[ Penulis: Benedictus Leonardus. Editor: Tjhia Yen Nie ]

Kita semua sudah pasti mengenal Dasa Titah atau lebih dikenal dengan Sepuluh Perintah Allah. Apakah Sepuluh Perintah Allah tersebut masih relevan untuk zaman kini? Apakah kesepuluh hukum dalam Dasa Titah masih bermanfaat? Apakah hukum pertama “Jangan ada padamu allah lain dihadapan-Ku” dan “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi dibawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi,” masih menjadi keyakinan kita?

Sering kita tanpa sadar terpesona dengan worldview (kerangka pandangan dunia) mengenai Allah yang dilontarkan oleh para filsuf atau teolog yang terpengaruh filsafat kemudian mengajarkan Allah yang berbeda dengan Allah yang disaksikan Alkitab. Tiga kata pertama dalam Alkitab berbunyi: “PADA MULANYA ALLAH” (Kejadian 1:1), tak ada yang lain, ini merupakan paradigma pokok teologi yang menjadi prinsip paling mendasar dari etika. Etika Kristiani! ” (Darmaputera, 2005, 15).

Titah dasar yang paling fundamental dimulai dengan “JANGAN ADA PADAMU ALLAH LAIN DI HADAPAN-KU” (Keluaran 20:3). Konsep Allah bagi orang Kristen adalah monoteisme. Disamping monoteisme, ada konsep politeisme yang menyatakan Tuhan tidak hanya satu tetapi banyak. Mereka menyembah dan beribadah kepada bermacam-macam “Tuhan”, bisa matahari, bulan, laut, gunung, dll. Politeisme sering dikaitkan dengan orang-orang “primitif.” Benarkah hanya orang-orang “primitif” yang menganut pemahaman “politeisme”? Ternyata Tidak! menurut Pdt. Eka Darmaputera.

“Orang-orang modern sekarang barangkali memang sudah tidak lagi menyembah bulan, matahari, atau pepohonan. Namun, paradigma berpikir yang “politeistis” – tanpa banyak disadari orang – ternyata telah melakukan “come-back” yang luar biasa! Kembali merasuki pola pikir dan pola sikap orang-orang modern! Apa sebenarnya prinsip terdalam dari politeisme? Tak lain adalah RELATIVISME, yaitu langgam serta corak berpikir manusia yang menolak bahwa ada yang mutlak di dunia ini. Yang mutlak hanyalah kenyataan bahwa semuanya serba “relatif” – tak ada yang mutlak (17).

Selain monoteisme dan politeisme, konsep berikutnya tentang keberadaan Tuhan adalah henoteisme yang dianggap sebagai varian “politeisme.” Berbeda dengan politeisme, para penganut hemoteisme.

“siap untuk menerima, percaya dan menyembah satu “allah” saja. Mereka tidak beribadah kepada banyak “allah”, tidak pula menyembah “allah” yang lain, kecuali kepada yang “satu” itu. . . mereka toh terbuka dan ikhlas bersedia mengakui keabsahan “alah-allah” lain; “allah-allah” yang disembah oleh kelompok-kelompok lain atau bangsa-bangsa lain” (22).


Realitas Tuhan Menurut Postmodernisme

Selama ini konsep keberadaan Allah yang kita kenal adalah Allah alkitabiah. Allah yang disaksikan Alkitab. Allah yang menyatakan diri-Nya di dalam Kristus. Dalam perkembangannya ada saja upaya manusia untuk terus mencari dan memahami keberadaan Allah, terutama dilakukan oleh para filsuf mulai dari Descartes dari zaman modern hingga A.N. Whitehead di zaman kontemporer ini sebagaimana diuraikan oleh Simon Petrus L. Tjahjadi dalam bukunya “Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan: Dari Descartes Sampai Whitehead.” Dalam buku ini secara ringkas Tjahjadi memaparkan eksistensi Allah menurut para filsuf dan ilmuwan.

Siapa sih sebenarnya Tuhan itu? Pertanyaan ini sering diutarakan oleh para filsuf. Memang filsafat sering memperdebatkan apa yang disebut “Tuhan” oleh agamawan/teolog. Beberapa filsuf menyatakan tidak mampu menilai kebenaran-kebenaran iman berdasarkan wahyu. Sebaliknya ada pemikir, misalnya Hegel, yang mengklaim tahu lebih baik tentang isi iman dan lebih sanggup menjelaskannya daripada agama itu sendiri memahami isi ajarannya (Tjahjadi, 2007, 140)

Di era kontemporer, Alkitab bukan satu-satunya sumber untuk mengenal Allah. Sebagian teolog lebih asyik berkutat dengan ilmu filsafat dalam upayanya untuk mengkonstruksi Allah. Tentu tidak berdasarkan kepada kesaksian Alkitab sebagai satu-satunya sumber yang otoritatif. Mereka menggunakan rasio dan akal budi yang terbatas untuk menciptakan Allah sesuai dengan imajinasinya.

Postmodernisme dengan semangat dekonstruksi memperparah kondisi ini. Hukum 1 dan 2 dari Dasa Titah tidak berlaku. Bagi penganut postmodernisme, realitas tidak dapat dipahami secara objektif. Oleh sebab itu Tuhan tidak dapat dimengerti sebagaimana adanya. Tidak ada yang dapat diutarakan mengenai Tuhan kecuali Tuhan itu dibahas/dibicarakan dalam komunitas tertentu sebagai sebuah langgam permainan bahasa. By the postmodern view, however, we cannot know reality as it truly (i.e., objectively) is. So, we cannot know God as He is, either. Thus, we may say nothing about God, unless such talk has been made part of the rules of our community’s language games (Smith, 2005, 144)

Postmodernisme berpendapat, kita terperangkap dalam penjara (keterbatasan) bahasa yang membatasi pemahaman kita sehingga kita tidak dapat memahami realitas Tuhan secara objektif dan akurat sebagaimana adanya. Oleh keterbatasan bahasa tersebut kita sebagai orang Kristen harus mengkonstruksi Allah sendiri. . . since we are on the “inside” of language and thus cannot know God as He really is (for He too exists objectively), Christian must make God (Smith, 2005, 144).

Dengat semangat dekonstruksi, sebagian teolog merekonstruksi Allah sesuai dengan rasio, akal budi dan pengalamannya terlepas dari kesaksian Alkitab. Lahirlah Allah imajiner yang diciptakan oleh para teolog dengan wawasan berpikir ala filsuf dan ilmuwan. Allah imajiner ini dapat menyerupai Allah yang disaksikan oleh Alkitab atau mungkin juga berbeda sama sekali. Jika perlu mereka juga tak segan mengutip ayat Alkitab dengan tafsiran subjektif sebagai dasar untuk mendukung Allah yang dikonstruksinya.


Interpretasi Teks

Teori postmodernisme mengasumsikan bahwa bahasa tidak dapat melukiskan kebenaran tentang dunia ini secara objektif. Bahasa pada dasarnya, membentuk apa yang kita pikirkan. Karena bahasa adalah ciptaan budaya, maka makna dalam bahasa tersebut merupakan konstruksi perspektif sosial.

Postmodernist theories begin with the assumption that language cannot render truths about the world in an objective way. Language, by its very nature, shapes what we think. Since language is a cultural creation, meaning is ultimately (again) a social construction (Veith, 1996, 51)

Di dalam alur pikir postmodernisme, teks tidak memiliki makna sebagaimana yang dimaksudkan penulis itu sendiri. Kita selaku pembaca yang menafsirkan teks dan memberikan makna. Makna sebuah teks tergantung kita selaku pembaca untuk menafsirkannya. According to postmodern thought, we cannot know the authors’ intent, so the meaning of a document is “up to us” (Smith, 2005, 82). Salah satu implikasi postmodernisme akademisi adalah jika kita tidak dapat mengetahui realitas berarti kita tidak dapat mengetahui apa yang penulis termasuk penulis Alkitab maksudkan. One implication of academic postmodernism is that if we cannot know reality (how things really are), then we cannot know what an author (of a book in the Bible, the Constitution, etc.) really meant (Smith, 2005, 19).

Menurut postmodernisme, kita terperangkap dalam penjara bahasa. Kita tidak bisa melangkah keluar dari penjara yang membatasi dan mengisolasi kita. Kita tidak bisa melepaskan diri dari pembatasan atau tuntutannya. Ada keterbatasan yang terkandung dalam bahasa itu sendiri. Oleh sebab itu dekonstruksi diperlukan untuk menghancurkan dinding penjara (keterbatasan) tersebut agar kita bisa menerobos keluar untuk membebaskan diri dari kukungan keterbatasan. “As human beings, we are unable to step outside the boundaries of our language, we cannot escape its limits or its demands. . . we are incarcerated in a “prison house of language. . . Given that language is a prison, the deconstructionist seek to undermine the walls so that we can break out” (Veith, 1996, 53)

Dekonstruksi memberikan peluang kepada kita sebebas-bebasnya untuk menginterpretasi sebuah teks. Makna dari sebuah teks sangat tergantung pada bahasa yang digunakan dalam sebuah komunitas. Untuk mencari makna wahyu ilahi, teks harus diinterpretasikan sesuai dengan aturan yang berlaku dalam komunitas Kristen. Tidak ada esensi dalam bahasa termasuk bahasa Kristen. Yang ada hanya bahasa dalam lingkungan komunitas tertentu. Tidak heran jika berbagai komunitas Kristen memiliki ajaran dan peraturan dalam menginterpretasikan teks Alkitab. Sebaik apapun Tuhan menyampaikan wahyu kepada kita, kita tak dapat memahami maksud Allah karena ada tembok (keterbatasan) bahasa yang menghalangi kita. Tembok bahasa itu harus diruntuhkan, oleh sebab itu sah saja bagi kita untuk menginterpretasikan sendiri makna wahyu ilahi tersebut. Kebenaran yang dihasilkan oleh metode dekonstruksi ini merupakan kebenaran subjektif. Kebenaran hasil interpretasi manusia. Dampaknya, harapan untuk memahami wahyu berupa pernyataan Allah secara objektif menjadi sirna.

Meaning, they tell us, is primarily a matter of how language is used within a given community, and so we would interpret (and thus construct) the meaning of any revelation by the particular rules and emphases in any given Christian community. If we take their view seriously that there is no essence to language (even Christian language), but there are only languages in particular communities, then the various Christian communities will have their own specific rules and emphases for how they interpret Scripture. So no matter how well God reveals objective truth to us, we cannot know it as such; we always are on the “inside” of language and therefore we must make for ourselves the meaning of the revelation. Thus, the prospects for knowing revealed, objective truth are dismal at best (Smith, 2005, 100).

Michel Foucault yang mendeklarasikan kematian penulis (the death of the author) menempatkan pembaca teks sebagai penafsir teks. Karena penulis sudah mati, kita tidak akan dapat memahami inti makna teks yang penulis maksudkan. Oleh sebab itu kita harus melakukan penafsiran teks sesuai konteks kita tanpa perlu memperhatikan maksud penulis teks. Jika konsep ini diaplikasikan kepada Alkitab berarti kita tidak tak perlu berupaya untuk memahami maksud Tuhan ketika Dia memberikan wahyu khusus kepada kita. Makna atas wahyu khusus terserah kepada kita untuk menafsirkannya. Dengan demikian, teks dapat dimanipulasi untuk kepentingan si penafsir.

. . . we are “inside” language. We cannot get at the meaning of an author of a text; instead, our interpretations tell us more about ourselves than about what the author meant. What would that imply for Scripture? It would imply that we cannot know wht God meant when He gave us His special revelation, and therefore its meaning is “up to us.” (Smith, 2005, 144).

Konsep postmodernisme menempatkan rasio manusia yang terbatas melampaui Allah yang trasenden dan imanen. Kebenaran harus dapat diterima logika. Padahal kebenaran yang benar selalu melampaui logika berpikir kita. Tapi bukankah kebenaran selalu begitu? Selalu melampaui logika kita. Dan bukankah ini memang tak terhindarkan, karena kita sedang berbicara mengenai “Allah”, yang selalu melampaui daya jangkau akal manusia? (Darmaputera, 2005, 33)

Kontroversi surat pastoral PGI mengenai LGBT tidak bisa lepas dari konsep dekonstruksi postmodernisme. Teolog yang berada dalam lembaga yang membawa nama Kristen tersebut menggunakan ayat Alkitab untuk tidak menolak orientasi dan praktik homoseksualitas termasuk variannya LGBT. Penafsiran teks Alkitab bersifat subyektif dengan mengabaikan maksud penulis teks Alkitab menjadi dasar keputusan tersebut. Bagi mereka LGBT bukan sebuah permasalahan. Bahkan kita diajak untuk menerima LGBT sebagaimana adanya mereka.

Jelas Alkitab menolak praktik homoseksualitas. Pdt. Eka Darmaputera, seorang teolog yang kredibel, menegaskan bahwa praktik homoseksual adalah perbuatan yang dilarang dan dibenci oleh Tuhan. Imamat 18:22, “Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian.” Yang melakukannya diancam dengan hukuman mati (Imamat 20:13). Jadi tak pelak lagi, homoseksualitas memang dianggap sebagai pelanggaran yang serius (Darmaputera, 2005, 189)

. . . dengan hati berat saya harus mengatakan bahwa di dalam Alkitab, tidak satu kali pun praktik homoseksual dibela dan dibenarkan. Dari kitab ke kitab, secara konsisten Alkitab melarangnya dengan tegas. Oleh karena itu, bila ada orang bermaksud membela serta membenarkan homoseksualitas – ini boleh boleh saja – ia tidak dapat mendasarkan pembelaannya pada kesaksian Alkitab. Ia harus mencari sumber pembenaran yang lain! (Darmaputera, 2005, 190).

Dalam kasus homoseksualitas dan variannya LGBT, Pdt. Eka Darmaputera menempatkan otoritas Alkitab sebagai Firman Tuhan yang mutlak. Dan penafsiran yang benar terhadap ayat-ayat Alkitab sangat penting untuk memahami makna yang dimaksudkan penulis ayat tersebut. Bagi postmodernisme, tidak ada kebenaran absolut, mutlak. Yang ada kebenaran – kebenaran relatif. Karena pewahyuan ilahi tidak mutlak maka terbitlah surat pastoral yang mendukung LGBT. Kita menolak LGBT bukan berarti kita tidak mengasihi mereka akan tetapi kita tidak bisa menerima orientasi dan perilaku seksual mereka karena bertentangan dengan Alkitab. Kita harus upayakan agar mereka kembali ke image semula ketika Allah menciptakan manusia, yaitu laki-laki dan perempuan.


Penyembahan Berhala

Hanya Allah yang Mutlak. “Jangan ada padamu allah lain dihadapan-ku.” Artinya, yang mutlak itu bukan Cuma ada; tetapi juga bahwa yang mutlak itu Cuma satu. Cuma Dia! YAHWEH! (33). Di luar itu baik keyakinan kebenaranku tidak mutlak. Bila yang mutlak itu “Cuma Dia”, maka konsekuensinya adalah semua yang lain – apapun itu, kecuali Dia - tidak mutlak. Saya dan keyakinan kebenaran saya tidak mutlak. Tidak mutlak berarti terbatas; bisa salah; tidak sempurna (Darmaputera, 2005, 33).

Paham postmodernisme cenderung menyuburkan baik konsep politeisme maupun henoteisme. Tuhan tidak hanya satu tetapi banyak. Karena prinsip terdalam dalam politeisme adalah relativisme, yaitu langgam serta corak berpikir manusia yang menolak bahwa ada yang mutlak di dunia ini. Yang mutlak hanyalah kenyataan bahwa semuanya serba “relatif” – tak ada yang mutlak (17).

Merekonstruksi Allah sesuai dengan selera kita dan merekonstruksi makna secara subyektif dapat dikategorikan sebagai penyembahan berhala. “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit diatas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi” (Keluaran 20:4). Penyembahan berhala adalah penolakan terhadap kebenaran yang obyektif dan mencoba untuk menggantikan dengan allah lain hasil konstruksi manusia. “Sebab mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta dan memuja dan menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya yang harus dipuji selama-lamanya” (Roma: 1:25). Penyembahan berhala dalam arti luas bukan saja terhadap patung/gambar tetapi juga konstruksi intelektual.

Constructing one’s own meanings and one’s own gods rather than acknowledgeing the one living God is called idolatry. . . idolatary is rejection of truth and attempt to replace God. . . Idols must be cast down. This is true not only of graven images but of intellectual constructions (Veith, 1996, 63).

Konsep relativisme berarti bersandar kepada filsafat yang bertentangan dengan wahyu/pernyataan Allah, baik itu wahyu umum maupun wahyu khusus. Relativisme juga menempatkan kita dalam posisi sebagai Tuhan dalam memutuskan apa yang secara moral disebut benar dan salah. Penganut postmodenisme Kristen juga melakukan hal yang sama dengan mengkonstruksi Allah diluar Alkitab melalui media bahasa. Mengimani relativisme dan postmodernisme adalah penyembahan berhala yang merupakan pelanggaran serius bagi Tuhan.

When believers persist in embracing relativism, they end up committing adultery against God by buying into a moral philosophy that is utterly opposed to God’s revealed truth, whether that is in general revelation (which, as we have seen, even secular people know), or special revelation in Scripture. Relativism also put us in the idolatrous position of being God by deciding what is morally right or wrong. INDEED, Christian postmodernism does the same, in that we end up constructing God by our language, which is plainly idolatrous. So, embracing relativism and/or postmodernism (that is, the points of postmodernism that we have criticized) is a serious matter to God (Smith, 2005,168)

Sebagai manusia yang telah jatuh dalam dosa, kapasitas intelektual kita tidak saja terbatas tetapi juga tercemar dengan dosa dan bisa menipu diri kita sendiri. Karena natur dosa, kita cenderung untuk melawan sumber kebenaran. Kita menggugat Tuhan dengan menempatkan diri kita sebagai otoritas tertinggi. Kita menggunakan akal budi kita yang penuh keculasan untuk merasionalkan dosa kita kemudian membentuk kerangka sistem yang memungkinkan kita melakukan segalanya tanpa Tuhan.

Now that we are fallen, our intellectual capacity is not only limited but deceptive (Roman 1:21-28). Because of our sinful nature, we tend to rebel against the source of a truth. We question God and establish ourselves as the highest authority. We use our reason, pathetically clumsy as it is, to rationalize our sins and to construct systems that allow us to do without God (Veith, 1996, 70)

Sadar atau tidak sadar kita terpesona dengan spirit postmodernisme. Kita lebih tertarik dengan kebenaran relatif yang dikemukakan para fisuf ketimbang kebenaran Alkitab. Kita lebih sependapat dengan dalil yang dikemukan para filsuf seperti Friedrich Wilhem Nietzche yang memproklamirkan bahwa Tuhan sudah mati (the death of God) dan Michel Foucault yang memaklumatkan kematian penulis (the death of the author). Dengan kematian Tuhan dan penulis maka Jean-Francois Lyotard melontarkan penolakan terhadap metanarasi (incredulity toward metanarrative).

Jangan terpesona dan terpedaya dengan ungkapan hanya Allah yang absolut, diluar itu termasuk Alkitab tidak mutlak. Kelihatan masuk akal. Akankah kita mengimani konsep Allah yang absolut berlandaskan prinsip yang diluar Alkitab? Konstruksi makna melalui penafsiran yang subyektif juga dikategorikan sebagai penyembahan berhala. Hal ini bisa membuka ruang untuk masuknya konsep politeisme dan henoteisme. Pdt. Eka mengingatkan kita untuk waspada terhadap segala bentuk berhala,

“. . . saya tahu, paling banyak dilupakan orang, yakni bahwa yang dilarang – dan dilarang amat keras – adalah semua bentuk pemberhalaan; semua bentuk “idolatry”, “dengan patung atau “tanpa” patung! Yang diharamkan adalah segala jenis perbuatan yang “mempertuhankan berhala”; dengan “patung atau “tanpa” patung!” (Darmaputera, 2005, 38)


Kebenaran Alkitab

Kita jangan terpengaruh oleh berbagai intrik yang ditawarkan postmodernisme. Kita tolak ideologi postmodernisme yang menyatakan segala sesuatu termasuk realita adalah fiksi dan semua kebenaran adalah ilusi yang diciptakan melalui konvensi, kesepakatan di kalangan manusia. Kita juga tolak pandangan mereka bahwa dunia nyata merupakan hasil dari fiksi, paradigma, metanarasi yang kesemuanya hasil dari imajinasi manusia.

In fact, according to postmodernist ideology, everything is fiction; all truth ia an illusion created by social conventions (Veith, 95). . . The real world too, they believe, is organized by “fictions,” paradigms and “metnarratives” that are equally the product of human imagination (Veith, 1996, 130)

Alkitab bukan sebuah buku fiksi yang dihasilkan oleh ilusi manusia. Alkitab adalah wahyu/pernyataan Allah. “Alkitab berisikan kesaksian menyeluruh mengenai Allah yang menyatakan diri-Nya, kehendak-Nya serta karya pencipataan, pemeliharaan, penyelamatan, dan penggenapan-Nya kepada manusia dan dunia.” (Pegangan Ajaran Mengenai Alkitab, Tata Gereja GKI). Kesakasian ini bukan fiksi.

Kesaksian Alkitab merupakan cerita besar (meta, grand narrative) karena berisi kesaksian menyeluruh mengenai Allah yang menyatakan diri-Nya. Kesaksian Alkitab adalah metanarasi yang luar biasa yang diwahyukan kepada kita oleh Allah yang mengetahui keseluruhan masa depan, terlepas apakah melibatkan seluruh kejadian yang langsung disebabkanNya atau secara tak langsung timbul melalui hukum alam atau agen moral yang bebas.

What makes the Christian metanarative unusual is that it is revealed to us by God who knows the entire future, whether it involves events that he directly causes, those brought about indirectly through natural laws, or actions of free moral agents (Erickson, 2001, 275).

Kita perlu memahami Akitab dengan benar. Pemahaman Firman Tuhan dengan benar hanya melalui bimbingan Roh Kudus, yang bekerja dan tinggal di dalam diri kita. Hal ini tidak akan membuka peluang penafsiran Alkitab secara subjektif dan individualistik. Roh Kudus yang meyakinkan kita akan keberdosaan kita dan menyaksikan karya Yesus untuk menyelamatkan kita.

The Bible itself makes clear that understanding of the Word of God comes only through the illumination of the Holy Spirit, who works through the Word and indwells the members of Christ’s Church (1 Corinthians 2:9-16). This does not open the door to subjectivity nor to private interpretation (2 Peter 1:20). The Holy Spirit employs the Spirit-inspired words of the Bible to convict its readers of sin and to testify to the work of Jesus Christ (John 16:8-15) (Veith, 1996, 69)

Selaras dengan ini, Pegangan Ajaran Mengenai Alkitab, Tata Gereja GKI menegaskan,

Pemahaman yang benar mengenai isi Alkitab serta penghayatannya terjadi dengn bimbingan Roh Kudus (Yoh. 16:15; 2 Pet. 1:20-21). Semua perlengkapan yang teruji untuk membantu kita memahami Alkitab patut diabadikan bagi pemahaman yang benar. Di dalamnya kita percaya Roh Kudus bekerja, bukan saja secara ajaib tetapi juga secara wajar (Tata Gereja GKI, 348).

Iman yang kita miliki bukan berdasarkan logika semata tetapi berdasarkan wahyu Allah. Memang kita semua tergantung pada bahasa sebagaimana dikatakan postmodernisme. Sebagai Kristiani, iman kita bergantung pada bahasa Tuhan yaitu Alkitab yang adalah Firman Tuhan. But Christians base their beliefs not on reason but on revelation. We are wholly dependent upon language, as the postmodernists say; but Christians base their faith on God’s language, that is, the Bible as the Word of God. (Veith, 1996, 221).

Oleh sebab itu kita harus waspada terhadap ajaran berupa panafsiran yang tidak utuh atas ayat Alkitab, kita patut mengindahkan nasihat Pdt. Eka, “Demikianlah, saya dengan tidak jemu-jemu menganjurkan, bacalah Alkitab Anda dengan lengkap dan cermat. Jangan sampai kita mudah dikelabui dengan ajaran-ajaran yang tidak alkitabiah” (Darmaputera, 2005, 38)

Kita tidak perlu meragukan kebenaran mutlak Alkitab. Pdt. Eka Darmaputera menegaskan “inti pesan Alkitab yang kita yakini bersifat mutlak dan apriori selalu benar” (Darmaputera, 2005, 178). Karena kebenaran Alkitab mutlak dan apriori selalu benar maka panduan atau rujukan utama kita yang paling penting, tak bisa lain adalah ALKITAB (Darmaputera, 2005, 86). Jadi jelas rujukan kita untuk memahami Allah dengan benar adalah Alktab. Dan Roh kudus akan membimbing kita untuk memahami dengan benar isi Alkitab.


Daftar Kepustakaan

  1. BPMS GKI. 2009. Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Indonesia. PT. Adhitya Andrebina Agung, Jakarta.
  2. Darmaputera, Eka. 2005a. Sepuluh Perintah Allah Museumkan Saja?: Sebuah Uraian Pupuler tentang Relevansi Dasa Titah di Masa Kini. Gloria Graffa, Yogyakarta.
  3. Erickson, Millard.J. 2001. Truth or Consequences: The Promise & Perils of Postmodernism. InterVarsity Press, USA
  4. Smith, R. Scott. 2005. Truth & New Kind of Christian: The Emerging Effects of Postmodernism in the Church. Crossway Books, USA.
  5. Tjahjadi, Simon Petrus L. 2007. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan: Dari Descartes Sampai Whitehead. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
  6. Veith, Gene Edward Jr. 1996. Postmodern Times: A Christian Guide to Contemporary Thought and Culture. Crossway Books, USA.