadap narasi besar menjadikan spirit relativisme sebagai acuhan postmodernisme.

Kita tidak perlu mencari kebenaran, kebenaran dapat diciptakan oleh siapapun. Tidak ada kebenaran objektif yang mutlak. Kebenaran yang ada adalah kebenaran yang bersifat relatif berdasarkan selera dan pengalaman tiap-tiap individu dalam komunitas. Jika pemikiran postmodenisme ini masuk gereja – maka kita dapat menciptakan kebenaran sendiri tanpa perlu mencari dan mengacu kepada kebenaran Alkitab yang objektif, universal serta melampaui ruang dan waktu.

Menurut pandangan modern, kita tidak dapat mengetahui makna yang disampaikan oleh penulis. Makna dari sebuah teks ditentukan oleh interpretasi dalam komunitas. Tolak ukur ini juga di terapkan pada teks Alkitab karena kita tidak dapat mengetahui apa yang ada dalam pikiran Allah Roh Kudus. “…according to this modern view, we cannot know the meaning of an author. Instead, the meaning of a text is up to the interpretative community. To be consistent, the meaning of Scripture should be treated no differently, so we cannot know what God the Holy Spirit had in mind” (Smith, 2005, 101). Demikan pula doktin doktrin (gereja) tidak lebih dari sebuah konstruksi bahasa. These problems arise when Christian doctrines are thought to be linguistic constructions (Smith, 2005, 148).

Para penganut postmodernis yang juga sekaligus dekonstruksionis ini sepakat bahwa makna dikonstruksi masyarakat melalui media bahasa. Deconstructionist agree that meaning is a social construct. Societies construct meaning through language (Veith, 1996, 53). Mereka menolak paham-paham universal sebagai “kediktatoran pemaknaan” yang menindas makna-makna nyata masing-masing komunitas (Suseno, 2005, 230).

Berdasarkan hal ini maka penganut postmodernisme menolak otoritas, kewibawaan, kemutlakan Alkitab. Oleh sebab itu teks Alkitab harus di dekonstruksi (diruntuhkan, dihancurkan) dan direkonstruksi kembali sesuai dengan selera penfasiran mereka yang subyektif. Makna dalam teks Alkitab ditentukan oleh pembaca menurut kemauan/selera penafsirannya yang lepas dari konteks pemahaman Alkitab secara menyeluruh dan utuh. Dalam hal ini, penafsir yang penting bukan penulis Alkitab yang dilhami Roh Kudus.


Cerita Kecil Melahirkan Fasisme

Dalam kaitannya dengan keyakinan iman kita sebagai orang Kristen, tanpa acuan pada cerita/teori besar maka setiap orang bebas menafsirkan setiap realitas tanpa suatu standar/acuhan apapun dan semuanya harus dihargai sebagai kebenaran. Kebenaran yang ada bersifat relatif tergantung pada setiap subjek. Jadi pada intinya postmodernitas menolak metanarasi, kebenaran mutlak, objektif, universal dan menggantikannya dengan kebenaran yang relatif, subjektif dan komunal (local). Yang ada hanya kebenaran-kebenaran untuk setiap masyarakat atau komunitas tanpa acuan tunggal diluarnya. Tidak ada lagi prinsip yang dapat menjadi acuan, karena prinsip-prinsip adalah acuan universalistik – secara prinsipil ditolak oleh para penolak cerita besar (Suseno, 2005, 223).

Karena asyik dengan cerita-cerita kecil tanpa acuhan pada cerita besar maka yang menang adalah mereka yang kuat, mirip dengan posisi fasisme yang identik dengan kediktatoran. Franz Magnis-Suseno mengungkapkan demikian, “Apabila kita membatasi diri pada cerita-cerita kecil, yang menang adalah yang kuat. Itulah persis posisi fasisme” (224). Pola pikir postmodernisme dengan spirit relativisme ini justru menghasilkan tindak tanduk yang berupaya untuk melestarikan kekuasaan (kediktatoran). Postmodern ways of thinking have led us to relize that leaders often are acting to preserve their own power (Smith, 2005, 17). Tidak heran jika kekacauan selalu terjadi dilingkungan dunia postmodernisme. Postmodernism, ont the other hand, accepts, affirms, and embraces the chaos (Veith, 1996, 73)

Karena cerita-cerita kecil ini dibuat dalam komunitas yang menolak cerita besar maka kebenaran yang diciptakan bersifat relatif dan tergantung konteks komunitas itu. Segala kebijakan, dan aturan yang dibuat semata-mata untuk kepentingan mempertahankan kekuasaan komunitas tersebut. Oleh sebab itu cerita besar harus didekonstruksi. Tidak ketinggalan Alkitab pun harus di dekonstruksi dengan membongkar habis teks yang selain akan menghancurkan otoritas juga kewibawaan Alkitab. Teks dilepaskan dari pengarangnya sehingga membuat Alkitab kehilangan maknanya. Ditafsirkan secara subjektif sesuai selera penafsir demi kepentingan kekuasaan, dll.

Dengan cerita-cerita kecil tanpa acuhan/standar kebenaran yang mutlak maka akan menimbulkan kekacauan, anarkisme. Dapat dibayangkan betapa mengerikan dunia ini dengan mengabaikan norma/standar yang mutlak. Demikan pula jika semangat postmodernisme yang menolak otoritas dan kewibawaan Alkitab tumbuh subur di gereja maka kekacauan dalam gereja akan terjadi karena setiap orang melakukan yang benar sesuai pandangan mereka.


Menghadapi Postmodernisme

Spirit dekonstruksi postmodernisme yang menolak kebenaran absolut tidak sesuai dengan Pengakuan Iman GKI yang tercantum pada pasal 3, Tata Dasar dan Pegangan Ajaran Mengenai Alkiatb, Tata Gereja GKI. Alkitab adalah cerita besar yg menjadi dasar, standar, prinsip, acuhan, satu-satunya norma bagi kehidupan gereja. Kita harus menolak cerita-cerita kecil seandainya cerita kecil tersebut tidak sejalan dengan Alkitab.

Kita yakin Alkitab adalah Firman Allah yang berisi kesaksian menyeluruh mengenai Allah yang menyatakan dirinya mengunakan bahasa manusia. Bahasa dalam Alkitab merupakan wahyu yang menyatakan kebenaran. Tuhan bukan budaya yang menjadi sumber kebenaran, makna dan nilai-nilai. Sebagai penulis keberadaan alam semesta, Tuhan itu berotoritas mutlak. Karena itu kebenaran mutlak dan nilai-nilai transenden-Nya mempunyai jangkauan universal dan dapat diaplikasikan. Since God reveals Himself in language, language is not intrinsically deceptive; rather, language is revelatory and can express truth. God-not culture- is the origin of meaning, truth, and values. As the author of existence, God is authoritative. Thus, certain absolute truths and transcendent values are universal in their scope and application (Veith, 1996, 222)

Kita tidak perlu meragukan kebenaran mutlak Alkitab yang selalu diserang penganut postmodernisme. Pdt. Eka Darmaputera menegaskan “inti pesan Alkitab yang kita yakini bersifat mutlak dan a priori selalu benar” (Darmaputera, 2005a, 178). Karena kebenaran Alkitab mutlak dan a priori selalu benar maka panduan atau rujukan utama kita yang paling penting, tak bisa lain adalah ALKITAB (Darmaputera, 2005a, 86). Tata Gereja GKI sebagai “buku pegangan” bagi seluruh anggota GKI dan pejabat gerejawi, sumbernya adalah Alkitab (Darmaputera, 2004, 11).

Postmodernisme yang menolak cerita besar demi cerita kecil membuka peluang bagi kita untuk meragukan Alkitab sebagai Firman Tuhan. Yang terpenting, kita harus mengakui otoritas Alkitab walaupun kelihatan bertentangan dengan keinginan kita dan taat kepada Firman Tuhan. The main problem is not interpreting the Bible, but acknowledging its authority-particularly when it conflicts with our own desires-and obeying what it teaches (Veith, 1996, 70)

Sebab kalau kita percaya Alkitab itu firman Allah, sudah pasti semuanya benar. Jadi, jangan lalu kita pilih, mana yang paling cocok di hati itulah yang benar! Jangan! Sebab yang benar itu kadang-kadang justru tidak cocok di hati dan pikiran kita! (Darmaputera, 2005c, 99).

Kita perlu juga memeriksa apakah cerita kecil kita baik secara individu maupun komunitas cocok dengan kebenaran Alkitab. Kita tidak boleh memilah-milah ayat Alkitab atau menginterpretasikan sesuai selera kita. Kita tak perlu ragu. “Semua ayat adalah firman Tuhan. Setiap ayat adalah firman Tuhan. Artinya, Tuhan berkenan berfirman melaluinya” (Darmaputera, 2005b, 552). Oleh sebab itu kita harus tunduk kepada otoritas Alkitab. “Bukan kebenaran Alkitab yang harus cocok dengan kebenaran saya, tetapi kebenaran yang saya yakini itu yang harus cocok dengan kebenaran Alkitab!” (Darmaputera, 2006, 32).

Menghadapi tantangan zaman ini dimana kita hidup dalam persimpangan jalan, kita harus kritis untuk memilih, tetap setia sebagai murid Kristus atau terhisap dalam pengaruh budaya zaman seperti postmodernisme. Nasihat Pdt. Eka Darmaputera patut kita laksanakan.

Kita jangan terpedaya oleh ajaran pendeta yang melenceng. Kita harus bersikap kritis untuk menyelidiki pengajaran pendeta tersebut dengan menggunakan tolak ukur Alkitab. Bagaimana kita tahu kalau ia menambah-nambah atau mengurangi firman Tuhan?. Tidak ada jalan lain. Anda sendiri harus akrab bergaul dengan firman Tuhan. Harus mempelajari firman Tuhan (Darmapuera, 2006, 63).



Daftar Kepustakaan

  1. BPMS GKI. 2009. Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Indonesia. PT. Adhitya Andrebina Agung, Jakarta.
  2. Darmaputera, Eka. 2004. GKI di Tengah Kepelbagaian Ajaran, Hodos, No.45 – 2004. Kelompok Kerja Pembinaan GKI Jabar, GKI Bekasi Timur, Jakarta
  3. Darmaputera, Eka. 2005a. Sepuluh Perintah Allah Museumkan Saja?: ebuah Uraian Pupuler tentang Relevansi Dasa Titah di Masa Kini. Gloria Graffa, Yogyakarta.
  4. Darmaputera, Eka. 2005b. 365 Anak Tangga Menuju Hidup Berkemenangan. BPK Gunung Mulia, Jakarta.
  5. Darmaputera, Eka. 2005c. Spritualitas Siap Juang. BPK Gunung Mulia, Jakarta
  6. Darmaputera, Eka. 2006. Iman dan Tantangan Zaman: Menyikapi Isu-Isu Aktual Masa Kini. BPK Gunung Mulia, Yogyakarta.
  7. Gohen, Michael W. and Bartholomew, Craig G, 2008. Living at the Crossroads: An Introduction to Christian Worldview. Baker Academic, Grand Rapids, USA.
  8. Smith, R. Scott. 2005. Truth & New Kind of Christian: The Emerging Effects of Postmodernism in the Church. Crossway Books, USA.
  9. Suseno, Franz Magnis. 2005. Pijar-Pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
  10. Veith, Gene Edward Jr. 1996. Postmodern Times: A Christian Guide to Contemporary Thought and Culture. Crossway Books, USA.
  11. Zaluchu, Sonny Eli. Tantangan Postmodernisme terhadap Finalitas Alkitab. https://sonnyelizaluchu.wordpress.com/2011/02/18/tantangan-postmodernisme-terhadap-finalitas-alkitab/